Sabtu, 02 November 2013



Lelaki itu duduk tak tenang pada batu cadas yang keras, sekeras deru debam kendaraan yang lalu lalang pada mulusnya Pantura yang tak pernah lengang. Sinar mentari pagi yang mulai meninggi merambatinya yang tengah menyendiri. Menghangatkan tiap-tiap inci kulitnya yang putih bersih, yang berbalut kemeja hijau rapi. Celana katun hitamnya pun nampak serasi dengan sepatu kulitnya yang basah oleh rerumputan yang diliputi embun pagi. Sebasah mawar merah merekah yang tergolek anggun pada jemarinya yang gelisah.
Ia gelisah, segelisah angin pagi itu yang tak menemukan arah. Hangatnya sang surnya tak kan mampu menjangkau hatinya yang telah membeku karena rindu. Ia rindu pada surya hatinya yang belum terbit juga. Ia menanti sendiri disini. Dalam gelisah, dalam rindu.
Sayang, lihatlah embun pagi telah menguap
Tapi mengapa kau biarkan jiwaku tetap membeku?
Lihatlah sang mentari telah sedemikian bersinar
Mengapakah kau biarkan hati ini tetap padam?
Percuma pagi ini burung-burung giat bernyanyi
Percuma ilalang menari-nari
Tanpamu ada diantara mereka, keindahan pagi ini seperti raga tanpa sukma
Lalu datanglah Ia, berjalan dengan menatap langit dan menghitung awan. Ia menyanyikan lagu-lagu yang hanya dimengertinya sendiri. Ia berbicara pada rupa-rupa yang hanya diketahuinya sendiri. Ia menjawab sapa-sapa yang hanya dapat didengarnya sendiri.
Gadis itu mengenakan pakaian kusam penuh tambalan, dan nampak mencolok dengan rambut yang dikucir enam. Ia membawa keranjang plastik yang diisinya dengan benda-benda beraneka rupa; tali rafia, bungkus cokelat, daun pepaya kering, beberapa butir kelereng, serta setumpuk karet gelang dengan beraneka warna. Ia setengah berjalan, setengah menari.
Dan demi melihat pujaan hatinya tiba, sang lelaki pun berdiri lalu menghampiri. Wajahnya memancarkan sinar bahagia. Ia menghampirinya selayaknya mempelai pria menjemput pengantinnya. Dengan tatapan mata yang mewakili seribu kalimat cinta, sang lelaki menyerahkan bunga mawar pada sang gadis sebagai lambang persembahan hatinya. Sang gadis menerimanya dengan senyum ceria. Digenggamnya tangan sang lelaki erat-erat, lalu dikecuplah telapaknya dengan mesra.
Kemudian mawar itu ditatapnya dengan penuh makna. Ditatap sedemikian lekat. Tiap-tiap jengkal. Tiap-tiap inci. Tiap-tiap kelopak. Tiap-tiap duri. Lalu dengan satu tarikan, dicabutnya kelopak mahkota mawar itu hingga rontok tak bersisa, hingga tiap helai kelopak itu ada dalam genggamannya. Sang gadis tertawa gembira. Kemudian dengan sekali lemparan, diterbangkannya kelopak-kelopak itu di udara.
“Hujaaan… hujaaaaan…!!!” Teriak sang gadis sembari tertawa dan menari-nari. Ia menarik tangan sang pemuda, mengajaknya menari bersama. Mereka menari, tanpa peduli bisingnya kendaraan yang lalu lalang di sepanjang jalur Pantura pagi ini.
Sayang, tahukah kamu apa yang paling mengagumkan pada dirimu?
Adalah kejujuranmu,
Serta kemampuanmu untuk menciptakan sendiri duniamu
Dua cangkir kopi yang mulai mendingin tersaji di atas meja mungil dalam kamar sederhana yang berlantai ubin kelabu, belum tersentuh. Tak ada suara selain gempuran hujan bersama deru angin yang membahana. Kedua lelaki itu diam, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Menikmati suara hujan. Menikmati suara angin.
Fahmi menatap temannya lekat-lekat, Damar, yang tengah tekun membaca—-atau pura-pura membaca—-buku Kalkulus Lanjut miliknya yang tadi diambil Damar dari rak bukunya. Dari balik kacamatanya, ia coba menangkap apa yang ada dalam benak sahabatnya yang berwajah tampan rupawan itu. dan semakin ia coba mengerti, semakin ia tak mengerti. Jalan pikirannya nyata terlalu sulit untuk dipahami.
“Bagaimana bisa kamu tergila-gila padanya?” Tanya Fahmi, setengah putus asa.
“Apakah pertanyaan itu perlu dijawab?” Kata Damar, tak acuh. Ia nampak terkagum-kagum pada deretan rumus dan angka-angka dalam buku yang dibacanya, meski tak ada satupun yang dimengertinya. Maklum saja, mahasiswa jurusan Sastra sepertinya tak mungkin mampu menafsiri buku panduan milik mahasiswa jurusan Matematika seperti Fahmi.
“Perlu!” Sergah Fahmi tak mau kalah. Persoalan ini harus diluruskan. Biar bagaimanapun, Damar adalah temannya. Ia sangat peduli padanya.
“Kenapa perlu?”
“Karena kamu sedang tergila-gila pada perempuan gila!!!”
Damar melirik Fahmi dari balik buku. Ekspresinya tenang. Tak tampak ada rasa terkejut atau tersinggung.
“Jadi, menurutmu Sukma itu gila?”
“bukan menurutku Damar, tapi memang faktanya! Dia perempuan tidak waras!!”
Fahmi yang sedari tadi duduk di tepian ranjang kayunya itu kini berdiri, lalu berjalan mondar mandir di kamarnya yang sempit itu. Sementara damar kembali tenggelam dalam buku. Tak peduli. Tak menggubris.
Lalu Fahmi berhenti di depan jendela yang mengembun, menatap kosong hamparan pepohonan kelapa dan garis pantai yang nampak di kejauhan sana.
“Bisakah sesekali kamu menggunakan akal sehatmu? Menggunakan logika! Berpikirlah dengan kepala jernih! Damar, pernahkah kamu menghitung berapa banyak wanita di luar sana yang tergila-gila padamu? Dan siapa yang jadi pilihanmu? Perempuan gila itu!”
Fahmi sejenak diam, memandangi cahaya kilat yang sesaat menyilaukan mata. Suara gelegarnya menyusul beberapa detik kemudian. Lalu kembali sunyi, tanpa suara selain rinai hujan. Sejenak berikutnya Ia menyadari Damar tengah memandangnya lekat-lekat dari balik bukunya.
“Fahmi, pernahkan kamu bertanya pada mereka, andaikan seorang Damar ini tiba-tiba menjadi seorang yang gila, seorang yang tak waras, apakah mereka masih sudi mendekatinya?”
Fahmi diam, tak menemukan kata. Dan Damar hanya tersenyum.
Lama mereka terdiam, hingga kopi di meja telah benar-benar dingin. Hingga langit telah menyudahi tangisannya. Hingga mendung telah terkoyak hujaman sinar mentari. Hingga hembusan angin yang menderu-deru pun padam, padam dengan sendirinya.
“Pernahkah kamu jatuh cinta?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Damar, seperti halnya sinar mentari yang sekonyong-konyong menyibakkan mendung gelap dan menembus jendela kamar Fahmi yang lembab. Dan sama seperti mentari itu, pertanyaan Damar terasa begitu menyengatnya.
“Itu pertanyaan konyol! Bukankah selama ini aku selalu bercerita tentang gadis yang membuatku tergila-gila, seperti juga kamu yang selalu menceritakan gadismu yang gila?”
“haha… si Laksmi itu kan? Kira-kira, apa yang membuatmu suka padanya?”
Dahi Fahmi mengernyit, namun pipinya bersemu. Butuh beberapa detik bagi Fahmi memikirkannya.
“Dia cantik. Dia manis. Dia seperti bidadari. Oh iya, dia juga pandai memasak,” jawab Fahmi sembari pandangannya menerawang.
Dan entah mengapa, mendengarnya Damar menjadi nampak antusias. Segera ditutup dan diletakkannya buku Kalkulus Fahmi yang mulai membuat matanya berkunang-kunang itu, dan Ia memandang Fahmi penuh minat seolah Ia adalah rumus matematika yang menjelma menjadi manusia.
“seandainya nanti saat Laksmi sedang memasak, tiba-tiba tabung LPG di dapurnya meledak, lalu separuh wajahnya melepuh dan sebelah tangannya buntung… apakah kamu akan tetap menyintainya?”
Lama mereka saling pandang. Ada hal yang begitu ingin dibaca Fahmi dari sorot mata Damar, namun yang terjadi justru sorot matanyalah yang tengah dibaca dan ditelusuri dalam-dalam.
“Aku rasa dia tetap cantik,” jawab Fahmi mantap, namun agak kebingungan. Bingung oleh ekspresi Damar juga pertanyaannya.
“Nah, itulah dia, sobat! Berkali-kali hal inilah yang coba ingin kusampaikan padamu! Akhirnya, aku rasa sekarang kamu mulai dapat memahaminya!” Seru damar dengan raut wajah penuh kemenangan.
“Apa itu?”
“Cinta tidak membutuhkan alasan, kawan! Cinta adalah alasan itu sendiri,” jawab Damar.
Sayang, mereka mengira kau berbicara sendiri.
Namun aku mengerti,
Kau tengah menyapa dimensi yang tak pernah mereka sadari.
Mereka mungkin mengira ada yang salah pada dirimu.
Sementara aku tahu,
Kau hanya sibuk menelusuri liku hatimu.
Mereka berkata bahwa engkau gila!
Padahal kau hanya jengah pada hingar bingar dunia.
Sayang, maka maafkanlah mereka,
Yang tak pernah menyadari betapa kerdilnya semesta.
Deru merdu angin pantai terasa melenakan jiwa, berpadu dengan seraknya suara jalanan yang kian ramai menjelang senja. Sejengkal lagi mentari akan pulang, dan kau dapat menyaksikannya disini dengan tenteram. Ini adalah pantai Bonang, tempat bersandarnya puluhan sampan nelayan. Pantai tanpa pasir. Tanpa ombak.
Warna warni sampan yang mengkiaskan pelangi, nampak menjingga dibias mentari senja. Semua nampak indah dari sisi jalur Pantura ini. 17 Km dari kota Rembang, dan semua yang melintas dapat menikmati kecantikannya. Dan disinilah mereka. Bercengkrama. Berbagi anggur cinta. Damar, pemuda rupawan dari keluarga mapan dan kekasihnya, Sukma. Gadis belia yang terganggu akalnya.
Mereka duduk di tepi pantai. Menatap sampan. Menatap senja. Menatap mentari yang sedemikian jingga. Sukma tengah melantunkan lagu tanpa bahasa, dan Damar nampak tenteram menyimaknya. Mungkin tak ada satu pun kata dalam lagu itu yang dimengertinya, namun Damar merasakan iramanya seperti selimut yang hangat. Ia merasa tenteram. Ia merasa damai.
Tapi tiba-tiba mereka datang. Segerombolan anak kecil, bersepeda, yang entah dari mana datangnya. Mereka bersorak mencaci, mencemooh. Kepada Sukma tentunya. Mungkin mereka mengira Sukma seperti orang gila kebanyakan, yang akan meladeni cacian mereka, atau mengejar mereka, lalu mereka dapat memacu sepeda mereka sembari tertawa terbahak-bahak. Namun sukma berbeda. Ia menyukai cacian itu. Ia begitu antusias mendengarkan sorakan-sorakan itu. Bahkan demi menyimaknya, Sukma menghentikan nyanyiannya dan menggenggam erat tangan Damar, seolah itu adalah nyanyian cinta untuk mereka.
Maka anak-anak kecil itu pun marah. Marah karena Sukma tidak marah. Mereka kecewa karena wanita gila itu tidak mengejar-ngejar mereka. Hingga kemudian mereka mengorek tempat sampah lalu mereka melempari Sukma dengan benda-benda busuk disana.
Damar berdiri melindunginya, sebagaimana yang biasa dilakukan seorang kekasih. Ia menepis setiap kotoran yang mereka lemparkan. Maka anak-anak itupun ketakutan, hingga mereka memacu sepedanya, pergi meninggalkan sepasang sejoli yang kembali menikmati sunyi.
Dan kini Damar berdiri dengan tubuh berlumur sampah dan sayuran busuk. Sejenak Sukma menatap tak percaya. Lalu beberapa detik kemudian, Ia tertawa. Tertawa dengan sedemikian kerasnya. Hingga perutnya sakit. Hingga Damar pun ikut tertawa. Mereka tertawa lama, hingga nyaris kehabisan suara. Hingga sang surya pun nyaris mencium bibir cakrawala.
Setelah puas tertawa, mereka pun kembali diam. Kembali menyelami sunyi. Yang ada hanya suara lalu lalang jalanan, yang lalu disusul kumandang adzan yang melantun merdu dari masjid tempat ziarah Pasujudan Sunan Bonang, 200 meter dari sana.
Sementara Sukma menemukan sesuatu yang menarik hatinya, diantara sampah yang berserakan di sekitar Damar. Sebuah kulit manggis. Sukma memunggutnya, lalu mengamatinya dengan seksama.
Damar pun menatap kekasihnya lekat-lekat, selekat tatapan Sukma pada kulit manggis di tangannya. Damar sangat menyukai tatapan mata Sukma ketika gadis itu tengah memandang sesuatu. Tatapan itu yang selalu Ia nantikan serta rindukan. Tatapan yang tak dimiliki gadis manapun. Tatapan yang membuat gadisnya istimewa.
“Sayang, tahukah kamu? Manggis adalah lambang kejujuran,” ucap Damar pada Sukma.
Sukma tetap mengamati kulit manggis itu dengan lekat.
“Tahukah kamu mengapa?” Tanya Damar, dan pertanyaan itu dijawabnya sendiri “karena jumlah buah yang ada didalamnya, dapat kita ketahui dari banyaknya ukiran kelopak yang ada pada bagian bawah kulitnya.”
Sukma tetap diam. Perhatiannya pada kulit manggis itupun tak beralih. Namun Damar parcaya bahwa sang kekasih tengah menyimaknya.
“Buah manggis adalah buah yang tidak pernah berdusta, sama sepertimu.”
Sukma tak bergeming. Tapi lama kemudian, ia pun meletakkan kulit manggis itu dalam keranjangnya. Diletakkannya bersama kelereng, bungkus cokelat, tali rafia, karet gelang, serta tangkai mawar—yang mahkotanya telah dirontokkan untuk main hujan-hujanan.
“Orang juga bilang, manggis adalah ratunya buah tropis. Haha……….memangnya siapakah yang mereka bicarakan? Manggis ataukah kamu?”
Damar tersenyum. Dipandangnya lautan lepas dan didapatinya mentari telah bersembunyi dibalik samudera, dan hanya menyisakan siluet barisan sampan nelayan. Dan pada saat itu, tanpa disadarinya, Sukma menatapnya. Lekat dan lama.
“Mas Damar suka manggis?”
Sebuah tanya itu membuat Damar sedemikian bisu. Sebuah tanya yang memecahkan lamunannya. Sebuah tanya yang terasa menggungguli deru angin. Menyatu dengan debur ombak. Sebuah tanya yang seolah berasal dari dirinya sendiri, meskipun tanya itu dilantunkan dari bibir indah Sukma.
Damar mengangguk. Anggukan yang tenang dan dalam.
“Besok Sukma akan bawakan manggis,” kata Sukma, sembari menyunggingkan senyum termanisnya.
Lalu gadis itu pun beranjak pergi, meninggalkan Damar yang duduk termangu disampingnya. Ia pergi sembari menyanyikan lagunya yang biasa, menyusuri tepian jalur pantura hingga binarnya lampu kendaraan yang lalu lalang pun menenggelamkan siluetnya.
Sayang, mungkin aku keliru
Kurasa mungkin buah manggis terlalu dangkal menggambarkan kejujuranmu
Tapi tak kutemukan lagi perumpamaan yang tepat
Harus bagaimana lagi, sayang?
Rasanya segenap ragam kata dan makna tak kan mampu mengurai indahmu
Seperti penggaris yang dipaksakan mengukur langit biru
Sayang, betapa keanggunanmu membuatku lebih dari sekedar pecinta
Aku lebih dari seorang pemuja
Aku adalah penggila, sayang
Penggila yang menggilaimu dengan segila-gilanya
Namun pada pagi selanjutnya, nuansa menjadi benar-benar berbeda. Langit serta samudera terasa sedemikian senyap. Senyap dan menjelma menjadi tangisan. Pagi ini langit kembali menangis dan samudera menyambutnya dengan riak –riak ombak. Ombak yang senyap.
Berpuluh-puluh mata menatapnya dengan perasaan iba. Iba yang bercampur sesal. Sesal karena tak satupun dari mereka pernah menganggapnya ada. Kalaupun ada, tak lebih dari sampah. Iba karena menyesali usianya yang begitu belia, serta menyadari kehidupan apa yang telah dijalaninya. Orang-orang itu menangis, sebagaimana langit yang menangisinya. Menangisi gadis yang terbujur kaku di tepi jalan itu, bersimbah darah. Menangisi gadis yang dengan sengaja mereka sisihkan dari dunia mereka. Gadis yang mereka sebut gila.
Pagi itu Sukma mencuri manggis. Hanya sebuah, tak lebih. Namun orang-orang itu begitu murka. Begitu beringas. Mereka mengejarnya, meneriakinya. Ya, hanya karena sebuah manggis. Manggis yang akan dipersembahkan Sukma untuk kekasihnya. Mereka tidak peduli betapa murahnya harga sebuah manggis dan betapa mahalnya harga sebuah nyawa.
Mereka marah bukan karena buah manggis. Mereka marah karena Sukma gila. Ya, mereka marah pada kegilaannya. Pada dunia mereka tidak dibutuhkan orang gila. Pada dunia mereka yang sebetulnya sempit menghimpit itu, kegilaan dianggap tabu, dan layak untuk disingkirkan.
Maka mereka mengejarnya, meneriakinya. Berharap Ia pergi sejauh-jauhnya atau Ia jera menjadi orang gila. Dan Sukma, tiada lain yang diinginkannya kecuali menyerahkan manggis itu pada kekasihnya. Maka ia berlari, berlari sekencang-kencangnya. Hingga tanpa disadari, sebuah truk kontainer tengah melaju kencang dan kemudian menghantamnya dengan telak. Menghantam tubuh mungil itu hingga remuk tak terkira.
Dan darah pun menggenangi tubuhnya, tumpah ruah bersama seisi keranjangnya yang rata berbalut merah. Kelereng, tali rafia, bungkus cokelat, karet gelang, tangkai mawar, serta kulit manggis yang dipungutnya kemarin. Semuanya rata bertebaran dalam genangan darah yang bercampur dengan air hujan.
Dan sang kekasih pun datang, diantara derasnya hujan dan tangisan. Orang-orang yang berkerumun itu menepi, memberinya jalan. Mempersilahkan Damar menghampiri kekasihnya yang telah tak bernyawa.
Wajah dan sekujur tubuhnya basah oleh air hujan, namun tak ada setitikpun air mata. Damar justru nampak sumringah menatap jasad Sukma, seolah Ia hanya tengah tertidur saja. Dan Damar pun membawa sehelai selimut. Dan dengannya Ia menyelimuti tubuh Sukma, seraya mengecup keningnya.
“sayang,”
Lalu ia merapatkan pelupuk mata Sukma yang sebelumnya sedikit terbuka. Jadilah Ia seperti benar-benar tertidur.
Kemudian Damar menyadari tangan kanan Sukma masih menggenggam erat buah manggis yang dipertahankannya hingga akhir hayatnya. Diambilnya buah manggis itu, lalu disamping jasad Sukma, serta di atas genangan darahnya, Damar mengupas dan memakan buah manggis Sukma.
Dan kini ia benar-benar menangis.
Sayang, jangan kau kira aku sedih melepasmu
Aku hanya terharu
Kau akhirnya lepas dari belenggu yang mengikatmu
Kau akhirnya terbang ke dunia tanpa dusta
Dunia yang sepenuhnya menghargai kejujuranmu
Sayang, kini warisanmu akan kujaga
Warisan kejujuran yang kau semayamkan dalam manggis cintamu
Itulah terakhir kalinya mereka mengenal Damar sebagai seorang pemuda tampan dari keluarga terpandang, seorang mahasiswa sastra yang memikat banyak hati wanita. Hari-hari berikutnya, apabila mereka membicarakan Damar, mereka akan membicarakan sosok yang berpakaian compang camping, membawa keranjang plastik berisi aneka rupa; kelereng, karet gelang, kulit manggis, ilalang, bunga-bunga liar, serta beraneka rupa lainnya, yang sehari-hari menyusuri jalur pantura yang tak pernah sunyi. Menyanyikan lagu-lagu yang hanya dimengertinya sendiri. Berbicara pada rupa-rupa yang hanya diketahuinya sendiri. Menjawab sapa-sapa yang hanya dapat didengarnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar