Sabtu, 02 November 2013



Nina namanya, seorang gadis berwajah oriental yang selalu membuatku terpana melihatnya. Dia sering memanggilku “Rio” sambil tersenyum. Aku memang baru mengenalnya, tapi dia begitu istimewa, sampai aku tidak bisa bayangkan betapa aku menyukainya.
Sifatnya periang dan selalu membuatku tertawa itu benar-benar membuatku seakan dekat sekali dengannya, entah kapan aku mulai bersahabat dengannya. Aku sadar nggak gampang untuk membuat hatinya luluh kepadaku, bahkan sahabatnya Arif pun menyukainya juga. Aku tak mengerti, apa yang harus ku lakukan?, tapi aku optimis untuk tidak menyerah.
“Rif, apakah kamu melihat Rio?” Tanya Nina.
“Aku tidak melihatnya,” balas Arif sambil memegang kertas gorengan, “mungkin ada di kantin.”
“Oke, terimakasih Arif” kata Nina tersenyum.
Nina mencariku ke kantin, karena memang di situlah aku. Expresi wajah Nina yang begitu cemas bisa kulihat dari kejauhan menuju kantin, Akhirnya aku memanggil duluan.
“Nina……Nina……”
Nina pun membalikkan badannya dan merespon panggilanku.
“Huh, kamu ini. kemana aja? Aku mencarimu” kata Nina dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
“Ada apa Nin? Kok tumben mencariku?” Tanyaku terheran-heran.
“Oh, kok di bilang Tumben sih? Aku mencarimu karena tugas kamu belum selesai,” Jawab Nina sambil mengatur nafasnya, “Oh, ya Ri, tadi pacar kamu ke kelas dan menanyakanmu.”
“What? Reka mencariku?” Tanyaku kaget.
“Ya, tadi dia itu menanyakanmu sambil menatapku sinis. Ada apa dengan hubunganmu Ri?”
“Oh tak apa, Nin.”
“Ayo mengakulah, kita ini bersahabat, hampir 1 tahun lagi. Kamu bisa cerita ke aku ataupun Arif” kata Nina dengan senyumnya yang membuatku seakan terbang.
“Ya, nanti aku akan cerita semuanya.”
“Oke, kalau begitu, kita ke kelas yukkkk……”
Aku pun mengiyakan ajakan Nina itu, dan pergi ke kelasku X-H di daerah atas. Sesampainya di kelas, aku duduk di sebelah Arif. Arif pun bertanya, “Woy, tadi Nina nanyain kamu ke aku. Apakah udah ketemu dengan Nina?.”
“Sudah kok, baru saja” jawabku singkat.
“Bisa-bisa aku kalah nih denganmu,” kata Arif sambil mengeluarkan buku tulisnya, “kamu udah dapat satu point.”
“Ah…sudahlah, nanti aja kita bicarakan soal siapa yang dapat Nina. Kita belajar aja dulu, mumpung lagi pelajaran kesukaan aku nih.”
“Oh, oke, seperti biasa tulis yang punya aku juga.”
“Ya, Raden Arif.”
Suasana kelas menjadi Hening, ketika semua siswa sibuk mengerjakan tugas Individu dari guru bahasa jerman. Aku yang biasanya malas, kini berubah menjadi rajin. Aku pun berpikir mengapa nggak dari dulu aja aku begini? Terus mengapa aku harus sadar sekarang?. Yang jelas, kini aku berubah menjadi sosok laki-laki yang bisa di banggakan oleh ibu, bapak dan Nina tentunya.
Aku tak mengerti sampai saat ini mengapa aku begitu menyukainya, bahkan orang yang lebih tua pun tak mengerti. Apa yang seharusnya aku perbuat? Karena, aku masih terikat oleh seseorang bernama Reka. Aku berpacaran dengan Reka saat lulus SMP dan aku tak menyangka bisa satu sekolah lagi dengannya, bahkan bukan aku yang menyatakan perasaan ini melainkan gadis itu.
Nina, aku dan Arif memang sangat dekat sejak kami memasuki kelas 9. Tak menyangka aku bisa satu sekolah bahkan sekelas lagi dengan mereka. Dan aku sangat bersyukur tidak sekelas dengan gadis berbadan kurus itu yang kini masih menjadi pacarku. Aku bahagia bisa sekelas dengan Nina yang periang dan selalu membuat hatiku tenang.
Lamunanku buyar, ketika Nina memanggilku “Rio….Rio…Rio…” dengan sangat kencang.
“Eh Nin, maaf aku lagi berpikir.” Kataku kaget.
“Berpikir apa? Oh, ya aku mau nanya.”
Aku yang tiba-tiba tersenyum mendengar apa yang mau Nina tanyakan, aku berpikir mungkin dia mau menanyakan soal perasaanku.
“Mau nanya apa Nin?” Jawabku yang masih berharap Nina menanyakan hal itu.
“Ini Rio, ada berberapa nomor yang nggak bisa aku kerjakan. Tolong aku dong.”
Hatiku tiba-tiba mendadak jatuh seperti pesawat yang menjatuhkan bom sebesar pulau ini, aku pun melihat isi pekerjaanku dan mengasihkannya ke Nina tanpa berkata apapun. Nina hanya tersenyum lalu pergi menuju tempat duduknya.
“teng….teng….teng….” Bel istirahat berbunyi begitu nyaring di telingaku, aku pun kebawah bersama Arif tentunya. Aku pergi ke kantin untuk membeli makanan yang aku sukai tentunya, aku terkenal akrab dengan bibi kantin karena, selalu mentraktir teman.
“Rio…sayangku” sapa seorang gadis yang mungkin pacarku.
“Oh, kamu Reka. Ada apa?” Jawabku singkat.
“tak apa, Untungnya kamu nggak lagi sama gadis udik itu ya.”
Emosiku memuncak dan tanpa disadari aku berkata, “wah, gila ya kamu. Badan udah kecil, tinggi nggak seberapa tapi sombong sekali. Pake acara ngehina orang lagi, kamu tuh yang udik.”
“Apa sayang? Kamu bilang aku udik, kita ini sederajat loh.” Jawab Reka dengan nada sombongnya.
“Hah… sederajat kau bilang? Maaf ya, semuanya itu sederajat di mata Tuhan. Bukan karena bapak kita sama-sama orang terpandang, kamu bisa seenaknya berkata seperti itu.”
“grrrrrrr, kamu tahu? Apa yang kamu katakan itu merupakan bumerang untuk diri kamu sendiri?”
“Aku nggak takut Reka, mulai saat ini hubungan kita cukup sampai disini.”
“Apa? Lihat aja nanti, apa yang akan aku lakukan kalau kamu berani-berani pacaran sama gadis udik itu.” Kata Reka terakhir sambil membalikkan badan meninggalkan kantin.
Saat itu kantin menjadi sangat rame, di penuhi oleh orang-orang berbaju putih dan celana abu dengan berbagai tingkatan. Mungkin itu adalah pertengkaran hebat untuk seorang anak berusia 16 tahun yang baru 6 bulan menginjakan kakinya di SMA.
“kamu nggak malu, Io?” Tanya Arif.
“ngapain malu kalau kita membela orang yang begitu berarti untuk kita.” Jawabku sambil meminum teh gelas.
“tapi itu extrem banget, sungguh tak menyangka kamu bisa seperti itu.”
“oh, ya dong Rio.”
Akhirnya aku dan Arif pun memutuskan untuk kembali ke kelas, ternyata Nina sudah ada di depan kelas sedang membaca buku keseukaannya sambil mengelus-elus rambut panjangnya itu. Sungguh, aku ingin sekali memegang rambutnya. Arif pun menyapanya dan Nina hanya tersenyum. Aku pun duduk dengan perasaan yang sangat bingung, apa yang akan di lakukan Reka? Buruk kah untukku? Kurasa itu tidak akan membuat seburuk bencana tsunami di Aceh.
“Rio…Arif…” sapa Nina dengan wajah yang sangat gembira.
“Ada apa Nina.” Jawabku dengan Arif.
“Nggak, aku Cuma mau ngasih cerpen yang aku baca. Ceritanya seperti kita bertiga itu adalah tokoh utamanya.”
“Nanti kita baca deh Nin.” Jawabku singkat.
“Kamu galau Ri? Kok bisa?.”
“Ya tadi itu dia habis putus sama Reka.” Jawab Arif sambil membenarkan kacamatanya.
“Oh, ya udah sabar aja Ri.”
Nina memanglah polos, baik hati dan tidak pernah mau berurusan dengan orang banyak. Maklum dia hanyalah seorang anak peternak sapi yang hidupnya sangat sederhana. Aku pernah sekali ke rumahnya bersama Arif, dan aku sangat merasa iba kepadanya. Tapi aku bersyukur, aku masih hidup di keluarga yang cukup, dan apapun yang aku inginkan tercapai walau ayah dan ibuku hampir tidak pernah terlihat di rumah.
Sedangkan Nina? Mau membeli sebuah buku paket saja, ia harus rela mati-matian untuk membelinya. Nina memang sangat rajin apalagi kalau sudah urusan pelajaran. Aku belajar darinya, bahwa ‘orang susah itu berhak belajar dan mengenal dunia yang lebih luas’. Nina selalu berkata “Ngapain kita gaya-gaya kalau nggak punya kemampuan? Dan mengapa kita harus bergaya? Padahal, dunia ini masih banyak yang perlu kita pelajari. Bergaya boleh, tapi yang pasti-pasti aja nggak usah berlebihan. Daripada gaya, mending kita membeli buku untuk kita baca, agar kita tahu tentang dunia yang sangat luas ini dan dari kita membaca, kita mampu bergaya lazim.”
Kata-kata yang menurutku benar-benar mengejutkan dari seorang gadis berwajah oriental itu. Kata-kata itu sering keluar ketika aku membicarakan soal style, aku salut dengannya karena, ia adalah gadis yang berbeda. Ia tak silau dengan motor ninja yang sekarang selalu di perbincangkan para gadis pada umumnya. Sungguh, kalau aku memilikinya, aku pasti nggak akan pernah melepasnya.
“Halo udik…” sapa seorang gadis berbadan kurus yang tiba-tiba masuk ke kelas kami.
“Kamu mau cari siapa? disini nggak ada yang namanya udik.” Jawab Nina santai.
“Maksud aku itu, kamu Nina.”
“Ada apa Reka?.” jawab Nina sambil berjalan menuju ke arah Reka.
“Aku perlu ngomong.” Kata Reka sambil menarik tangan Nina keluar.
Aku tahu Reka adalah gadis yang berani berbuat seperti itu, tapi aku nggak merasa terlalu khawatir terhadap Nina. Karena Nina adalah gadis yang lebih kuat di bandingkan dengan gadis-gadis lain. Aku mendengar semua percakapan mereka, dan feeling ku memang benar, Nina langsung pergi meninggalkan Reka begitu saja. Aku pun tertawa lebar bersama Arif, sungguh malang mantanku itu.
Reka yang semakin hari berusaha untuk merusak citra Nina yang baik, sopan, dan tak mau berurusan dengan orang banyak itu. Aku hanya terdiam, mendengar semua informasi yang ada. Nina pun hanya diam membeku seperti es dan tidak berkata apapun kepadaku. Aku pernah bertanya kepadanya tentang apa yang Reka perbuat kepadanya, dan dia hanya menjawab “Biasa, masalah anak perempuan, tapi tidak terlalu perlu di tanggepin, karena dia hanya korban salah paham dari hatinya sendiri. Hatinya belum bisa menerima apa yang telah terjadi.”
Sungguh jawaban dari anak seorang peternak sapi yang bijak. Semua itu karena prinsipnya yang tak mudah di kalahkan oleh amarahnya sendiri, dia memang the best, aku yakin kelak dia akan benar-benar sukses melebihi kesuksesan yang sekarang di raih oleh Reka. Kalau boleh memilih waktu mengapa dulu aku menerimanya, sungguh bodohnya aku. Mungkin karena faktor umur yang masih terlalu muda.
Sampai akhirnya pun aku melakukan hal yang sangat menyakitkan bagi hati Nina, iya aku meninggalkannya begitu saja. Dia tersenyum kepadaku tapi aku tidak pernah membalasnya, begitu pun dengan salam hangat sapaannya. aku juga tak pernah membalasnya. Sebenarnya aku bimbang, entah mengapa aku memang harus meninggalkan gadis polos itu. Mungkin karena, Nina pernah menyakiti hatiku.
“Rio, kamu kenapa? Aku salah apa sama kamu? Kita ini sahabat, kenapa kamu diam aja. Ayo Rio jawab aku.” Kata Nina kepadaku.
“Oh, kamu sahabat aku ya? Lupa tuh. Setahuku, aku tak pernah mempunyai sahabat udik sepertimu.” Jawabku dengan sedikit menghina.
Nina pun menundukkan kepala, terdiam dan menangis. Lalu ia menjawab, “Aku memang udik Ri, aku hanyalah seorang anak peternak sapi. Seharusnya aku sadar dari dulu. Bahwa, aku memang tak pantas untuk bersahabat dengan anak seorang pengusaha seperti kamu. Maafkan aku Ri, karena tak tahu diri.”
Setelah menjawab jawabanku yang terkesan menghina, Nina pun lari dan aku mengejarnya. tapi saking sedihnya Nina menabrak Arif. Dan Arif pun bertanya, “Kamu kenapa Nin?.”
“Rio, Rif. Dia berubah, dia bukan yang aku kenal.” Jawabnya kepada Arif.
Langkahku pun berhenti dan aku tak jadi untuk menghampiri Nina yang saat itu menangis di pelukan Arif. Batinku berbicara “Good job Rio, kamu telah membuat satu-satunya orang yang kamu sayangi itu menangis. Dan pastinya itu membuat kamu tak akan menyesal. Maafkan aku Nin, aku terpaksa. Karena, aku ingat kata-kata Reka.”
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Arif yang menghampiriku dengan wajah yang sangat merah seperti api itu lalu ia berkata, “Kamu itu kenapa Rio? Kenapa? Aku tanya kamu kenapa? jawab Rio. Nggak bisa jawab. Kamu Muna Rio, padahal kita sama-sama punya perasaan kepada Nina kan? Oh, atau mungkin perasaan kamu itu Cuma main-main selama ini.”
Amarahku memuncak tanpa sengaja aku pun memukul Arif dan menjawab, “Perasaan aku ini nyata dan nggak pernah main-main. Suatu saat aku akan bongkar semua rahasiaku kepadamu dan tolong jangan ikut campur.”
Arif yang tak mampu berkata lagi pun akhirnya memilih untuk diam, karena ia tahu aku mempunyai maksud lain untuk meninggalkan Nina. Mungkin ia berpikiran sama denganku, jadinya ia diam dan langsung pergi meninggalkanku. Tak sengaja, aku pun melihat Nina yang sedang membereskan bukunya di kelas dengan wajah yang penuh senyuman. Tapi aku tahu jelas, bahwa Nina sedang menutupi kesedihannya dengan cara begitu agar orang-orang tidak simpati melihatnya. Nina pun beranjak dari tempat duduknya menuju pintu, aku pun masih di pintu saat itu dan sedang asyik melamun sambil melihat Nina.
“Permisi Rio, kamu menghalangi jalanku.” Kata Nina dengan tatapan yang penuh kesedihan.
“Oh, ya maaf Nin.” Jawabku terbata-bata.
kulihat perempuan yang benar-benar aku sukai itu, berjalan dengan penuh tangisan dan kesedihan. Aku tak mengerti, apa yang selanjutnya akan aku perbuat? Apa aku sanggup berdiam-diaman dengan Nina selama 3 tahun lebih?. Kurasa aku tak akan sanggup dengan semua itu.
Akhirnya aku sudah tak tahan menjalani semua ini, walau baru 2 bulan aku mendiami Nina. Lalu, aku pun mengejarnya dan aku pun berkata, “Nin, boleh kita bicara?”
“Bicara apa lagi? Memangnya kamu nggak malu apa bicara denganku?” Jawabnya dengan muka memelas.
“Aku nggak malu, Nin. Berhenti untuk merendahkan diri kamu!”
“Bukannya beberapa bulan yang lalu kamu pernah bilang nggak mungkin punya sahabat seperti aku? Tapi mengapa kamu jadi berubah lagi?”
“Ya, maka dari itu kita harus bicara.”
“Oke, aku akan mendengarkanmu.”
“Ya, aku juga akan mendengarkanmu Rio.” Kata Arif yang tiba-tiba datang.
“Arif, kamu ngapain disini.” Tanya Nina.
“Sudahlah Nin, aku nggak akan biarkan orang ini buat kamu menderita lagi.”
“Baik….baik Rif, kamu boleh ikut mendengarkan juga. Ayo kita ke kelas.” Kataku mengizinkan.
Suasana di kelasku sangat hening. Nina dan Arif pun benar-benar mendengarkanku bercerita, dan Nina hanya tersenyum lega tapi kalau Arif, dia mengomeliku habis-habisan karena telah begitu. Arif pun berkata, “itu adalah hal bodoh yang tidak patut dilakukan. Karena itu bisa merusak persahabatan yang ada.” Akhirnya aku, Nina dan Arif pun tertawa puas. Sampai akhirnya ada suara seperti pintu yang di tendang, ternyata di depan pintu ada Reka dengan wajah yang menunduk seperti orang yang habis kena musibah.
Tapi entahlah, aku sama sekali tak mengerti dengan mantanku itu. Mengapa dia selalu mengganggu kehidupanku? Apakah dia belum puas melihatku menderita selama 2 bulan ini? itu sudah pasti, dia nggak akan pernah puas kalau Nina belum menghilang dari kehidupanku. Reka pun akhirnya menegakkan kepalanya dan berkata, “kau jahat Rio, mengapa kau memilih gadis peternak sapi itu?,” aku pun menjawab, “karena dia adalah orang yang sangat berarti untuk hidupku!! Dia polos, baik hati, dan selalu menghindari masalah. Tak seperti kamu Reka. Mungkin kau berani, tapi kau itu sombong! Aku tak suka sama kamu sejak awal kita pacaran.”
“Lalu, mengapa kau menerimaku?” Tanya Reka kembali.
“Karena……..” jawabku bingung.
“Kamu nggak bisa jawab, kan? Aku tahu, karena Nina sedang di dekati oleh laki-laki lain kan?”
“Oke, aku mengakui sekarang. Jawabanmu semua benar Reka! I do so give up from Nina, tapi sekarang aku sadar bahwa itu salah dan aku nggak akan pernah menyerah.”
Nina pun berdiri dari kursinya menuju ke arah pintu untuk menemuiku dan Reka yang sedang asyik perang mulut.
Nina yang menatapku dengan tajam dan penuh dengan pertanyaan besar itu membuatku sangat tegang. Serta, Arif yang tadinya tertawa melihatku perang mulut dengan Reka tiba-tiba terdiam seperti batu dan tanpa suara sedikit pun.
“Rio, begitu besarkah cintamu kepadaku? Aku hanya anak seorang peternak sapi sederhana bahkan aku tak cantik.” Tanya Nina yang masih bingung dengan perkataanku tadi.
“Oke, Nin dari sejak kita sahabatan aku memang suka sama kamu bukan sama Reka.” Jawabku dengan lancar.
Nina pun terdiam dan tak bisa berbicara apapun, lalu Arif pun akhirnya angkat bicara juga. “Nin, apa yang di katakan oleh Rio itu benar dan aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu.”
“Sebenarnya, aku bingung mau menjawab apa. Kalian begitu baik kepadaku.” Jawab Nina dengan nada yang pelan.
“Kamu tak perlu melakukan apa-apa Nin.” Jawabku pada gadis berwajah oriental itu.
Suasana di depan pintu kelasku itu, kini hening dan sepasang mata kini seakan melihatku dengan tatapan yang sangat tegang. Tiba-tiba Nina memelukku dan berkata, “Rio, aku tahu kamu sangat menyukaiku. Sampai-sampai, kau rela untuk menjauhiku dan menderita demi aku. I love you, Rio and thank you.”
Tanpa disadari, aku pun tersenyum lebar dan saat itu juga perasaanku sangat bahagia. Reka masih terus menangis dan Arif pun tersenyum, lalu ikut berpelukkan denganku dan juga Nina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar