Sabtu, 02 November 2013



Di tengah keramaian kota Jogja Jawa Tengah, sebuah mobil Avanza berwarna Silver melaju dengan kecepatan penuh menyalip mobil-mobil lain yang berlalu lalang di sekitarnya. Mobil itu tak lain adalah mobil yang ku kendarai bersama Tante Risti dan Nenek. Dengan tatapan kosong ku terawang keluar jendela melihat tetesan-tetesan air hujan yang mulai membasahi seluruh kota. Pagi ini suasana kota Jogja cukup ramai, akan tetapi dalam pandanganku suasana kota ini sangatlah sepi bak kota yang tak berpenghuni. Kini satu persatu semua kenangan masa lalu itu mulai berterbangan dan berputar-putar seperti komedi putar di kepalaku. Betapa dahulu sangat ku mencintai kota kelahiranku ini, kota dimana aku tumbuh besar bersama kedua orang tua yang sangat aku cintai. Namun kini semuanya tinggallah kenangan belaka, semua telah sirna seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya hari. Takdir telah merenggut kedua orangtuaku dengan begitu sangat cepatnya. Padahal aku masih sangat membutuhkan mereka dalam kehidupanku. Aku belum puas memeluk mereka, berkumpul bersama mereka, bercanda tawa, bahkan aku juga belum puas dimarahin mereka jika aku melakukan kesalahan. Tetapi mengapa takdir begitu kejam kepadaku?
Huuuft… pertanyaan itulah yang selalu ada dipikiranku dan sampai saat ini juga belum kudapatkan jawabannya.
Hujan semakin deras dan angin juga semakin berhembus kencang membelai cela-cela dedaunan yang kemudian menerpa ranting pohon yang tak berdosa. Berkali-kali ranting pohon itu diterpanya hingga pada akhirnya ranting itu pun jatuh lunglai tak berdaya ke tanah. Di saat itu pula aku tersadar bahwa aku melupakan satu hal yang mungkin adalah jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Perlahan lahan aku mulai mengingat kejadian pada malam itu, kejadian yang dimana sulit untuk bisa diterima oleh akal sehatku.
Kreeeeek…
Hembusan angin telah membuka pintu kamarku, dengan hati berdebar kucoba menoleh ke arah asal suara itu. Aku ternganga dan tercegang mendapati sesosok Makhluk menyeramkan menuju ke arahku, rambutnya panjang terurai, matanya putih polos tanpa pupil, raut wajah yang tak beraturan, kulit jemari-jemarinya kusut disertai kuku-kuku panjang bagaikan binatang buas. Bak tali tambang perlahan-lahan dia mulai mendekatiku dan semakin mendekat. Ingin ku menjerit dan berlari ke luar kamar, tapi Aku tak bisa!
Tubuhku bagaikan patung, terpaku! Apa yang terjadi denganku? Berkali-kali ku bertanya dalam hati. Entah bagaimana caranya tiba-tiba Makhluk itu sudah ada tepat di depanku. Tangannya mencengkram leherku, Aku tercekat tak bisa berucap. “Kenapa Aku begitu pasrah diperlakukan Makhluk ini sedemikian rupa? Bahkan mengeluarkan satu patah kata pun Aku tak mampu,” gerutuku dalam hati. Pintu kamarku terbuka lebih lebar lagi. Mama! Itu Mamaku bersandar di daun pintu dengan cemas.
“Chika, kamu kenapa sayang?” suara itu terdengar samar tapi lama-lama semakin jelas di telingaku. Perlahan ku membuka mata. “Mama…!!!” Teriakku kemudian memeluknya erat yang berada di sampingku sambil menangis terisak-isak.
“Ada apa sayang, kamu mimpi buruk lagi?” Tanya Mama, yang kemudian mengusap air mata di pipiku.
“He’em,” Aku mengangguk. “Aku mimpi buruk lagi dan kali ini mimpi itu seperti nyata,” Jelasku pada Mama, namun sepertinya Mama tak percaya dengan perkataanku.
“Sayang itu hanya mimpi, kamu tahu kan kalau mimpi itu hanyalah bunga tidur. Dia adalah hiasan yang mewarnai dunia tidur kita jadi semua tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata. Udah sekarang kamu tidur lagi ya, ini masih larut,” pinta Mama.
Tapi, Aku memberontak “Tidak Ma, itu benar-benar nyata! Aku takut Ma, Aku takut, Makhluk itu…”
“udah-udah sayang,” sela Mama, “kamu kan sudah besar, kok masih penakut gitu. Mungkin tadi kamu lupa membaca do’a jadi kamu mimpi buruk. Sekarang kamu tidur ya, inget! Berdo’a dulu,” hibur Mama seraya tersenyum.
“Tidak Mau! Pokoknya Mama harus temenin Chika, Chika takut Ma,” rengekku kepada Mama. Ngotot!!
“Ya sudah Mama temenin, tapi kamu harus tidur lagi ya,” Mama mengalah. Setelah merasa sedikit tenang kucoba pejamkan mata dan berdo’a agar tidak bermimpi buruk lagi.
Kokok ayam telah membangunkanku, perlahan-lahan ku buka mata. Tapi apa yang kulihat! Wajah itu lagi. Makhluk berbaju putih kusam yang wajahnya tak beraturan, kali ini wajah itu berlumuran darah. Darah yang masih segar mulai mengalir membasahi wajahnya dan dia mulai mumbuka mulut dengan menampakkan taring tajamnya sambil berkali-kali meneteskan air liur bak binatang buas yang kelaparan dan ingin menerkam mangsa di depannya. Aaaaaaaa… Kuteriakkan suaraku sekuat tenaga. Tapi tak ada satu orang pun yang datang menolongku. Wajah itu dengan ganas mendekat kearahku. “Oh tidak, tidak, tidak…” kugeleng-gelengkan kepalaku. Dan…” Lho kok hilang? Kemana perginya Makhluk itu? Kenapa?” Perlahan ku buka mata, mimpi lagi?. “Huuhf…” Ku hembuskan nafas kelegaan. “Kenapa dia selalu menghantuiku? Apa salahku? Dan mau apa dia? Gerutuku dalam hati. Tak terasa keringat mengalir membasahi baju piyamaku. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Dan kemudian keluar menuruni tangga, langkah kakiku terhenti sebelum sampai di lantai bawah ketika tak sengaja ku dengar pecakapan antara Mama dan Papa.
“Pa, Mama kasihan sama Chika. Dia selalu dihantui Makhluk itu,” kata Mama.
“Iya Ma, Papa tahu tapi apa boleh buat ini semua sudah terlanjur,” Sahut Papa.
“Tidak Pa, ini semua belum terlanjur jika kita pergi dari rumah berhantu ini,” jelas Mama.
“Tapi Ma, itu semua tidak mungkin. Mama ingatkan bahwa Papa sudah berjanji dengan mendiang bapak, kalau kita akan menempati rumah ini sampai makhluk itu pergi dengan sendirinya.” Kata Papa dengan wajah sedih.
“Iya pa Mama mengerti akan semua itu, tapi sampai kapan hal seperti ini selalu terjadi pa?” Mama mulai emosi.
Papa hanya diam dan mulai angkat bicara. “Papa sendiri juga bingung Ma harus berbuat apa, jika kita semua pindah dari rumah ini aku khawatir akan ada suatu bahaya besar yang mengancam kita nanti. Yang pasti Papa tidak bisa meninggalkan rumah ini Ma!”
“Tapi kita tidak harus mempertaruhkan Chika juga kan pa? Jika hal ini terus terjadi Chika bisa despresi atau malah mungkin nyawanya bisa terancam. Apa Papa mau kehilangan anak kita satu-satunya?” Jawab Mama dengan nada marah dan mulai meneteskan air mata.
“Papa juga Tidak mau kalau hal itu sampai terjadi tapi kita harus bagaimana?” Papa mulai binggung. Mama dan Papa tak bersuara lagi, mereka diam dan menatap wajah satu sama lain. Beberapa menit kemudian akhirnya terdengar Papa mulai bicara lagi.
“Eh Ma, bagaimana kalau Chika kita pindahkan ke rumah Mbak Risti di Jakarta saja, disana juga kebetulan ada SMA yang cukup dekat, bukan?.” Usul Papa.
“Hmmm, ya Mama setuju. Mungkin itu lebih baik,” Mama sependapat.
Aku terkejut mendengar bahwa rumah ini berpenghuni. Jadi, ternyata semua mimpi itu benar-benar nyata. Akan tetapi Aku lebih terkejut lagi mendengar kesepakatan mereka yang akan memindahkanku ke Jakarta, kenapa semua ini bisa terjadi? Ini semua benar-benar sulit untuk dipercaya. Di satu sisi Aku lega tidak akan bermimpi buruk dan bertemu Makhluk itu lagi, tapi disisi lain Aku sangat sedih jika harus berpisah dengan kedua orangtuaku, Aku tidak tega meninggalkan mereka sendiri di rumah berhantu ini. Bagaimana kalau Makhluk itu berganti menghantui Papa Mama dan mungkin bisa mengancam nyawa mereka? aku takut mereka celaka hanya karena ingin melindungiku, sebenarnya apa yang diinginkan makhluk itu dariku? Ya Allah apa yang harus Aku lakukan, beri aku Petunjuk-Mu!
Lamunanku seketika buyar ketika kudengar suara Mama menyapaku.
“Sudah bangun sayang? Sekarang kamu turun terus kita sarapan bersama ya.”
“Iya Ma.” Kataku pura-pura tak mendengar percakapan mereka.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga kembali menuju ke ruang makan. Aku duduk dan menatap wajah mereka dengan tatapan iba. Tak kusangka selama ini mereka telah menyembunyikan rahasia besar dariku. Akhirnya kulahap nasi goreng tanpa berselera, dalam keheningan Mama mulai bicara.
“Chika Mama dan Papa berencana memindahkan sekolahmu di Jakarta bersama Tante Risti, bagaimana menurutmu?” Suara Mama membuyarkan keheningan.
“Kok mendadak sih Ma, memang ada apa dengan sekolah Chika? Perasaan Chika Tidak pernah buat masalah dan nilai Chika juga baik-baik saja,” tanyaku sekedar basa-basi sok Tidak tahu!
“Oh, Tidak ada apa-apa dengan sekolahmu Chika. Tapi menurut Mama dan Papa sekolah di sana pasti lebih baik untuk meningkatkan prestasimu,” sahut Mama.
“Iya lagian rumahnya Tante Risti kan dekat dengan rumah Nenek, jadi kamu bisa berkunjung ke rumah Nenek kapan saja,” tambah papa mencoba menyakinkanku.
“Tapi Ma, Pa, bagaimana kalau Chika kangen dengan Kalian? Terus teman-teman Chika di sini juga, Chika Tidak bisa berpisah dengan mereka. Belum tentu juga Chika di Jakarta mendapatkan teman-teman seperti mereka bukan?” Bantahku pada mereka tak mau kalah.
“Chika sayang, ini semua kita lakukan demi kebaikanmu. toh kamu bukan mau pindah keluar negeri, tapi ke Jakarta dan Jakarta dengan Jogja tidak begitu jauh, jadi seandainya kamu kangen dengan Mama, Papa dan teman-teman kamu, kan bisa berkunjung kesini atau sebaliknya Iya kan Pa?” kata mama sambil menyenggol lengan papa.
“Oh, tentu saja. Pokoknya kamu tinggal telfon saja jika ingin bertemu dengan Papa dan Mama nanti secepetnya kami akan mengunjungimu disana,” imbuh papa.
Dengan berat hati Akupun mengalah, toh jika aku lanjutkan percakapan ini ujung-ujungnya aku juga yang kalah “Ya Ma, Pa terserah kalian saja. Jika menurut kalian ini yang terbaik buat Chika, Chika bisa berbuat apa?” Jawabku dengan nada datar.
Seusai sarapan Aku dan Mama membereskan baju dan perlengkapan sekolahku, Papa telah mengurus kepindahanku hari ini juga. Kata Papa lebih cepat itu lebih baik, seperti dihipnotis aku tak bisa menentang keputusan Papa itu.
“Chika jangan sedih gitu, Mama dan Papa melakukan ini demi masa depanmu sayang,” hibur Mama sembari memelukku.
“Chika ngerti Ma, tapi Chika Tidak tega ninggalin Mama dan Papa di sini sendiri,” jelasku pada Mama.
“Tenang saja ya sayang, Mama dan Papa di sini pasti baik-baik saja. Jadi kamu Tidak usah cemas memikirkan hal itu, kamu percaya pada Mama kan?” kata Mama menyakinkanku. Aku hanya bisa mengangguk dan mempererat pelukkanku, seakan aku tak ingin melepaskan pelukkan ini untuk selamanya.
Aku berangkat ke Jakarta sore itu juga, Papa dan Mama mengantarkanku menuju ke Stasiun. Ingin rasanya ku meneteskan air mata tapi Aku tidak ingin Papa dan Mama malah sedih melihat Aku menangis. Aku harus tegar ini semua demi kebaikkanku juga. Papa dan Mama memelukku erat seperti kita tidak akan pernah bertemu saja. Ternyata firasatku itu benar pelukkan itu adalah pelukkan dan pertemuan terakhirku dengan mereka. Karena selang beberapa bulan tinggal di Jakarta tepatnya tanggal 30 desember, Aku mendengar kabar bahwa Papa dan Mamaku meninggal dalam kecelakaan ketika akan menjemputku di Jakarta. Denyut nadi dan jantungku seakan terhenti mendengar berita tersebut, Aku tak sanggup menerima kenyataan bahwa kedua orang tuaku telah tiada. Itu pukulan terberat dalam hidupku karena di hari dan di tanggal itu juga Aku menginjak usia yang ke 17 tahun. Aku tidak menyangka di Sweet Seventeen ini Akan mendapatkan kado yang sangat menyedihkan yang tak pernah sedikit pun kubayangkan dan kuinginkan dalam hidupku.
“Chika, Chika, Chika…” Seseorang menepuk-nepuk punggungku pelan, Aku pun tersadar. “Iya, tante ada apa?” Jawabku dengan nada kaget.
“Kita sudah sampai, ayo kita turun,” ajak Tante Risti yang kemudian membuka pintu mobil dan beranjak turun. Aku melihat bendera kuning berkibar di depan rumah dan itu membuatku semakin terpukul. “Seharusnya hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku bukan hari yang menyedihkan,” gerutuku dalam hati. Aku tidak sanggup menerima ini semua ini pasti mimpi, mimpi, mimpi… kugeleng-gelengkan kepala kemudian menangis dan berlari menuju rumah. “Papa, Mama…” Teriakku.
Semua orang menatapku dengan tatapan iba, Tante Risti dan Nenek menyusulku, “Chika, kamu Tidak boleh begini sayang. Kamu harus ikhlas menerimanya, ini semua sudah kehendak yang Maha Kuasa.” Tante Risti mencoba menghiburku. Ku dekap jenazah Papa dan Mama bergantian. “Kenapa kalian begitu cepat meninggalkanku. Papa dan Mama tahukan ini hari ulang tahun yang Chika tunggu-tunggu,” Hiks hiks hiks… Kataku tersedu-sedu. “Kamu yang sabar ya sayang.” Kata Nenek sembari memelukku.
Hujan yang sedari pagi membasahi kota Jogja hingga senja tiba belum menampakkan akan mereda. Namun hal itu tidak menghalangi pemakaman Papa dan Mama. Angin sayup-sayup membelai rambutku, gerimis tak henti-hentinya menetes di wajah yang kemudian mengalir bersama air mataku. Upacara pemakaman usai, satu persatu orang yang berta’ziyah meninggalkan pemakaman. Di tempat yang sunyi dan sepi itu tinggallah Aku dan Nenek yang Masih terpaku menatap nisan Papa dan Mama secara bergantian.
“Nek, apa semua ini nyata? Apa benar Papa dan Mama telah pergi untuk selamanya?” Aku mulai angkat bicara.
“Chika, ini semua nyata sayang bukan mimpi, kamu harus bisa menerima ini semua dengan lapang dada. Mungkin ini ujian dari Yang Maha Kuasa buat kita semua,” tutur Nenek.
“Aku mengerti Nek, Aku sudah mencoba menerima semua ini. Tapi Aku merasa aneh, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku Nek. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Makhluk penghuni rumah kami?” Tanyaku yang kemudian membuat Nenek tercegang.
“Chika, apakah kamu sudah tahu semuanya?” Kata Nenek terkejut.
“Tahu apa nek?” Tanya ku penasaran.
“Kurasa ini saatnya kamu tahu semuanya, dahulu kakek buyut kamu melakukan pesugihan untuk menjadi orang kaya, sebagai imbalannya dia harus memberikan 1 tumbal tiap tahunnya sebagai gantinya. Dan jika anak keturunannya juga igin menjadi kaya raya mereka harus melakukan hal yang serupa. Semua saudara kakekmu memilih untuk meneruskan pesugihan itu kecuali kakekmu. Namun semua itu tidak mengubah kenyataan bahwa Makhluk itu masih tetap menggangu rumah peninggalan kakek buyutmu yang diwariskan kepada kakekmu. Hingga pada suatu hari kami mengetahui bahwa jika ingin terlepas dari jeratan makhluk itu kami harus bersaing melawan makluk itu bertahan di rumah kakek buyutmu, akan tetapi sampai kakekmu meninggal makhluk itu masih tetap mengganggu kami. Dan sebelum kakek kamu menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia memberi amanah kepada ayahmu untuk menggantikannya berjuang mengalahkan makhluk itu.” jelas Nenek dengan raut wajah penuh penyesalan. Belum sempat Aku berkata tiba-tiba angin datang bagaikan badai dari kutub utara, Makhluk itu…! Aku tersentak. Wajah yang penuh dendam menampakkan taring tajamnya beserta air liur yang menetes membasahi tanah pemakaman. Makhluk itu berjalan ke arah Nenek, Aku berusaha berteriak pada Nenek dan mengajaknya lari. Tapi semuanya terlambat, ku lihat Nenek sudah dicengkram oleh Makhluk itu, dia menggigit leher Nenek. Darah bercucuran bersama air hujan yang kemudian membasahi nisan Papa Mama. Aku harus bagaimana? Nenek sudah meninggal, dan sekarang Aku sendiri di sini, Aku tersesat, Oh tidak… Aku takut Ya Allah tolong Aku!! Makhluk itu Masih memburuku, dan apa? Makhluk itu tiba-tiba sudah berada tepat di belakangku. “Aaaa…lepaskan Aku! Lepaskan! Papa Mama tolong Aku… Tidaaak…!!!” teriakku histeris.
Nafasku terengah-engah, aku tak dapat bernafas secara beraturan ketika kubuka Mata dan menatap sekelilingku, “ini Kamarku? Iya benar ini kamarku!” kataku dalam hati.
Teng… teng… teng… Kudengar jam berdentang dan itu menunjukkan bahwa sekarang tepat pukul 12 Malam. Aku terkejut mendapati Papa, Mama dan teman-temanku telah berdiri di depan pintu kamarku dengan membawa kue ulang tahun dan beberapa kado untukku.
“HAPPY BIRTHDAY…!!!” Kata mereka sambil meniup trompet. hatiku lega bercampur gembira ternyata semua kejadian-kejadian itu mimpi? Huhhff… mungkin Aku terbawa imajinasi akibat menonton banyak flm Horor sore tadi. Dengan hati gembira kupeluk Papa dan Mama, mereka mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kado untukku. “Selamat ya sayang, ini kado dari Mama dan Papa buat kamu semoga kamu suka.” Aku sungguh bahagia menerima kejutan di hari ulang tahunku ini. Tak lupa kupeluk juga teman-temanku dan serentak mereka berkata “SWEET SEVENTEEN… SEMOGA DI UMUR YANG KE 17 TAHUN INI KAMU TAMBAH DEWASA YA…!!!” Kami pun tertawa “Hahaha…”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar