Sabtu, 02 November 2013



Setelah sang Dosen mengakhiri perkuliahan di hari Rabu siang ini, puluhan mahasiswa dan mahasiswi pun bergegas meninggalkan ruangan dengan deret-deret kursi yang berada di dalamnya.
“Diandra! Tunggu!!!,” suara Bima terdengar cukup keras memanggil seorang gadis yang berada cukup jauh dari hadapannya, langkah kaki Bima pun dipercepat.
Diandra terhenti, lalu ia menoleh ke belakang, dilihat seorang lelaki yang berlari menghampirinya. “Eh, Bima… ada apa?,” tanya Diandra pada Bima yang kini hanya terpaut dua langkah saja. Bima tak langsung menjawab pertanyaan Diandra tersebut, ia mengatur ritme napasnya terlebih dahulu.
“Ada apa Bim?,” Diandra kembali bertanya.
“Begini… aku mau tanya sama kamu, kenapa Maya nggak masuk kuliah hari ini?, dari kemarin juga nggak ada kabar sama sekali.”
“Aku nggak tahu Bim,” ucap Diandra singkat.
“Kamu kan, sahabatnya?,”
“Iya, tapi aku bener-bener nggak tahu Bima. Dari hari kemarin, aku juga nggak ketemu sama Maya,” jelas Diandra meyakinkan.
“Hmm… o, ya, sekarang aku mau ke kosan Maya. Kamu mau ikut?,” ajak Bima pada gadis berambut lurus sebahu itu.
“Aku nggak bisa.”
“Kalau begitu, aku duluan ya… bye!,” seru Bima dan akhirnya melenggang pergi.
“Asal kamu tahu Bim, MAYA UDAH MATI!!!,”
Diandra Alexa. Gadis berusia 19 tahun-an ini memiliki wajah oriental, dengan mata sipit, hidung mungil ditambah kuning langsat yang mewarnai kulit mulusnya. Sejak dua tahun yang lalu, Diandra telah terdaftar sebagai mahasiswi jurusan teknik kimia di sebuah Universitas swasta yang ada di kota Bandung.
Masih lekat di ingatannya, saat Maya menggandeng mesra lengan Bima. Ya, sekitar 3 hari yang lalu, lebih tepatnya hari Sabtu; malam Minggu. Kejadian itu tak henti terbayang dalam pikirannya, seperti roll film yang diputar terus menerus.
“Diandra?, ternyata… kamu juga disini?,” tegur Maya.
“Eh, iya May… silahkan duduk!,” jawab Diandra sembari tersenyum—SENYUMAN PALSU!.
“Maaf Diandra… aku dan Bima mau duduk disana!,” balas Maya sambil menunjuk sebuah tempat dan akhirnya berlalu.
Sepenggal malam di CafĂ© ini, tak mungkin Diandra lupakan—TAK AKAN PERNAH!!!. Bagaimana tidak, Bima adalah lelaki yang ia cintai, sedang gadis cantik nan anggun itu ialah sahabatnya.
Diandra tak pernah menceritakan tentang perasaannya pada siapa pun, termasuk Maya. Begitu juga sebaliknya, Maya tak pernah bercerita tentang perasaan yang sama dengan Diandra. Tahu-tahu… Maya dan Bima sudah jadian!, ouhhhh hebat!!!.
“Aku nggak akan pernah biarkan kamu hidup bahagia!, dan Bima akan jadi milik ku!, camkan itu!!!,” kata-kata yang selalu memberontak dalam batin Diandra. Api kebencian baru saja membara.
Pada hari Senin, setelah kejadian malam itu. Tepat pukul 20.30 WIB, Diandra pergi ke kosan Maya.
“Tok… tok… tok…” pintu ber-cat cokelat itu Diandra ketuk berulang kali. Sesaat kemudian, pintu pun tersibak.
“Eh… Diandra, mari masuk!,” ajak Maya dengan ramah. Lalu Diandra masuk, kemudian duduk di kursi.
“Sorry, ya… aku telat,” ucap Diandra.
“Iya, gapapa kok, tenang aja lagi… tugas kelompok ini kan dikumpulinnya minggu depan,” jawab Maya.
“Hehehe… iya. Nih, aku bawain kamu juice stroberi!,” seru Diandra, sambil memberikan juice dalam wadah gelas plastik.
“Wii… thank ya,” jawab Maya. Gadis berperawakan bak model ini memang sangat suka dengan juice stroberi. Tanpa waktu lama, Maya pun segera meminum juice tersebut.
Tetapi setelah beberapa teguk, ia meletakan gelas itu ke atas meja. Ia merasa lehernya tercekik begitu kuat, nafasnya pun tersengal-sengal. Akhirnya ia tak bisa bernafas sama sekali dan mata belo itu melotot sempurna.
“Hahaha… ternyata semudah itu melenyapkan kamu dari dunia ini!. MATI SEKARANG KAMU MAY!!!, hahaha…” ucap Diandra penuh kepuasan. Lalu Diandra, menggusur tubuh Maya dan dibiarkan tergeletak di lantai kamarnya. Tak lupa ia memakai sarung tangan yang sangat tipis untuk menghilangkan sidik jarinya. Kemudian, Diandra mengeluarkan sebotol racun yang ada di saku celana jeans-nya dan di letak kan tak jauh dari samping Maya. Sementara juice tadi, ia tumpahkan di dekat lantai dan sebagiannya lagi di atas dada sahabatnya itu, serta wadahnya ia letak kan di lantai juga.
“Huh… beres!!!,” seru Diandra dan senyuman manis tersungging lebar di bibir tipisnya.
Diandra pun segera bergegas pergi meninggalkan Maya yang sudah tak bernyawa. Hati nurani telah ternoda tinta hitam kebencian. Gelora dendam dalam jiwa, berujung KEMATIAN!!!.
Kembali pada Rabu siang,
Langkah Bima terhenti setelah ia melihat kerumunan orang di dekat kosan Maya. “Ada apa ya, pak?, kok banyak orang gini?,”tanya Bima pada seorang bapak berkumis tebal.
“Ada mayat di dalam.”
“Maksud bapak?,” Bima bertanya lagi, ia masih belum mengerti atas perkataan Bapak itu, terlihat dari raut wajah Bima yang sangat kebingungan. Belum sempat bapak berkumis tebal menjawab pertanyaan Bima, beberapa orang polisi membawa sekantung plastik mayat yang berisi, lewat di hadapannya. Bau busuk begitu menusuk hidung, tak heran semua orang yang ada disitu menutup indera penciumannya kuat-kuat, bahkan ada beberapa orang yang muntah-muntah.
“Mayat siapa itu pak?,” Bima kembali bertanya.
“Kalau tidak salah, bernama Maya,” Jawab Bapak itu.
“APA? MAYA?” tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemas, iya tak percaya kekasih yang sangat di cintainya itu, pergi meninggalkan Bima untuk selama-lamanya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Bima pun pergi ke kantor polisi setempat. Tak lupa, ia juga memberitahu Diandra.
“Menurut hasil otopsi sementara ini, saudari Maya meninggal karena racun sianida. Pada saat di TKP, kami juga menemukan barang bukti berupa botol yang berisi racun tersebut. Kuat dugaan, saudari Maya bunuh diri,” jelas Pak polisi.
“Nggak!!!, Nggak mungkin!!!.” Bima terlihat sangat terpukul atas kepergian Maya.
“Sudahlah Bim, kita harus terima semua ini!, ucap Diandra berusaha menenangkan.
Hari-hari terus berlalu, kini hanya Diandra-lah yang setia menemani Bima. Perlahan tapi pasti, Bima pun mulai melupakan Maya. Ya, sekarang Bima mencintai Diandra.
Sore yang indah, angin semilir berhembus begitu damai. Rumput taman terhampar hijau.
“Diandra…” ucap Bima lembut.
“Iya, apa Bim?,” tanya Diandra.
“Aku cinta sama kamu, kamu mau jadi pacar aku?,”
Diandra hanya mengangguk. “Akhirnya, kamu jadi milik aku Bim!,” bisik hatinya. Senja yang menjingga, menjadi saksi bisu antara cinta yang baru saja terpadu.
Bima, lelaki yang berbadan tegap itu tak mengetahui bahwa Diandra-lah yang membunuh Maya. Entah apa yang akan dilakukan Bima jika rahasia itu terkuak.
Malam telah larut, Diandra tak bisa terpejam. Ia mengambil diary yang sudah lama tak di isinya. Tangannya pun mulai melukiskan kata-kata yang tersirat.
“Bima sekarang jadi miliku. Pedahal akulah yang membunuh Maya, mantannya. Ya, sahabatku sendiri!. Hebat kan!!!, kamu boleh bilang aku licik, penghianat dan sebagainya, terserah!!!. Yang penting aku sekarang bahagia, dendamku sudah terbalaskan, dan… sekarang Bima menjadi miliku. Aku memang egois. Aku akui. Aku memang pendendam!, aku juga tak memungkiri. semua yang aku inginkan harus terwujud, bagaimana pun caranya. Bahkan membunuh sekali pun, aku sanggup!,”
Tiba-tiba lampu yang ada di kamarnya mati. Beberapa detik kemudian, menyala lagi… lalu Diandra melihat sesosok wanita di sudut kamarnya. Sosok yang mirip dengan Maya, rambutnya yang panjang menutupi sebagian sisi kiri wajahnya, mata kanannya melotot. Bau bangkai tercium dari makhluk itu.
“Siapa kamu?,” teriak Diandra ketakutan. Tetapi, sosok itu semakin mendekat… medekat!!!, dan terus mendekat!!!.
Diandra semakin ketakutan, wajahnya menjadi pucat pasi. Sosok itu terus mendekat, kedua tangannya dengan kuku yang sangat panjang dan tajam hendak mencekik leher Diandra.
Dengan sekuat tenaga, Diandra berlari menuruni tangga yang panjang dan meliuk-liuk. Sosok itu terus mengikutinya. Kaki Diandra tersandung pada anak tangga, dan ia pun jatuh. Terguling beberapa kali. Dan “Bukkkk!!!” kepalanya terhantam pada lantai dasar. Diandra meninggal seketika, sementara sosok itu pun menghilang.
Bendera kuning tertancap tegak di depan halaman rumah Diandra, banyak orang di situ. Termasuk Bima.
“Kamu, pacarnya?” tanya ibu Diandra.
“Iya, bu.”
“Ini, ibu temukan Diary Diandra, mungkin kamu harus membacanya.” Ucap ibu itu sambil menyerahkan diary anaknya.
Bima tak percaya, ternyata Diandra-lah pembunuh Maya. Andai Diandra tahu, kebencian adalah awal dari sebuah kehancuran. Membalas dendam tidak akan meyelesaikan masalah. Andai juga Diandra mengerti, mencintailah sekedarnya saja, jangan mencintai seseorang secara berlebihan. Yang jelas!, jangan dibutakan oleh cinta. Mungkin kematian di atas dendam ini pun tak akan pernah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar