Sabtu, 02 November 2013



Siang itu Nara sedang melepas lelah di kamar kozannya. Rita nampaknya masih di kampus dan sibuk dengan tugas jurnalistiknya. Maklum lah, dia memang mahasiswi fakultas Dakwah dan Komunikasi, jadi tak asing lagi jika akhir-akhir ini tugas jurnalnya sedang membludak. Nara sendiri sudah tak ke kampus lagi hari ini. Karena jadwal kuliah pada hari rabu hanya sampai jam satu. Terakhir tadi, Pak Ode sudah tuntas habis membahas tentang Sintesis Karbohidrat. Mumet sekali rasanya kepala Nara memaksakan materi Biokimia itu ke kepalanya sementara pikirannya sudah ada di tempat lain. Bukan lagi tentang Karbohidrat ataupun jenis-jenisnya, melainkan ke sosok pria yang duduk persis di depan bangkunya saat kuliah tadi masih berlangsung.
Duuh.. Nara menggeliat gemas di atas kasur. Dilatari oleh cuaca yang memang sudah cukup panas di luar kozan, ia merasa semakin gerah lantaran pikirannya tak urung lepas dari sosok pria itu. Ya Rabb,, hamba tak ingin mengingatnya lagi. Sungguh!
Percuma saja ratapan Nara itu. Karena kali detik berikutnya, sosok pria yang sudah sekelas dengannya selama 3 tahun ini (setahun di SMA dan dua tahun di Kuliah) tak juga hengkang dari mengusik kalbunya. Bingung juga Nara jadinya. Akhirnya ia hempas nafasnya kuat-kuat.
Pandangan Nara tiba-tiba tertuju pada dinding dekat pintu. Seekor cicak perlahan mengintip dari balik figura foto di dekat pintu. Nara melihatnya. Lama ia perhatikan cicak itu dan akhirnya tersenyum. Ia membayangkan, jika saja Rita, teman satu kamarnya itu ada saat ini dan melihat cicak itu, tentu ia akan berteriak ketakutan. Membayangkan bagaimana ekspresi histeria kawannya itu sudah membuat Nara sejenak bisa melupakan resah di hatinya. Hi.Hi.. Rita pasti gak bisa tidur tenang kalau tahu ada cicak di kamar.
Lamat-lamat Nara bangun dari rebahan dan meraih sapu ijuk yang ada di balik pintu. Cicak itu kaget mendengar suara derit pintu dan kembali bersembunyi di balik figura. Kemudian dengan sangat cepat Nara menggoyang ujung figura sehingga membuat cicak itu keluar. Segera saja ia menjepit tubuh si cicak dengan ujung sapu. Tak lama, ia memegang tubuh cicak yang masih terjepit sapu itu dengan tangannya. Agak sulit juga karena si cicak berusaha melepaskan diri dengan usaha keras. Tapi Nara bisa mengatasinya dan kemudian membuang cicak itu ke luar kamar.
Kembali Nara masuk ke dalam kamar. Tepatnya, ia kembali merebahkan badan. Dan kembali pula sosok pria itu ke dalam ingatan. Bagaimana manisnya senyuman miliknya, tawa renyahnya, spontanitasnya, bara semangatnya, Nara tak bisa mengacuhkan semua itu. Karena merasa gerah, ia akhirnya melepas kerudung biru yang sedari pulang kuliah tadi masih menempel di kepalanya. Ditaruhnya kerudung itu dengan rapih di gantungan dekat mukenah. Tiba-tiba ia tercenung cukup lama. Kemudian dengan sigap diliriknya jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. 13.50.
Astaghfirullah.. aku belum shalat!
###
Pagi itu, Nara sudah berada di rumahnya. Ini hari minggu dan sudah selayaknyalah ia pulang. Dan kini, ia sedang menekuri novel 5cm di tangannya ketika adiknya, Zen merajuk.
“teteh..beneran nih gak mau?” Zen sedikit merajuk sambil menatap lekat wajah tetehnya yang kini sedang menyibukkan diri dalam novel tebal 5cm.
“ehm..” Nara hanya menggeleng tanpa sedikitpun mengalihkan diri dari novel 5cm di tangannya.
“event-nya gede lho teh.. hadiahnya juga lumayan. Gak bikin lumanyun deh pokoknya! 3 juta teh.. 3 juta! Klo teteh mau, kita bisa beli lap top dari uang itu!”
“iya. Kalo kita menang. Kalo enggak?” kali ini Nara sudah mulai capek meladeni adik semata wayangnya itu. Acara bujuk rayu ini sudah berlangsung hampir dari setengah jam yang lalu. Dan ini sudah berlangsung selama tiga-empat hari ini! Betapa agak jengkel juga ia jadinya. Tak pelak, Nara menutup novel 5cm-nya dan hendak beranjak ke kamar. Berharap adiknya itu mau mengerti dan berhenti menceracau. Sayangnya, Zen semakin bersemangat saja melihat teteh-nya sudah menutup novel di tangannya. Dikiranya, teteh-nya sebentar lagi mau mengikuti harapannya.
“i.Allah menang Teh! Suara Zen kan bagus. Suara teteh apalagi?! Kita bisa duet lagi teh.. kayak dulu..”
Nara tercenung dan berhenti melangkah. Kayak dulu.. benar. Nara ingat, betapa dulu ia dan Zen, adiknya itu dikenal sebagai duet maut di kampungnya. Duet penyanyi yang luar biasa memikat orang-orang yang mendengar suara mereka. Suara kuat milik Zen, dan suara lembut milik Nai atau Nara. Tak ada yang bisa mengkritik suara hebat mereka. Semuanya mengacungi jempol tiap kali Zen dan Nai naik panggung. Entah itu panggung walimahan atau panggung kontes 17-an.
Tapi itu dulu… batin Nara mendesah gelisah.
“tapi itu dulu Zen.. sekarang teteh udah gak bisa nyanyi!” Nara misuh-misuh menjawab asal.
“knapa sih teh..? Zen yakin suara teteh masih indah. Bahkan dengan mendengar teteh ngomong kayak gini aja Zen yakin teteh bisa nyanyi indah!” Zen mulai ngotot lagi.
Nara mendesah. Bingung juga ia harus menjelaskan pada adiknya itu bagaimana. Suara wanita itu aurat. Tak sepatutnya teteh menyanyi dan didengar lelaki umum, apalagi nyanyi lagu begituan… Alasan itu hanya bergaung di benak Nara karena seperti hari-hari sebelumnya, jika ia mengatakan alasan itu tentu adiknya itu hanya akan marah dan bilang tak mengerti dengan alasannya.
“apa karena alasan aurat itu lagi teh?!”Zen menebak dengan tepat. Nara tiba-tiba merasa wajahnya menegang. Dan ini membuat Zen mengerti bahwa kali ini alasan tetehnya masih sama seperti kemarin-kemarin.
“Bingung deh Zen jadinya. Tau ah! Terserah teteh aja. Kalo gak mau yaudah! Biar Zen sama temen-temen band aja yang tampil di festival musik di kecamatan nanti. Zen bakal menang teh! Lihat aja!”
Akhirnya Zen marah juga. Nara tak bisa mencegah adiknya itu melangkah pergi menuju pintu. Ia hanya menceracau lemah.
“maaf dek…”
###
Mesti gimana lagi Dee? Aku udah coba semampuku. Astaghfirullah.. susahnya untuk bisa istiqamah. Aku masih bingung harus bersikap apa. Gimana sih sebenarnya Islam membatasi pergaulan antara pria-wanita? Aku masih aja gak ngerti. Meski kusadari, aku memang sudah sejak kecil bersikap menjauh dengan para cucunya Adam. jadi, kenapa aku masih aja ngerasa bingung ngadepin dia?
Nara misah-misuh di kamarnya. Buku diary mini yang sudah menjadi tumpahan perasaannya itu kini ditutupnya. Ia letih. Ditaruhnya kembali buku itu di sisipan buku-buku pelajaran dan kemudian ia merebahkan badan di atas kasur lamanya yang sudah usang.
Perlahan, ingatan Nara kembali ke sms yang diterimanya dua hari lalu. Sms yang diterimanya di tengah malam saat matanya hampir lelap karena sudah melewati jam tidurnya. Sms itu sampai ke hp-nya pada pukul 10 malam lebih beberapa menit. Hp yang Nara taruh di atas mejanya itu diraihnya dengan malas. Agak heran juga ia, masih ada teman-teman yang meng-sms-inya pada jam itu. padahal hampir semuanya tahu kalau Nara hampir selalu menepati jam tidurnya yang pukul 9. jadi, dengan dahi agak mengerut dan mata yang sudah kantuk berat, ia buka sms itu. ternyata datangnya dari Hanafi.
Mata Nara segera terbuka. Agak debar-debur juga dibukanya sms itu. dan,, hanya ada satu kata di sana, Nai.. Nara kaget. Apa maksudnya? Bagaimana ia bisa tahu nama kecilku? dan,, kenapa ia mengirimiku sms seperti itu?dan,, kenapa malam-malam sekali?
Blitz.. kemudian tiba-tiba saja ingatan Nara tentang sms dua hari lalu itu terhapus dan meloncat ke ingatan yang baru saja dialaminya tadi sore, pada pukul 8. Saat ia tengah menonton tv bersama keluarganya. Seperti sudah kebiasaan keluarga itu yang selalu berkumpul selepas maghrib untuk menonton tv. Nara tak begitu melihat tayangannya memang. Jadi dia langsung sadar begitu ada sebuah sms aneh kembali hadir. Nara sangat kaget karena ternyata sms itu datangnya juga dari ia, Hanafi. Ingatannya pada sms dua hari lalu kembali diingatnya dan ternyata mirip. Sms itu pun hanya berisi satu kata, tapi kali ini adalah miss… rindu.
Kini, Nara sedang menutup kepalanya dengan bantal di kamar. Hatinya resah. Sudah susah payah ia mencoba mengabaikan perasaannya pada Hanafi tapi kini seolah takdir ingin mengujinya. Menguji iman yang baru dibangunnya sebesar biji sawi.
“huh!”
###
“jadi kalian semua harus datang ya! saya sangat mengharapkan kedatangan kalian lho!”
Suara Pak Rai bergema penuh semangat di depan ruangan TU. Saat itu mahasiswi jurusan Kimia semester 5 sedang menunggu Pak Mansukh, dosen pembimbing mereka untuk konsultasi tentang KRS. Dan saat mereka menunggu itulah Pak Rai keluar dari ruangan dan begitu bergembira menyampaikan perihal keikutsertaannya di sebuah festival musik di kota bersama band-nya. Ia berharap, mahasiswinya bisa turut memberikan support untuknya. Tentu saja mahasiswi jurusan Kimia itu sangat bersemangat dan menjawab dengan kompak. Dan salah satu di antara mereka adalah Nara.
Berbicara tentang Pak Rai, sebenarnya dosen muda ini tak pantas juga bila dipanggil ‘pak’. Namun karena memang profesinya yang mengampu sebagai dosen mata kuliah Metodologi Penelitian, maka tak pelak lagi ia harus rela dipanggil ‘Pak’.
Pak Rai berpembawaan semangat dan cemerlang. Pribadi beliau yang ramah dan suppel ini sangat menguntungkannya sehingga menjadi guru favorit bagi mahasiswa di kampus UMJ. Dan kini, ia mengumumkan keikutsertaannya di acara festival musik band se-kecamatan. Tentu saja ini menguatkan pandangan mahasiswanya bahwa tak semua dosen di tingkat kampus itu berpikiran kolot. Contohnya saja, Pak Rai ini.
“jadi, jangan lupa ya semua!!”
Pak Rai masih mengingatkan para mahasiswa yang ada di depan ruang TU itu sambil berjalan menjauh. Nampaknya beliau ada jam mengajar lagi.
“Nara,, bisa tolong aku ga?” Lisa menyentuh lengan Nara pelan. Nara menoleh ke arahnya dan menjawab pintaan temannya itu dengan anggukan dan senyuman.
Tak ada kata. Seperti biasanya.. bisik Lisa dalam hati. Dia menatap Nara terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan ucapannya. Dia masih saja heran dengan temannya yang satu ini. Jarang sekali bicaranya. Padahal kan mereka memilih jurusan keguruan. Apakah tidak seharusnya membiasakan diri untuk melatih berkata-kata? Begitu pikir Lisa tentang Nara. Sudah 5 semester, dan tetap saja ia masih tak mengenal baik Nara. Ia hanya mengenal Nara sebagai teman yang tak banyak bicara tapi begitu perhatian kepada orang lain. Hanya itu.
“aku..mau nanya tentang Buffer. Ada soal yang gak bisa kuatasi. Habis ini kamu gak ada acara kan?”
Nara terlihat diam sebentar. Nampaknya ia sedang mengingat-ingat agendanya hari ini. Kemudian diliriknya jam mungil di pergelangan tangan kirinya, sebelum akhirnya berkata,
“i.allah bisa. Tapi mungkin gak bisa lewat dari jam 11. Gak papa?” Nara menatap lembut Lisa. Dilihatnya Lisa ikut melirik jam di tangannya. Saat itu sudah pukul 10 lewat 7 menit. Lisa kemudian mengangguk setuju. Lisa faham kenapa Nara tak bisa membantunya lama-lama. Mungkin saja agenda di LDK lagi, begitu terkanya.
Jadi, acara menunggu dan konsultasi KRS dengan Pak Mansukh itu akhirnya selesai juga pada pukul setengah sebelas lewat beberapa menit. Dan segera saja, Nara dan Lisa bergegas melangkah ke luar kelas bimbingan setelah Pak Mansukh melangkah ke luar duluan. Lisa sudah memegang handel pintu dan Nara berjalan di belakangnya ketika sebuah panggilan menghentikan langkah Nara.
“Ra,! Mau ke mana?”
Itu Desi, teman samping kos Nara. Nara menoleh dan akhirnya membalikkan badan sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan temannya itu dengan disertai senyuman. Saat itu tak sengaja Nara melihat Hanafi di bangku depan ikut melihat ke arahnya. Ces.. spontan saja senyumannya agak mengkerut.
“mau ke bawah, les sama Lisa”
Desi faham maksud Nara tentang ‘les’ itu. karena seperti juga Lisa dan beberapa teman lainnya, ia juga sering belajar dengan Nara. Nara memang dikenal pintar dan nyaman untuk diajak belajar bersama.
Dengan agak kepayahan akhirnya Desi bisa berjalan sampai ke hadapan Nara.
“oo.. terus jadi gak ke puskes-nya? Aku bisa anter kok. Les-nya gak lama kan?-”
“siapa yang sakit Des? Nara?Kamu sakit?”
Tiba-tiba saja Maya yang berdiri tak jauh dari mereka ikut berbicara. Nara tersenyum kecut. Ia agak bingung juga jadinya. Tak mungkin ia harus jujur mengatakan kalau dia memang meminta antar Desi ke puskesmas. Tapi, bingung mau menjawab apa, akhirnya ia jujur juga.
“iya. Aku mau check up. tapi gak papa kok May. Cuma Check Up biasa.. udah dulu yah. Des, kamu ikut aku aja yuk sama Lisa. Kita les bareng-bareng habis itu kita baru ke puskes. Yuk May, duluan!” Nara berkata cepat-cepat sambil melirik jam mungil di tangannya. Desi mengangguk lemah dalam rangkulan tangan Nara yang seakan menyuruhnya untuk ikut bergegas. Nara tak menyadari ada tatapan yang sedari tadi tertuju ke arahnya bahkan sampai ia dan Desi sudah keluar dari ruang kelas. Tatapan itu milik Hanafi. Tajam sekali!
###
Hanafi. Lelaki 20 tahun itu sedang melangkah pelan menuju motor yang diparkirnya di area samping kampus. Langkahnya terlihat gontai. Ada yang memenuhi benaknya saat ini. Tentang Nara.
Ia bingung jika harus mendeskripsikan perasaannya terhadap perempuan itu. dadanya selalu saja mengentak-ngentak tiap kali ada yang menyebut namanya. Dan perasaan itu bertambah menyiksanya tiap kali ia melihat perempuan itu tersenyum. serasa bahagia dari langit runtuh dan menimpanya tanpa sebab. Ia bahagia bila melihat Nara tersenyum. dan ia pun sedih bila melihat perempuan itu murung. Dan tadi, ia langsung merasa sangat khawatir saat tak sengaja mendengar Desi mengatakan hendak mengantar Nara ke puskes. Ada apa dengannya?
Hanafi pun masih tak mengerti dengan perubahan signifikan yang ditunjukkan oleh Nara. Ia sudah pernah satu SMA dengan perempuan itu. pernah sekelas malah di kelas tiga. Ia mengenal perempuan itu sebagai orang yang bersemangat dan baik. Meski diakuinya, ia memang tak begitu dekat dengan perempuan itu. dan tak hanya ia saja, menurutnya Nara memang tak begitu akrab dengan pria. Dulu ia sangat penasaran dengan Nara (hingga saat ini). Mengapa perempuan ini tak seperti perempuan lain yang dikenalnya. Nara begitu beda. Dari penampilannya yang selalu menggunakan baju agak besar (terbalik dengan postur tubuhnya yang mungil), pergaulannya dengan laki-laki, dan sikap-sikapnya yang selalu terlihat bertentangan dengan anak muda masa kini. Nara begitu terlihat sederhana namun penuh semangat dan kreasi. Itulah yang membuatnya jatuh cinta pada perempuan itu.
Jatuh cinta…
Hanafi merasa pias. Benarkah perasaan itu cinta? Apakah cinta ini sama seperti yang dirasakannya terhadap Maya, kekasihnya saat ini. Tidak… tak mungkin aku jatuh cinta pada 2 orang. Tak mungkin cinta! Karena aku hanya mencintai Maya.
Kemudian sebuah memori melintas di kepalanya. Spontan rasanya ia disergap oleh rasa malu tak terkira. Kenangan itu terjadi baru beberapa hari yang lalu. Di suatu malam saat ia tengah bersantai setelah pulang dari mengajar Keanu, murid les privat-nya yang kelas dua SMP. Ia sudah mandi dan sedang merebahkan badan di bale depan kosan ketika sebentuk wajah langsung menghunjam dan tercetak nyata di kalbunya. Ya. Ialah Nara.
Tanpa sebab yang Hanafi ketahui, sosok Nara tiba-tiba saja mengalihkan ia dari keadaan sekelilingnya sehingga membuatnya jadi terusik dan gelisah sepanjang malam itu. dan tanpa disadarinya, Hanafi akhirnya mengetik sms yang hanya berisi satu kata saja untuk perempuan itu, nai. Dan disusul dua malam setelahnya, rasa itu kembali menyiksanya hingga akhirnya ia mengirimkan sms singkat berisi lagi-lagi hanya satu kata yaitu, miss. Rindu.
Benak Hanafi terasa bergolak. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba saja begitu kalut. Kini Ia sudah hampir tiba di parkiran dan masih bergulat dengan pikiran-pikirannya sampai datang sebuah tepukan di pundaknya yang menyadarkan ia dari lamunannya.
“hei! Kok bengong sih? Aku manggil-manggil loh dari tadi.” Di samping Hanafi sudah ada Maya dengan senyumnya yang lebar. Hanafi merasa tubuhnya memanas. Ia seperti tertangkap basah melakukan kesalahan sehingga ia salah tingkah dan membuat Maya jadi menaikkan alisnya.
“kamu kenapa sih?”
Agak gelagapan juga Hanafi mencoba menjawab.
“eng..enggak. aku kaget aja. Habis May ngagetin sih.. oya, udah selesai latihannya?” Hanafi mencoba mencairkan suasana. Dilihatnya Maya mulai santai dan menunjukkan ekspresi sedang berpikir sambil jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk dahi. Hanafi pun tersenyum lucu. Perlahan, debar di jantungnya mulai bisa diatasi.
“mm..iya udah. Tadi tuhh…….”
Maya mulai lancar berceloteh seperti biasanya. Sementara Hanafi mendengarnya sambil lalu. Ia sedang mengedarkan pandangannya ke area parkiran. Mereka berdua sudah masuk ke tempat parkiran. Dan akhirnya, ia mengeluarkan motornya dari parkiran.
“yuk pulang sekarang. Ceritanya lanjut nanti ya. Laper niihh.. kita makan ketoprak yuk!!!” Hanafi mulai semangat.
Maya terlihat manyun karena omongannya dipotong. Tapi akhirnya ia mengangguk malas ikut membantu mengeluarkan motor. Saat Hanafi mengeluarkan kunci motor dari saku bajunya dan menstarter motornya, Maya kembali bicara.
“jadi inget waktu makan ketoprak bareng Nara deh. Dia juga suka banget makan ketoprak. Tapi aku gak suka. Aaah,,jangan ketoprak dong. Bakso aja yuk??!”
Maya terus menyerocos dan tak menyadari Hanafi yang tadi sempat oleng saat mendengar nama ‘Nara’. Ia mematung agak lama sehingga akhirnya membuat Maya yang tadinya tak sadar dengan situasi akhirnya menyentak bahunya. Ia sudah duduk di jok belakang dan merasa aneh karena Hanafi tak segera men-starter motor.
“hei! Ngelamun lagi yaa??? Hayu jalan. Katanya udah laper..sama nih dah laper juga.” Hanafi tergagap sebentar. Cepat-cepat distarter olehnya motor itu sebelum Maya curiga dan tahu apa yang berkecamuk di pikirannya. Lagi-lagi tentang Nara.
###
Zen sudah berangkat ke acara Festival dari jam tujuh tadi. Saat berangkat, ia terlihat sangat bersemangat. Tak urung ini membuat Nai jadi ikut senang. Adiknya itu pasti sangat senang sekaligus gugup untuk aksi di panggung nanti. Meski beberapa waktu lalu kedua kakak-adik itu sempat bertengkar tentang festival, tapi tadi pagi terlihat mereka baik-baik saja.
Nara memberi semangat pada adiknya itu dan memohon maaf karena ia tak bisa ikut hadir ke festival dikarenakan ada seminar proposal. Zen mencoba faham dan meminta restu teteh-nya agar penampilannya bisa maksimal. Pada akhirnya, Zen berangkat dengan penuh senyuman.
Nara pun tak lama setelah itu berangkat pergi ke Ciputat. Dan kini, ia sedang duduk-dudukan bersama teman-temannya di lobi karena ternyata seminar proposal itu diundur jadi besok. Besok hari selasa dan Nara sangat menyayangkan bahwa ia dan teman-temannya tak akan bisa mengikuti seminar proposal itu dikarenakan ada jam kuliah. Hari ini mereka kira bisa ikut karena mata kuliah Pak Rai yang sengaja diliburkan karena beliau sedang ikut festival.
“gals! Gimana kalau kita ke kota aja lihat penampilan Pak Rai?” sahut Noni semangat. Dan spontan saja, banyak teman-teman Nara setuju atas usul itu. dan Nara pun sebenarnya sangat setuju usul itu tapi ia tak bermaksud untuk melihat penampilan Pak Rai, melainkan tentu saja, adiknya, Zen.
Tapi kemudian, saat Nara dan sekitar belasan teman Nara sudah mau naik angkot, datang sms dari Zen ke hp Nara. Dibukanya segera sms itu.
“teteh.. band Zen gak jadi tampil. Meisya tadi kecelakaan dan gak ada yang bisa gantiin dia. Zen kecewa banget. Sekarang kita mau pulang aja.”
Nara merasa nanar. Dibacanya kembali sms itu dan dibayangkannya bagaimana perasaan Zen, adiknya saat ini. Ia tak kuasa melihat adiknya sedih dan dengan tak mengikuti festival musik itu pastinya Zen akan sangat sedih. Selintas saja sebuah pikiran melintas di benak Nara sehingga ia urung ikut masuk angkot dan berkata cepat pada Lisa.
“Lis, Ra gak jadi ikut deh. Ada agenda dadakan. gak papa ya. Assalamu’alaikum!”
Nara sudah melangkah jauh menuju kosan saat Lisa baru bisa menjawab salamnya. Dalam hati Nara, sudah terancang suatu rencana.
###
“Zen, jangan pulang dulu. Boleh teteh ikut gabung ke band-mu? Gak telat kan?”
Nara mengirim sms itu dengan tangan gemetar. Ia tak menyangka akan melakukan ini. Tapi apa mau dikata? Ia tak mau melihat Zen, adik kesayangannya sedih. Meski ia juga harus berkecamuk dengan hati nuraninya sendiri.
Aku akan menyanyi bersama Zen. Ya Rabb,, semoga tak ada yang mengenalku. Sebersit harapan berkecamuk di benak Nara. ia sebenarnya takut jika teman-temannya yang ikut datang ke festival akan menyadari bahwa ia juga ikut festival sebagai peserta. Bisa jadi nanti orang-orang akan beranggapan buruk. Nara anak LDK main Band? Begitu yang Nara pikir akan terjadi. Tapi bukan demi menjaga reputasinyalah yang membuatnya khawatir. Ia justru lebih mementingkan nama LDK sebagai lembaga Dakwah Kampus yang seharusnya menjadi penegak syiar Islam. Ia tak mau karena dirinya, orang-orang jadi beranggapan lain tentang LDK.`ia tak ingin itu terjadi.
Jadi,, Nara sudah memutuskan untuk membantu adiknya, Zen agar bisa ikut tampil di festival. Dan agar tak ada orang yang mengenalinya, ia sudah membawa sebuah kostum yang akan menyamarkan identitasnya. Baju pantai miliknya yang gombrong (super-besar) akan dipakainya sebagai baju lapis luar dan sebuah topeng yang menutupi area mata sampai pipinya akan menjadi pelengkap sempurna bagi kostumnya.
Setelah merasa siap, Nara pun melangkah dengan tegap. Lalu, sms balasan dari Zen masuk ke hp-nya.
“ya teh..sempet!! sekarang teteh di mana?? Mau Zen jemput?! Makasih ya teehhh!!!”
Nara tersenyum membaca sms itu. dalam benaknya, ia berharap. Ya Rabb,, perkenankan hamba melakukan ini untuk adik hamba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar