Sabtu, 02 November 2013



Matahari di kota Jogja pagi ini seolah tersenyum menyapa ku dengan begitu manisnya. Semanis hatiku yang saat ini sedang berbunga-bunga, karena kemarin aku baru saja lulus sidang skripsi dengan predikat sangat baik. Aku sangat bersyukur karena aku bisa lulus tepat waktu. Tinggal bagaimana aku mengejar mimpi-mimpiku berikutnya, yaitu aku ingin melanjutkan study S2 ku di luar negeri. Dihari Minggu yang cerah ini aku berencana untuk berjalan-jalan ke Toko Buku yang berada di perempatan kota.Aku ingin membeli beberapa buku tentang kepenulisan untuk menambah beberapa koleksiku yang juga berjejer rapi di rak buku kamarku.
Memang sejak beberapa tahun terakhir ini aku sedang sangat menyukai dunia tulis-menulis. Dan beberapa karyaku tersebut sudah dimuat di beberapa koran lokal dan nasional, seperti puisi atau pun essay. Selain itu aku juga gemar menulis cerpen, pernah beberapa kali lolos dalam ajang lomba karya tulis fiksi yang diadakan ditingkat daerah maupun nasional. Maka dari itu, semakin hari aku semakin bersemangat untuk terus menggali potensi yang sedikit demi sedikit mulai muncul dalam ide-ide ku, untuk kemudian bisa melahirkan karya-karya baru berikutnya.
Jarak antara kost-ku dengan toko buku terkenal, terbesar, dan terlengkap di kota Jogja ini tidak terlalu jauh, hanya dengan 10 menit aku telah sampai di Toko Buku tersebut dengan mengendarai motor matic kesayanganku. Sampai dilantai tiga, tempat dimana buku-buku sastra di pajang, aku langsung sibuk mengamati beberapa buku yang mencuri perhatianku. Termasuk buku kumpulan cerpenku pun berada dideretan atas rak buku dalam toko tersebut. Bangga sekali rasanya, seorang yang mengawali hobby nya dari modal nekad dan keyakinan sepertiku bisa membuat Antologi cerpen seperti sekarang.
Ku lihat salah satu buku karya Imam Musbikin yang berjudul “Karena Anda Bertakdir Kaya”. Buku tersebut berisi panduan merancang tujuan hidup, serta panduan memahami motivasi dan metode untuk menjadi seorang enterpreneurship. Sepertinya cocok dengan misiku yang sedang mencari jati diri menuju masa depan yang mandiri dengan memanfaatkan potensiku yang ada sekarang ini untuk mewujudkan mimpi-mimpiku kedepan.
Aku mulai tertarik dengan buku tersebut, maka ku ambil dan ku baca sekilasnya narasinya. Aku mulai berpikir dan terhanyut dalam khayalanku. Semangatku mulai berkobar untuk terus maju berkarya dalam bidang sastra ini. Tapi tiba-tiba seseorang disampingku menoleh dan menyapaku.
“Hallo Tika, belanja ya?” senyumnya ramah.
Aku pun reflek menoleh ke arahnya. Beberapa detik ku amati siapa dia, sepertinya wajahnya tersebut tak asing lagi bagiku. Aku mencoba memutar memoriku sedikit ke belakang. Astaga, apa aku tidak salah liat? Benarkah aku tidak salah orang? Benarkah ini dia?
“Ka..kak..” kataku terbata-bata.
“Iya, ini saya. Tidak disangka kita akan bertemu lagi disini. Bagaimana kabarmu?”
Tidak salah lagi, dia lah laki-laki yang selama ini berusaha ku hapus namanya dari ingatan ku. Laki-laki yang selama ini bayangannya selalu ingin ku buang jauh-jauh dari pikiranku. Dia lah Muhammad Ikhsan, kakak tingkatku di kampus yang hampir selama tiga tahun ini menjadi bayang-bayang dalam pedihnya hatiku.
“Alhamdulillah baik, kakak bagaimana kabarnya?” tanyaku gugup.
“Luar biasa, Alhamdulillah baik. Lama sudah tak pernah berjumpa, kamu jauh berbeda sekarang.”
Aku hanya mampu tersenyum menanggapi ucapannya. Apa maksudnya berbeda? Apa aku terlihat sangat buruk sekarang setelah dia berhasil menghancurkanku, meluluh lantakkan hatiku? Aku hanya menjawab semua pertanyaannya dengan biasa-biasa saja, sambil berusaha menutupi gejolak hatiku yang luar biasa ini.
Lama sudah tak pernah ku dengar kabarnya. Bukan benar-benar tak mendengar, tapi aku memang sangat tak ingin mendengar apapun tentangnya. Meski kabar yang mengatakan bahwa selepas wisuda S1 nya kemarin dia langsung mendapat beasiswa S2 di Amerika Serikat tak bisa begitu saja luput dari pendengaranku.
Tapi kenapa sekarang dia ada di Jogja? Ah, mungkin saja dia sudah selesai menyelesaikan study nya disana, mankanya dia sudah berada di tanah air. Tapi dimana pacarnya yang mahasiswa Akademi Kebidanan itu? Aku tak melihatnya disekitar Kak Ikhsan. Kenapa pacarnya tak diajaknya berbelanja juga? Mungkin saja pacarnya sedang repot mengurusi urusannya sehingga tak ikut keluar dengan Kak Ikhsan, tebakku sekenanya.
“Tika, kamu masih tinggal di kost yang dulu apa sudah pindah?” selidiknya. Karena memang dulu Kak Ikhsan ini pernah beberapa kali bertandang ke kost-ku.
“Masih ditempat yang dulu kak. Hmm, sudah siang, aku harus segera pulang. Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa” Jawabku singkat dan mengakhiri pembicaraan serta pertemuan ini.
“Oh, Ok. Hati-hati.” Dia sedikit berteriak sambil pandangannya tetap tertuju padaku.
Aku pun langsung pergi meninggalkannya di toko buku tersebut. Aku tak mau dia membaca mimik wajahku yang tak mampu menahan gejolak hatiku, yang tak mampu ku pungkiri lagi, luka yang selama ini ku balut rapi kini kembali terkuak dan bernanah. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku menjadi terfokus padanya, meskipun sebenarnya aku tak mau memikirkan dia lagi. Sudah cukup. Mungkin ini hanya kebetulan saja aku bertemu dengannya di toko buku tadi. Aku harus melupakannya dan menelan pahit kenyataan yang memang mau tidak mau harus aku hadapi.
Muhammad Ikhsan, asal Madura kelahiran 21 Juli 1988. Aku mengenalnya sejak aku bergabung di sebuah UKM yang bergerak dalam bidang kepenulisan dan jurnalistik di kampusku. Dia adalah seorang mahasiswa mempunyai segudang mimpi dalam hidupnya, dan juga seorang aktivis juga jurnalis yang cukup produktif di bidangnya. Karena itu, dulu aku sangat mengaguminya. Mengagumi semangat dan prestasinya. Seorang penulis berita tetap di salah satu surat kabar nasional, beberapa essay dan karya ilmiahnya pun selalu menjadi juara dalam berbagai kompetisi kepenulisan. Jujur, aku bisa berkembang dalam bidang tulis menulis seperti sekarang ini pun dimulai dari inspirasi, motivasi, dan bimbingan darinya.
Dulu kami sempat menjalani hubungan yang lebih dari sekedar hubungan senior dengan junior, dan bahkan hubungan yang lebih dari sekedar teman. Hubungan itu berjalan selama kurang lebih satu semester. Kami mulai dekat semenjak intensitas pertemuan kami menjadi semakin sering, karena kebetulan saat itu kami terlibat dalam sebuah projek karya ilmiah bersama. Setelah itu pun menjadi berlanjut, meski akhirnya harus berpisah juga. Kisah itu begitu singkat tapi sangat berkesan dalam sejarah hidupku. Karena dia lah pacar pertamaku, dan aku lah pacar pertamanya.
Dia lah pacar pertama yang aku harapkan menjadi pacar pertama dan yang terakhir dalam hidupku. Diawal hubungan kami dulu, kami berkomitmen untuk sehidup semati, dan menjadikan hubungan kami bukan hanya hubungan pacaran, melainkan hubungan yang lebih dari itu. Aku begitu mempercayainya dulu, sampai aku tak pernah memikirkan arti dari keacuhannya yang jarang memberikan perhatian padaku. Karena aku pikir dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku takut akan mengganggunya.
Disaat aku merasa memiliki teman seutuhnya, ternyata dia memutuskan hubungan kami begitu saja dengan alasan dia akan fokus pada skripsi dan belajarnya saat itu. Karena alasan itu, aku tak mampu menolak. Aku menerima semua keputusannya begitu saja, dengan mengira meski kami tak punya status hubungan lagi tapi perasaan kami akan tetap sama, dan berharap jika urusannya telah selesai kami bisa memulai kembali yang telah berakhir ini.
Ternyata aku salah besar. Dibelakangku dia punya pacar baru, seorang mahasiswa Akademi Kebidanan yang juga berasal dari daerah Madura, alias satu kampung halaman dengannya. Tak kuasa aku membayangkan kembali betapa hancurnya hatiku saat itu ketika tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Semua mimpi yang aku buat bersamanya harus kandas begitu saja menjadi asa yang tak bernyawa. Alasan yang dia berikan padaku tak sesuai dengan fakta yang ia tunjukkan. Benar-benar remuk hati ini.
Tapi aku tak mau terus menerus larut dalam kesedihan. Aku mencoba bangkit dengan membesarkan hatiku sendiri. Meski aku harus merendahkan hatiku dengan fakta-fakta yang memang benar adanya. Pacar Kak Ikhsan sekarang adalah seorang calon Bidan yang pastinya punya masa depan yang cerah, dari keluarga yang berada, dan yang pasti cantik. Sedangkan aku saat itu hanya seorang mahasiswa semester dua yang biasa-biasa saja, tak punya prestasi, dan dari keluarga yang begitu sederhana. Benar-benar tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Yah, wanita itu mungkin memang lebih pantas bersanding dengan Kak Ikhsan yang hebat dengan segudang prestasinya tersebut.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ketika aku sedang membaca buku dikamar, temanku memberi tahuku bahwa ada tamu yang ingin bertemu denganku. Cepat-cepat ku rapikan diriku dan keluar menemui tamuku tersebut. Tak biasanya ada tamu yang datang menemuiku jam segini, karena jam segini teman-temanku tahu aku akan memulai aktivitas rutinku, yaitu menulis. Tapi tamu tersebut harus tetap ku temui, siapa tahu penting.
Saat ku sampai diruang tamu, ternyata sosok berjaket hitam putih yang sedang duduk sambil memegang handphone tersebut adalah Kak Ikhsan. Aku sangat terkejut melihatnya. Ada apa gerangan dia datang kemari? Apa dia ingin memperkenalkan pacarnya itu padaku? Tapi dimana dia? Lagi-lagi aku tak melihatnya.
“Kakak, ada apa gerangan? Maaf lama menunggu..! sama siapa kesini?” tanyaku tak beraturan saking gugupnya.
“Maaf, kakak datang di jam istirahat begini. Kakak sendirian kok. Sibuk Dik?” dia berbalik tanya.
“Hmmm, tidak kok.” Jawabku bohong. Karena memang biasanya aku jam segini mulai sibuk didepan laptopku.
Setelah berbasa-basi ria akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya yang sesungguhnya. Dia ingin mengajakku makan malam, sebenarnya aku sudah menolaknya dengan berbagai alasan. Tapi ternyata dia juga mempunyai seribu alasan agar aku mau menerima ajakannya tersebut. Akhirnya aku luluh dan pergi makan malam bersamanya.
Dia mengajakku pergi makan malam di tempat pertama kali dulu dia memintaku untuk menjadi teman spesial dihidupnya, meski sekarang nyatanya semua itu hanya omong kosong belaka. “Ngeband Resto”, itu salah satu rumah makan paling romantis di Jogja. Sungai-sungai kecil mengalir disana, suara-suara binatang malam yang merdu di telinga, di padu dengan lampu yang temaram membuat suasana begitu syahdu. Tapi kenapa dia mengajakku kesini lagi?
“Masih ingat saat adik kesini pertama kali?” tanyanya.
“Tentu saja, bagaimana bisa aku melupakannya?” jawabku sedikit sewot.
“Aku tahu mungkin kebencian adik padaku sekarang begitu dalam ya? Aku mengerti Dik. Bahkan aku sampai takut untuk meminta maaf padamu.”
Dalam hati aku barkata, “Apa-apaan? Masak minta maaf aja takut. Benar-benar tak bertanggung jawab.”
Dia makan menu yang dihidangkan dengan begitu lahap, sedangkan aku hanya memakannya sesekali. Ada sedikit keraguan dan tidak nyaman dalam hatiku sekarang. Terasa ada yang mengganjal, akhirnya ku keluarkan saja unek-unekku tersebut.
“Pacar kakak dimana kok nggak diajak? Jangan membuatku tidak enak seperti ini kak, karena jujur saja aku menjadi tidak nyaman pergi berdua saja denganmu seperti ini.”
“Huk huk huk..” dia tersedak.
“Pelan-pelan donk makannya, jangan buru-buru seperti itu.” Sergahku.
“Apa tadi adik bilang? Pacar? Pacar yang mana Dik?” dia malah terlihat bingung.
“Ya pacar kakak yang dulu mahasiswa kebidanan itu?” jawabku polos.
“Adik, kakak itu nggak punya pacar. Selama ini kakak fokus pada study dan kerjaan kakak. Sampai-sampai tidak sempat untuk memikirkan hal itu.”
What? Nggak salah? Berarti selama ini dugaanku salah? Astagaa.. Akhirnya dia bercerita bahwa benar dulu dia menjalin hubungan dengan Bidan tersebut, tapi dia harus berangkat ke AS untuk study S2 nya selama 2 tahun. Karena dirasa terlalu lama jika harus menunggu Kak Ikhsan hingga selesai, orang tuanya mendesak Bidan tersebut untuk segera menikah dengan laki-laki yang sudah mapan, bukan laki-laki yang belum jelas perkerjaannya seperti Kak Ikhsan saat itu.
Aku benar-benar belum bisa percaya. Keluarga Bidan tersebut telah menolak seorang Dosen lulusan luar negeri seperti Kak Ikhsan? Disatu sisi aku begitu bahagia karena kesempatanku untuk merangkai kembali kisah kami yang sempat tertunda menjadi sedikit terbuka. Tapi aku juga takut kalau ini hanya akan menjadi asa ku yang tak pernah tersampaikan dan aku takut kalau ternyata aku harus menelan pil pahit yang sama seperti dulu.
Tak dapat terpungkiri kalau sebenarnya hati ini tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Dan perasaan cintaku tak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Kakak, tahukah dirimu bahwa diriku masih seperti yang dulu? Masih menginginkanmu untuk menjadi teman hidupku?
“Kapan adik pulang kampung?”
“Weekend Insya Allah.”
“Kakak ikut adik pulang kerumah ya?”
“Hah, ngapain?”
“Kakak ingin secepatnya meminangmu dik.”
Serius? Bagai disambar gledek malam hari, aku hampir tak percaya dengan ucapannya barusan. Seakan ingin penegasan aku pun berkata, “Kakak serius?”
Dia memegang kedua tanganku dan menatap mataku dalam. Jantungku serasa ingin keluar dari jalurnya. Berdegub-degub kencang tak karuan.
“Maafkan kakak dik, kakak tidak bisa memungkiri bahwa ternyata adik lah yang terbaik selama ini. Tak perah kakak temui wanita sebaik, sehebat, dan sekuat adik. Whould you merried me?”
Aku benar-benar tak mampu berkata-kata lagi. Lidah ku kelu walau hanya ingin mangucapkan satu kata, “Ya“. Akhirnya aku hanya mampu menganggukkan kepalaku perlahan. Tak mampu kusembunyikan kebahagiaan dihatiku ini. Akhirnya butiran air mataku mengalir membasahi pipiku. Kak Ikhsan mencium kedua tanganku penuh kehangatan dan menghapus air mata dipipiku dengan jemari lembutnya penuh kasih.
Tak henti-hentinya ku lafadzkan kesyukuranku pada Yang Maha Kuasa. Yang telah merancang skenario untuk kami dengan bingkai yang begitu indah. Sesungguhnya Dia lah Sutradara terhebat di jagad raya, skenario ceritanya adalah yang paling indah. Terima Kasih Tuhan.
Di Malam Minggu yang begitu indah itu Kak Ikhsan melamarku pada kedua orang tuaku. Sebulan kemudian kami pun resmi menikah. Dan bulan madu akan kami laksanakan di AS kurang lebih selama dua tahun mendatang.
Yah, dia membawaku ke AS setelah mendapatkan beasiswa study Doctor nya disana. Rencananya dia akan melanjutkan study Doctor nya sedangkan aku aku melanjutkan Master ku di Universitas yang sama dengannya, tepat seperti mimpiku dulu yang ingin melanjutkan study ke luar negeri. Sebenarnya ini juga yang menjadi pertimbangan kami menikah secepat mungkin, karena dikejar oleh jadwal keberangkatan kami ke AS yang harus segera menyesuaikan.
Syukurlah, sekarang dia telah menjadi milikku seutuhnya. Menjadi teman hidupku untuk selamanya. Bukan hanya cinta yang semu tapi cinta yang haqiqi yang akan selalu abadi. Percayalah, bahwa skenario Tuhan adalah cerita terindah untuk hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar