Sabtu, 02 November 2013



Aku teringat pertemuan kita pertama kali. Hal yang tidak disengaja hari itu. Seorang temanku meminta untuk ditemani mengambil tugasnya yang sedang di foto copi. Malam malam, habis hujan pula. Mata ini sebenarnya sudah kuyu, badanku juga sedang lemas karena habis terserang virus influenza beberapa waktu yang lalu. Dengan loyo aku mengikut saja diboncengannya. Pertama kali melihatmu, aku biasa saja. Mungkin juga karena aku masih ilfeel untuk bergaul dan bercanda dengan orang pinggiran, rasa gengsi itu pun terbawa hingga malam itu. Aku ingat, ditempat foto copian itu, kalian hanya bertiga. Kamu termasuk tampan sendiri, berkulit putih bersih, tidak tersenyum sendiri namun manis.
Tanpa aku sadari, aku menjadi pelanggan setia di tempat itu. Dalam seminggu, aku bisa mampir 6 kali bahkan lebih. Bukan tanpa alasan, tugas dan tanggung jawabku sebagai mahasiswa dan koordinator di salah satu lembaga eksekutif mahasiswa membuatku terlampau sering membutuhkan jasa orang orang sepertimu. Lagipula, aku punya alibi sendiri, kalian tidak pernah menolak walau aku hanya mengcopi selembar. Dengan senyum ramah, sebut saja mas botak, dan tawa lebar mas gondrong, aku sedikit merasa terhibur dengan kalian. Selebihnya, aku juga terpukau, lagi lagi terpukau dengan kilau kulit putihmu dan wajahmu yang tanpa senyum. Sekali waktu, aku pernah melihatmu tertawa terbahak. Dan itu pun bukan karena hal lain, melainkan karena kekonyolanku.
Hari itu, aku baru saja menyelesaikan kuliahku. Aku dan dua sahabat akrabku mampir ketempat kalian. Untuk mengcopi dokumen yang cukup penting, dari tempat kalian, pas didepannya adalah rumah makan cukup terkenal dikalangan mahasiswa. Selain harganya yang cukup terjangkau kantong (pssstt…jika awal bulan saja) tempatnya juga sangat nyaman. Jadilah kami bertiga menuju ke rumah makan tersebut. Kami mengambil kursi di pojok, pas menghadap tempat copian kalian. Sesekali, aku mencuri pandang memperhatikan kalian bekerja, ternyata bukan aku saja yang kalian persembahkan senyum, tawa bahkan guyonan nakal, tapi setiap pelanggan kalian perlakukan sama. Aku semakin kagum dengan loyalitas kalian, selama ini aku belum pernah menemukan yang seperti kalian. Satupun dari kalian tidak ada yang pernah berucap kasar, aku kagum untuk kesekian kalinya. Pulang dari rumah makan tersebut, aku dijemput oleh salah satu teman priaku, karena alasan malas beralih jalur, jadilah temanku itu berhenti pas didepan tempat foto copi itu. Aku sudah menyangka, mata kalian bertiga tertuju padaku. Dengan senyum tipisku, aku berjalan santai menuju temanku berhenti. Kemudian salah satu dari kalian nyeletuk, dan kalian semua tertawa lepas tepat disaat aku diatas boncengan. Tawamu membuatku terpukau. Dengan cuek, tanpa memikirkan alasan kalian mentertawai apa, aku lewat saja. Belakangan baru aku tahu, kalian tertawa melihat gaya aku memakai sandal dengan kaos kaki jari yang terlihat seperti orang jepang dengan warna yang kontras dengan bajuku.
Belakangan, aku mulai mengetahui namanya. Pria berkulit putih, dengan senyum tipis dan tubuh tinggi itu. Dengan kisaran usia 10 tahun diatasku. Sebut saja mas arif. Sebelumnya aku memanggil om kepadanya, tak dianya setelah kami saling mengenal ternyata kamu lebih suka jika aku memanggilmu mas sama seperti kepada mas botak dan mas gondrong.
Tanpa kami sadari, satu peristiwa membuat aku dan mas arif menjadi dekat. Hari itu cuaca cukup sejuk, dengan pelan aku menuju tempat mas arif dengan tujuan hendak mengcopi dokumen dokumen perkuliahan. Dengan riang aku menyapa kalian dan meminta untuk mengerjakan apa yang kubutuhkan pada kalian. Dengan santai, mas arif mengambil dokumenku, dan menyerahkan pada mas botak. Dengan giginya yang setengah hitam, mas botak tersenyum lebar kepadaku. Aku mengambil kursi tepat didepan mas arif bekerja. Dengan tangannya yang cekatan, dia mengerjakan ribuan lembar kertas yang hendak dijilid. Aku bukan memperhatikan wajah, kulit atau apapun darinya. Aku benar benar memperhatikan tangannya yang bekerja, selang beberapa waktu, seorang gadis cilik berusia 3-4 tahun dan seorang wanita berusia sekitar 30-35 tahun mendekat. Ketika melihat mas arif, dia langsung berteriak, “ayah….” Dengan lembut mas arif mengangkatnya duduk diatas meja tempat dia bekerja, menciumnya dan menanyakan perihal yang tak bisa kudengar. Wanita tersebut pamit, yang kemudian belakangan kuketahui adalah pengasuh anak mas arif.
Aku terpana, cemburu dan sedih bercampur jadi haru. Tiba tiba aku kangen dengan keluargaku. Melihat seorang ayah bercengkrama dengan anaknya. Sadar aku memperhatikannya, mas arif melempar senyum padaku, dan menggerakkan tangan anaknya melambai padaku. Aku hanya tertawa sesudah kebingungan melihat hal tersebut.
Mas arif sudah punya anak, berarti dia telah memiliki istri. Hal itu yang menggangguku dalam perjalanan kekontrakanku yang tak jauh dari tempat mas arif bekerja. Aku sedikit, mungkin banyak cemburu. Ya, aku cemburu. Tanpa sadar aku sedikit suka padanya. Walau usia kami terpaut jauh, dia sudah menikah dan aku pun masih kuliah. Masih bau kencur kata orangtua jaman dulu. Namun angin segar menghampiriku, dari mas botak belakangan aku tahu bahwa istri mas arif pergi tanpa kabar setelah melahirkan diva, putri tunggal mereka itu. Semenjak itu, mas arif membesarkan diva sendirian. Hingga pada suatu kesempatan, aku dan mas arif bertemu di satu rumah makan dimana aku sering membeli makan siang ditempat tersebut. Tanpa basa basi, kami sudah duduk dalam satu meja dan menikmati pesanan kami masing masing dalam diam. Hingga pada suatu kesempatan, aku menangkap mata mas arif memandangku, dengan sekejap mata pandangan itu kembali kelain objek. Dengan gaya ku yang memang terkenal supel, aku memulai pembicaraan. Mas arif sangat pendiam, tidak banyak bicara dan dewasa. Aku terpukau untuk kesekian kalinya yang tak dapat dihitung lagi.
Kami berbagi cerita, dia bukan orang tertutup. Namun sungguh, aku teramat susah untuk menangkap seperti apa karakter orang didepanku ini. Waktu berjalan, hari berganti, detik semakin deras menuju masa depan, aku dan mas arif menjadi semakin dekat. Kedekatan yang amat hangat, apalagi aku dan diva. Aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri, gadis cilik yang lucu yang amat manis seperti ayahnya. Aku sayang mereka berdua, seperti mereka berdua sayang padaku. Pernah pada suatu kesempatan, hari itu adalah hari ibu. Mas arif datang kekontrakanku bersama diva, mereka berdua menggunakan setelan berwarna pink, warna kesukaanku. Dengan membawa kue kecil berwarna pink pula, dengan tiga lilin diatasnya, mas arif tersenyum manis. Tak ketinggalan si manis diva membawa sebuah kado mungil. Dengan kompak mereka mengucapkan “selamat hari ibu”, diva memelukku erat saat aku berjongkok . kudekap erat tubuh mungilnya. Kurasakan kehilangan dia terhadap ibunya, saat itu dalam hatiku, aku hanya ingin bersama mereka, selamanya. Kemudian kami bertiga sama sama meniup tiga lilin itu. Ketika diva asyik dengan kuenya, mas arif menatapku. Lama dan lain dari biasanya, kemudian diakhirinya dengan senyum khas seperti biasanya. Akhirnya, kami pergi makan malam bertiga. Aku tidak merasakan hal lain lagi, yang kurasa, aku sayang mereka. Aku merasa, aku adalah bagian dari mereka. Aku adalah ibu dari anak mas arif. Pernah suatu saat, mas arif berkata.
“ suatu hari nanti, diva akan memanggilmu bunda, ibu atau mama. Tapi aku suka kalau diva memanggilmu ibu”. Aku terdiam, tak berani bicara apapun. Aku suka, aku bukan tidak suka. Aku terkejut, bukan karena takut, tapi karena terlampau gembira. Karena hingga hari itu, diva memanggilku kakak.
Aku tenggelam bersama mas arif dan diva. Pulang kuliah, aku pasti mampir ketempatnya bekerja. Dulu, sebelum ada aku, diva tak pernah bermain ke tempat kerja ayahnya. Kejadian dulu itu, ternyata jalan Tuhan untuk mendekatkan kami. Aku asyik menemani diva membahas kegiatannya di play groupnya, mas arif asyik dengan pekerjaannya. Sesekali, mas arif mengusap peluhnya sambil menatap kami yang asyik tertawa tanpa sadar cuaca amat panas. Ingin rasanya tangan ini mengusap peluhmu mas, namun aku tahu. Jemari ini takkan boleh menyentuhmu lebih dari ini. Kedekatan kami genap 8 bulan, selama 8 bulan itu kegiatan rutinku jadi bertambah. Namun, hingga hari itu, aku masih belum pernah menginjakkan kaki dirumah mas arif. Kami berpisah, setiap hari pukul 9 malam ditempat kerja mas arif. Dengan menggendong diva dipelukannya, yang telah pulas bersama mimpi, mas arif berjalan kaki menuju angkot terakhir menuju rumahnya. Aku menatap dari jauh, ingin kaki ini mengejar. Tapi aku tak berani, aku masih tak bisa masuk terlalu jauh kedalam kehidupan mereka. Walau tanpa aku sadari, benih cinta ini telah muncul. Dan aku tahu, mas arif dan diva pun merasakan hal yang sama. Aku pun kembali kekontrakan, menyelesaikan urusan kuliah, organisasi, memberi kabar pada keluarga dirumah, dan kemudian ditutup, selalu setiap malam, oleh sms mas arif.
“selamat tidur ibu, besok kita ketemu lagi” yang ditambahi emoticon smile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar