Sabtu, 02 November 2013



Sudah dua tahun aku menjalani masa latihan kerja sebagai guru sementara di sebuah sekolah yang teletak di lereng Gunung Pandan Tepatnya di SMPN 2 Gondang, yang akrab disebut SMP Krondonan. Bukan Pegunungan yang dikelilingi oleh indahnya pohon cemara ataupun pohon pinus. Melainkan pegunungan yang dikelilingi oleh tanaman jagung dan pohon jati. Sungguh berat rasanya menjalani kehidupan di kaki gunung yang tandus dengan warga yang tak banyak ini. Itupun jarak satu kampung dengan kampung lainnya cukup jauh. Tak khayal jika murid-muridku harus berjalan kaki selama satu jam untuk sampai di sekolah dengan menyebrangi sungai-sungai yang melintasi kaki gunung ini. Ditambah lagi dengan jaringan komunikasi yang sulit. Yang membuatku tak bisa leluasa untuk berkomunikasi dengan keluarga di kota. Sungguh keadaan yang berbeda ketika aku masih SMA dulu yang bisa berpergian kemana-mana dengan mengendarai motor atau kendaraan umum. Ya, di desa dan di kota sangat jauh berbeda. Apalagi desa ini terletak di lereng pengunungan dan berada di balik pengunungan-pengunungan yang lain. Atau biasa disebut dengan Pegunungan Kendheng yang tingginya hanya 897 meter.
Ku lalui semua ini sebagai ujian untuk meraih mimpiku. Mimpi untuk menjadi seorang guru. Meskipun disini sepi, tapi masih ada Bu Heny yang setia menampungku untuk ditinggal dirumahnya selama dua tahun ini. Dan dialah orang terdekatku disini, orang yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Bu Heny selalu menemaniku ketika kerinduan akan keluarga dan teman-teman di kota menyelimuti hatiku. Bu Heny juga yang menasehatiku ketika masalah asmara menderaku. Asmara yang kurasakan bersama seorang lelaki asli Desa Krondonan ini.
Awal pertemuan dengan lelaki yang membuatku jatuh cinta itu ketika aku baru beberapa hari tinggal di Desa Krondonan ini dan ingin sekali pergi ke air terjun Kedung Gupit yang letaknya tak jauh dari tempatku mengajar. Hari ini hari minggu dan pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke air terjun sendiri. Dengan berbekal petunjuk dari Bu Heny agar aku menyusuri jalan setapak belakang sekolah dan menyebrangi dua sungai agar sampai di air terjun itu. Dan tak lupa juga pesan dari Bu Heny agar aku berhati-hati di jalan. Perjalanan tak terlalu jauh, butuh waktu sekitar 20 menit agar bisa sampai di air terjun itu. Dan jalannya, sungguh menantang sekali. Berkali kali naik turun batu yang cukup besar agar bisa sampai di air terjun itu. Aku langsung tersenyum bahagia ketika aku melihat air turun dari atas bebatuan setinggi enam meter membasahi tubuh anak-anak kecil yang sedang bermain air. Aku melihat hanya ada seorang pemuda yang menemani anak-anak kecil kecil itu bermain. Namanya Pandu. dia tersenyum padaku, dan kubalas senyumnya dengan sedikit ragu. Lalu dia menghampiriku dan mengajakku berkenalan ketika aku sedang memfoto air terjun itu. Gaya bicaranya, khas logat orang desa. Dia mengajakku mendekati air terjun itu.
“Baru ya mbak disini. Kenalkan aku Pandu “
“ Sari “
“ Orang mana mbak, sepertinya mbak bukan orang sini. Orang kota ya? Ada perlu apa ke desa ini? “
“ Surabaya mas, saya jadi guru “
“ Pasti ngajar di SMP Krondonan ya, wah muridnya pasti seneng punya guru dari kota yang cantik kayak gini “
“ Bisa saja mas, masnya ngapain disini “
“ Saya ya setiap hari disini, kerja. Nanem brambang sama jagung. Sawah saya ada di dekat sungai yang mbak lewati tadi “
“ Oh, orang asli sini ya? “
“ Iya mbak, saya lahir dan besar disini. Itu, anak yang sedang bermain air disana yang paling kecil sendiri namanya Satriyo. Dia adik saya. “
Aku melihat seseorang yang ditunjuk Pandu. Anak yang bertubuh kecil tubuhnya hitam mungkin terlalu banyak terbakar matahari. Sama seperti Pandu. Tapi paras Pandu manis.
“ Boleh panggil Sari saja kalau mau. Jangan panggil mbak “. Ucapku, dan dia mengiyakan.
Itulah awal perkenalanku dengan Pandu. Lelaki yang tak terasa sudah dua tahun mengisi hatiku. Dan hampir setiap hari aku mengabiskan waktu soreku bersamanya di bawah temaram senja sore, di kaki Gunung Pandan. Selalu muncul kebahagiaan ketika aku bersamanya. Dan tempat yang paling indah, diatas batu setinggi satu meter yang berada di halaman tempatku mengajar. Duduk bersamanya, mendengar cerita-cerita tentang dirinya dan tentangku yang kuceritakan padanya. Aku menyukai saat seperti itu, apalagi ketika senja atau pagi hari. Memandang indah bentangan Pengunungan Kendheng yang menarik hati. Bersama kicauan burung dan hembusan angin yang membuat pepohonan bak penari yang begitu gemulai.
Aku dan Pandu lahir di kehidupan yang berbeda, dia pemuda desa yang mampu membuatku terbius akan indahnya dunia merah jambu. Ya, dunia cinta. Cinta yang benar-benar cinta. Aku tak pernah memandang siapa dirinya dan darimana dia. Sama halnya seperti perasaan dia terhadapku. Dia tak pernah mempermasalahkan aku yang berasal dari kota yang terkadang sifat manjaku bisa muncul begitu saja. Dia mampu memahamiku.
Aku mengukir cerita indah bersamanya setiap minggu pagi. Kami bersama-sama pergi ke air terjun untuk mengantarkan adiknya mandi dan bermain. Bahkan tak jarang pula aku menemaninya di sawah ketika dia menanam bawang merah dan jagung. Kenangan terindah yang mampu membuatku sadar akan pentingnya sebuah kesederhanaan ketika tiga bulan setelah berteman dengannya aku yang biasa menemnaninya kini tak bisa menemaninya untuk pergi ke ar terjun itu. Ada urusan sekolah yang mengharuskan aku pergi ke kecamatan. Tapi aku berjanji pada diriku untuk menemuinya di sawah setelah urusanku selesai. Aku tak mengabarinya, dia tak punya HP. Meskipun aku terus memaksanya agar dia membeli HP. Tapi dia tetap bersikeras tak mau membeli HP.
Siang itu, saat semua urusanku sudah selesai aku bergegas untuk pulang dan ganti pakaian lalu pergi menemuinya di sawah. Aku membawakan dua bungkus es dawet untuk sekedar oleh-oleh buat dia dan adiknya. Karna ku tahu dia pasti sangat lelah dan haus seharian terpanggang sinar matahari. Benar saja, ketika aku sampai di sawahnya dia sedang makan dengan lahapnya dibawah pohon jati dengan bersandar pada batu besar yang berada ditengah rimbunnya pohon jagung dan adiknya sedang bermain ketapel tak jauh dari tempatnya istirahat.
“ Makan apa? Sepertinya kamu sedang lapar sekali?”. Tanyaku, dan aku tau dia kaget sekali karna tak menyadari kedatanganku. “ Maaf tadi tak sempet ke air terjun, aku harus ke kecamatan “.
“ Ndak apa-apa. Nasi jagung. Kamu mau?
Aneh. Nasi jagung? Makanan apa itu? Bu Heny saja tak bernah bercerita padaku apa itu nasi jagung. Batinku dalam hati.
“ Siapa yang masak? Kamu suka ya?
“ Aku sendiri yang masak. Enak, kamu harus coba. Ini juga ada oseng-oseng kacang panjang buatanku. Mantap sekali Sar. Pedas dan Gurih “
“ Memangnya Ibu kamu dimana? “
“ Ibuku sudah tenang di pesarean “
“ Maksudmu, sudah meninggal ? “
“ Iya, tiga tahun yang lalu. Waktu itu aku dan adikku sedang bermain di air terjun dan ibuku mencariku disana. Waktu itu habis hujan jadi jalannya licin dan ibuku terpeleset sewaktu menaiki batu dan memanggilku “
“ Maaf, aku tak bermaksud menyinggung masa lalumu. Oh iya ini aku bawakan es dawet buat kamu dan Satriyo katanya ini yang selalu kamu cari jika kamu pergi kekecamatan? “
“ Makasih ya “. Lalu dia memanggil adiknya dan memberikannya satu bungkus es dawet. Adiknya lalu pergi lagi, sibuk dengan urusannya. Mengetapel burung-burung yang hinggap di pohon jati.
Dia melanjutkan makannya, dan aku termangu. Membatin dalam benakku betapa sulit lika-liku kehidupan yang pernah dia alami. Dia laki-laki yang begitu tegar meskipun telah kehilangan orang yang telah melahirkannya. Dia tak pernah membenci batu dekat air terjun yang secara tidak langsung telah merenggut nyawa ibunya. Bahkan dia bersama adiknya hampir setiap hari mengunjungi temapt itu. Sedangkan aku? Aku yang lebih memilih mengajar di tempat ini hanya karna ingin melupakan masalah cintaku dengan pria yang mengisi hatiku sewaktu masih di Surabaya dulu. Betapa bodohnya aku! Kenapa aku tak bisa hidup mandiri dan berpikir dewasa meskipun aku sudah berada disini. Jauh dari semua masa laluku di Surabaya. Kenapa aku masih terus mengingat pria yang telah mengecewakanku begitu dalam. Bukankah aku disini sudah bersama pria yang telah membuat aku jatuh cinta. Aku tau Pandu juga memncintaiku, meskipun dia tak pernah mengucapkan I love you atau yang lainnya padaku. Tapi aku mampu membaca gerak-geriknya. Aku mampu melihat raut wajahnya setiap kami bertemu. Juga setiap perkataanya padaku.
“ Kamu bisa masak? “ Tanya Pandu padaku yang seketika membuyarkan lamunanku .
“ Bisa, masak nasi putih. “
“ Cobalah masak nasi jagung. Lihatlah jagung-jagung disini banyak yang masih nempel di pohonnya sampi menguning. Artinya tak banyak dimanfaatkan. Kamu bisa membuatkan untuk murid-muridmu juga dan mengajaknya berkumpul bersama-sama waktu hari minggu atau liburan sambil makan masakanmu. “
“ Ide yang bagus. Bolehlah aku belajar di Bu Heny “
Pandu banyak mengajarkan tentang kebahagiaan yang terlahir dari sebuh kesaderhanaan padaku. Dari pertemuan itulah aku mulai belajar memasak pada Bu Heny. Bu Heny dengan sabar mengajariku cara memasak walaupun lebih banyak masakanku yang terbuang sia-sia karna rasanya yang hancur. Dan terbukti, aku bahagia setiap hari minggu atau liburan. Karna tak hanya Pandu saja yang menemaniku menghabiskan waktu liburanku. Tapi banyak muridku yang ikut berkumpul di halaman sekolah sambil makan masakan yang sebelumnya aku buat dengan susah payah.
Aku benar-benar bahagia bersamanya. Dia mampu membuatku melupakan semua kenangan pahit sebelum aku memilih mengajar disini. Aku merasakan setiap hari itu indah. Lebih lagi jika sedang menghabiskan waktu bersamanya dan mendengar ceritanya.
Tapi hari ini ada yang berbeda, aku berada di keadaan yang sulit ku lukiskan dengan kata-kata. Di lereng Gunung Pandan, di halaman sekolah yang biasanya kugunakan bersama pandu untuk bercerita ketika sore atau malam hari, kini berubah menjadi saksi pilu akan kisahku bersama Pandu.
Hari-hari yang sebelumnya indah kini jadi tak indah lagi semenjak seminggu lalu. Saat Aryan menemuiku di halaman sekolah ketika aku, Pandu dan murid-muridku sedang berkumpul bersama-sama. Aryan mengajakku untuk kembali ke Surabaya. Tentunya bukan hanya kembali saja. Tapi dia mengajakku untuk kembali menjadi pacarnya. Dia mengajakku untuk menghabiskan liburan kenaikan kelas dan liburan lebaran di Surabaya. Padahal aku sudah berniat akan kembali ke Surabaya dua hari sebelum lebaran. Pandu mengetahui kejadian itu, aku tahu dia pasti kaget sekali. Aku tak pernah menceritakan kepadanya masa laluku. Termasuk tentang Aryan. Bahkan ketika Aryan mengajakku kembali ke Surabaya bersamanya Aryan juga mengatakan bahwa dia sudah mendapat izin dari orang tuaku untuk bertunangan denganku. Aku tak pernah menyangka jika Aryan akan mengunjungiku lagi. Aku pikir semuanya sudah selesesai ketika aku memutuskan untuk mengabdi di lereng gunung ini.
Kejadian itu sudah berlangsung seminggu lalu tapi Pandu tak pernah berbicara padaku walau sepatah katapun. Dan ketika aku berusaha menemuinya, dia seperti menghindar dariku. Aku tak tahan dengan keadaan seperti ini. Aku memutuskan akan membicarakan semuanya dengan Pandu. Lewat Satriyo aku menyuruh Pandu untuk menemuiku di halaman sekolah nanti sore.
Sore itu, menjadi sore terburuk yang pernah kulalui. Senja semakin tenggelam. Dan sekarang garis-garis di langit tampak membongkar awan. Namun tak ada satupun bintang yang bersinar. Dan rembulan hanya memancarkan sinar redupnya. Sama redupnya dengan hati dua insan yang tengah memandang langit malam ini. Pandu duduk disampingku, sorot mata Pandu begitu tajam, bukan padaku sorot matanya ditujukan. Tapi aku mampu membaca sorot matanya. Tajam, dan bermakna kebencian. Sore yang hening, tak terucap kata sedikitpun dari dirinya ataupun dariku. Aku takut untuk memulai pembicaraan yang sebenarnya ku tak tau harus memulai dari mana. Mulutku mengucapkan kata maaf saja tak kuasa. Seperti terkunci rapat-rapat. Karna Pandu terlalu baik padaku. Kebaikan yang seharusnya kubalas dengan kebaikan, bukannya dengan kekecewaan. Mata Pandu terlihat sayu dan aku melihat setetes air mata turun dari balik gelapnya malam. Aku melihatnya. Sangat jelas. Dia menangis. Tangisan pertama yang aku lihat saat bersamanya. Jantungku berdegup semakin kencang. Sebuah penyesalan dan rasa takut menyelimuti hatiku. Dan air mataku turun semakin derasnya. Rapuh jiwaku ketika Pandu memutuskan untuk benar-benar meninggalkan dan membiarkanku bersama lelaki lain.
Ya, Pandu benar-benar meninggalkanku di malam ini. Dan semuanya berakhir sudah bersama angin malam. Hatiku ingin memberontak, aku tak ingin ditinggalkanya. Aku ingin terus bersamanya. Sekarang aku sendiri, hanya ditemani oleh angin malam yang menjadi saksi bisu akan kandasnya dunia merah jambuku bersama Pandu. Bintang dan bulan terlihat acuh hingga dia hanya memancarkan sedikit sinarnya. Seolah-olah turut serta menhakimiku atas kebodohanku ini. Hatiku hancur, jiwaku tak bertenaga. Namun aku tetap duduk di lapangan ini tak bersama Padu lagi. Pandu sudah meninggalkanku! Aku membiarkan hujan membasahi tubuhku. Hingga akhirnya aku tak kuasa lagi menopang tubuhku. Tubuhku terasa melayang, tubuhku tak merasakan dingin lagi walaupun pakaianku basah terkena hujan.Pingsan.
Aku merasakan seseorang membopongku pergi meninggalkan halaman itu. Ditempatkannya aku ke dalam sebuah ruangan yang hangat. Dan ketika kusadari esok harinya itu adalah kamarku di rumah Bu Heny. Pakaianku sudah tak basah lagi. Tapi aku merasakan jika tubuhku masih lemah, kepalaku pusing, rambutku acak-acakan dan mataku sembab. Saat kutanya pada Bu Heny siapa yang membawaku kemari Bu Heny menjawab dengan tenangnya “ Seseorang yang sering kau ceritakan pada Ibu, Pandu nduk “ .
“ Dimana dia sekarang? “
“ Wes to nduk, jajal dilalekne wae gus Pandu. Pandu pergi sama adiknya tadi pagi ke Kalimantan ikut Bapaknya yang jadi buruh di tambang batu-bara. Oh ya, tadi pagi juga orang tuamu telfon ibu untuk menjemputmu kalau liburan sudah tiba “
Aku tersentak dengan ucapan Bu Heny. Tubuhku semakin lemas dan otakku semakin kosong. Terus memikirkan dunia merah jambuku di lereng Pandan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar