Sabtu, 02 November 2013



Pagi itu di kelasku ramai sekali. Hari ini, 31 Oktober, adalah hari Halloween. Teman-temanku yang datang lebih awal mengagetkan dan menakuti teman yang baru datang. Joseph, temanku yang paling heboh memadamkan lampu kelas dan menutup jendela kelas sehingga kelasku 8 B menjadi gelap. Triana, temanku yang rambutnya paling panjang menutupi mukanya dengan rambutnya sehingga tampak seperti setan. Ada juga Fajar, temanku yang suka iseng dan becanda. Dari rumah, ia sudah menyiapkan pasir dan tepung buat ngejahilin teman.
Sial, hari itu aku datang pas-pasan dan lupa kalau hari ini hari Halloween. Jadi, seragamku kotor kena jebakan Fajar. Hilda, ketua kelasku yang terpintar dan tergalak mengadakan lomba cerita seram. Jurinya jelas aku yang dikenal paling berani di kelas. Sudah banyak temanku mencoba menakutiku, tapi gagal semua. Kali ini, giliran Irfan yang bercerita:
“Pulang sekolah kemarin, aku lewat Jembatan Ancol. Maklum jalan yang biasa kulewati tutup karena ada pengaspalan jalan. Di tengah Jembatan Ancol, aku melihat si Jamilah, si Manis Jembatan Ancol!” teriaknya sambil menakutiku, tapi aku tidak takut sama sekali.
“Bagaimana kau tahu dia itu Si Manis Jembatan Ancol?” tanyaku sambil meledeknya. Jamilah? Nama asli Si Manis Jembatan Ancol kan Mariam, kok Jamilah?”
“Ah, kau ini, Sur! Kayak ga tau aja ceritanya. Si Jamilah ‘kan ditinggalin pacarnya dan tiap kali dia selalu nyariin pacarnya itu,” kata Irfan.
“Memangnya siapa pacarnya?” aku pura-pura tidak tahu. “Ya jelas namanya Surya lah… pake’ nanya lagi,” ledek Irfan diikuti tawa teman-temanku yang lain. Aku menahan rasa maluku di depan semua teman-temanku.
“Enak aja…! Kamu kali, Fan? Buktinya kamu yang ketemu sama dia. Biar aku tunjukkin kalau aku bukan pacarnya si Manis Jembatan Ancol itu. Pulang sekolah, aku akan lewat situ. Kalau aku lewat tanpa rasa takut, berarti kau pacarnya!” teriakku sambil menggebrak meja.
Aku dan Irfan tak sabar menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Kami sama sekali gak konsentrasi belajar. Bahkan kami sempat dihukum Pak Retno karena lebih memerhatikan jam daripada pelajaran.
Sepulang sekolah, seperti perjanjian aku harus melewati Jembatan Ancol. Aku berjalan sendirian di atas besi tua yang rapuh itu. Ketika kuinjak besi itu, muncul suara menderit di tengah keramaian kota ini. Bulu kudukku mulai berdiri. Kakiku gemetar di langkah kedua. Aku merasakan keringat dingin bercucuran di wajahku. Tiba-tiba gadis pendek dengan wajah sedih dan rambut panjang yang menutupi wajah menepuk bahuku. Suaranya yang parau berkata, “Oh sayangku kau kembali!”. Saat kutengok ke belakang, ternyata…
“Ahh…!!!” Teriakku histeris sambil berlari ke seberang sana. Orang-orang kaget dan mengira aku kerasukan. Sementara itu, teman-temanku di seberang menungguku sambil cekikikan.
“Astaga, ternyata Surya si pemberani takut sama pacarnya sendiri, kikik…,” tawa Irfan dan teman lainnya.
Aku tak dapat berkata-kata lagi. Aku menyerah. Tapi aku tetap tidak mau dibilang pacarnya Jamilah atau yang seharusnya Mariam si Manis Jembatan Ancol!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar