Sabtu, 02 November 2013



“Kenapa loe pengen jadi astronot?” tanya kira. “Karena, aku suka bulan. Itulah kenapa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin berkunjung ke bulan. Hahaha…” jawab Kenta. “Trus, kenapa loe suka bulan?” tanya kira lagi. “Bulan itu bulat, seperti lingkaran. Tak berujung.” Kenta memandang kira yang duduk di sebelahnya sekilas. Buru-buru ia menjatuhkan pandangan ke arah lain. Yang penting bukan memandang Kira.
“Seperti perasaanku yang tak berujung.” Hening sejenak “Seperti donat juga. Hahaha.. jadi laper nih! Cari makan yuk, ken!” sahut kira mengalihkan pembicaraan. Kali ini, cupid merah jambu belum berhasil menyatukan 2 jiwa yang terpisah. Mereka masih malu-malu. “Apa kamu masih takut gelap?” tanya Kenta. Menahan kira untuk beranjak dari tempat duduknya. Kira memandang ke atas. Lebih tepatnya ke langit yang dipenuhi dengan bintang. “Sebenarnya aku takut malam. Karena malam itu gelap dan aku sangat takut dengan gelap.
Tapi, ada yang bilang kalau nggak selamanya gelap itu menakutkan. Nggak selamanya juga malam itu menakutkan. Karena ada ribuan titik cahaya yang terlihat indah di malam hari. Bulan, bintang, dan kunang-kunang. Tapi aku memilih bintang. Karena hanya bintanglah yang terlihat indah di samping bulan. Bukan kunang-kunang” terlalu sering mereka membahas tentang ini.
kira melirik Kenta sekilas. Siluet wajah Kenta dimalam hari terlihat indah. “Sebenarnya bukan hanya bintang yang terlihat indah di sisi bulan. Komet, asteroid, meteor juga terlihat indah. Tapi kamu tahu nggak? Bulan diciptakan untuk bumi. Bukan bintang ataupun kunang-kunang” Kenta mengambil sebuah toples dari dalam tasnya. Toples itu berisi titik titik cahaya kuning yang bergerak. “Ini kunang-kunang?” tanya Kira. “iya, lihatlah Kira! Kunang-kunang itu indah bukan? Jika bintang adalah bilangan tak hingga, kunang-kunang adalah bilangan asli, kir. Kamu dapat mengetahuinya. Dia bercahaya, bergerak, jauh lebih indah dari bintang. Dia tidak ditakdirkan menemani bulan, tapi dia jauh lebih indah dari soulmate of moon. dia tampak bahagia dan keren, kir. Apa kamu bisa melihatnya Kira? Jadilah kunang-kunang, kira. Jauh lebih indah dari bintang.”
Suasana hening sejenak. Kira mengerti maksut pembicaraan Kenta. “Aku adalah kunang-kunang yang bermimpi menjadi bintang, ken. Tapi nggak mungkin aku bisa menjadi bintang jika kamu nggak mengizinkannya, ken.” Keluh Kira dalam hati. “Aku melihatnya, Kenta. Sungguh bahagia jika aku bisa memilikinya.” “Ini untukmu, Kir. Kamu nggak akan takut lagi. Telah ada cahaya dalam gelapmu.” Kira mengambil toples itu dari tangan Kenta. “Thanks, Ken. Emmm… sepertinya sudah larut malam. Aku harus pulang sekarang. See you next time, ken. Semoga kamu sukses di fakultasmu. I hope you never forget me.” Kira-kira itulah ucapan perpisahan terakhir dari Kira.
Esok, Kenta akan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan kuliah disana. Di fakultas yang masih berhubungan dengan matematika, pelajaran favoritnya yang mempertemukan dia dengan Kira juga tentang cita-citanya, astronot. Kenta mendapat beasiswa di ITB dengan jurusan FMIPA. Di terminal, Kenta terlihat gelisah. Belum ada tanda-tanda kehadirannya. Orang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. “Mungkin dia tidak datang untuk melepas kepergianku.” Bisik batin Kenta.
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
Hp Kenta berbunyi nyaring.
“Kira!”
“Halo! Kenta! Maaf ya, nggak bisa nganter kamu ke terminal. Radang tenggorokanku kambuh lagi.” Suara Kira terdengar parau
“Iya, Kir. Nggak apa-apa kok. Kamu… semoga cepat sembuh ya!” nada kecewa jelas terlihat dari raut wajah Kenta. Buru-buru ia memencet tombol merah di hpnya.
Sejenak dia menyesali perbuatannya. “Kenapa aku mencet tombol merah ini? Pengak banget sih!” 5 menit lagi bis pahala kencana jurusan Bandung akan segera berangkat. Kenta memerlukan waktu ± 17 jam untuk menempuh jarak Bojonegoro-Bandung.
Setelah pamit dengan semua orang yang telah mengantarnya, ia memeluk erat bundanya erat. Kenta berlutut di kaki bundanya. Memohon restu untuk keberangkatannya mencari ilmu di kota paris van java itu. Ayahnya tak bisa mengantarnya ke terminal karena sibuk bekerja. Kenta memaklumi hal itu. Tanpa ayahnya, dia tidak mungkin bisa kuliah di fakultas yang diinginkannya. Kaki Kenta terasa berat untuk melangkah. Ia masih mengharapkan kehadiran seseorang. Namun yang diharapkan tak kunjung muncul batang hidungnya.
Bus mulai melaju. Ia termenung di kursinya. iseng-iseng menghitung tiang lampu jalanan. Teringat lagi materi bimbingan OSN tentang menghitung banyak tiang lampu antara kota A dengan kota B menggunakan rumus “kira-kira”. Ia terbayang-bayang nama cewek ini lagi “Kira”. Cewek unik yang akhir-akhir ini menggemari bintang dan Neil Amstrong. Sementara itu…
“halo! Kenta! Kenapa mati? Nggak ada sinyal ya?” teriak Kira dengan suara parau. Kira mencoba menelpon balik no Kenta. Tapi hanya ada suara operator yang mengatakan bahwa pulsanya tidak mencukupi untuk melakukan panggilan keluar. Kira hanya bisa memaki dirinya sendiri. Nggak mungkin dia memaki operator. “Lain kali akan ku telpon dia” ujarnya dalam hati. Kira terlelap. Obat penurun demam itu membuatnya mengantuk. Dalam lelapnya, ia bermimpi duduk di bawah pohon jambu ditemani kunang-kunang dan… Kenta. Kira menyandarkan kepalanya yang terasa berat karena demam di pundak cowok itu.
Malam harinya, Kira membuka buku diary birunya. Dia membaca coretan-coretan kenangan yang selalu ia tulis di buku diarynya. Baru disadarinya, setiap sudut dari halamannya, tertulis nama Kenta dan symbol <3. Dari awal halaman hingga akhir. Penuh dengan nama cowok itu dan kurang dari tiga.
^.^ Kira
Sabtu, 13 Agustus 2011
Surprise! Hari ini aku dicalonkan buat ngikuti lomba OSN matematika putri tingkat kab. Cita-citaku akhirnya tercapai. Nggak sia-sia aku ikut les matematikanya bokap. Bimbingan OSN dimulai hari senin besok. Ganbate! ^.^
Senin, 15 Agustus 2011
Dia adalah kalimat berarti
Dia adalah konjungsi
Menggabungkan 2 kebenaran
Manis dan istimewa
Mungkinkah aku jatuh cinta?
Akankah dewi amor menembakkan cupid-cupid merah jambu ke hatiku?
Senin itu, sepulang sekolah bimbingan dimulai.
sin £ = y/r csc £ = r/y
y r cos £ = x/r sec £ = r/x
x tan £ = y/x cot £ = x/y
bu seno menerangkan panjang lebar tentang materi trigonometri. Dari dasar hingga level lebih lanjut. Selesai bimbingan, cowok yang duduk di sampingku memperkenalkan dirinya. “hei, kita belum kenalan ya. Aku Kenta. Kamu?” “aku Kira” mata kami bertemu. “teduh banget mata itu.” Lirihku dalam hati. “kira? Nama yang unik. Oh ya, panggil aku Ken saja ya. Karena umurku masih 16 tahun.” “sama donk! Umurku juga 16 tahun. Bla bla bla…” Kita berdua ngobrol banyak banget sambil nunggu hujan berhenti mengguyur bumi.
Setiap mataku dan matanya bertemu, ada getaran yang aneh dalam diriku. “Tuhan… ada apa denganku? Keep calm, kir!!!” pekikku dalam hati. Karena hari sudah sore, Kenta menawarkan diri untuk mengantarku pulang. “Udah sedikit reda, hujannya. Aku antar pulang sekalian ya! Sudah sore juga. Lagian kan rumah kita searah.” Kenta memang sempat menanyakan alamat rumahku waktu menunggu hujan reda tadi. “Boleh! Daripada nunggu angkot kemalaman. Gratis lagi. Haha…” “Eits! Siapa bilang gratis?” seru Kenta jahil. “sebagai pembayarannya, weekend kamu harus nemenin aku latihan.” “Latihan apa?” tanyaku keheranan. “DANCE!” sahut Kenta menggebu-gebu. “Kamu bisa nge-dance? Cowok berkacamata bisa nge-dance? Cowok dengan setumpuk buku matematika di tasnya bisa nge-dance? Cowok dengan algoritma, trigonometri, geometri, bisa nge-DANCE??? Aku nggak percaya!” kilat Kenta menembus hujan yang mulai reda.
Berdiri di tengah halaman sekolah. Dia menyalakan music di hpnya dan memperlihatkan beberapa gerakan dance yang ia kuasai. Tak mau kalah, akupun ikut turun ke halaman. Aku imbangi gerakan dancenya dengan gerakan danceku. Kita terhipnotis dengan gerakan satu sama lain. “Berapa sin 30°?” “1/2” jawabku dengan menyeret kaki kanan ke kiri mengikuti gerakannya. “Kalau sin 45°?” “1/2 v2” jawabku menyeret kaki kiri ke kanan. “Kalau sin 60°?” “1/2 v3” jawabku mundur 1 langkah. “Sip, kalau sin 90°?” “1 pastinya.” Kami bergerak saling maju mengikuti alunan musik. Jarak yang amat dekat. Mungkin Kenta bisa mendengar detak jantungku yang berdenyut kencang sekarang. “Ehm.. walaupun Kenta adalah cowok berkacamata, tapi tetap manis kan? haha” seru Kenta memandang mataku teduh. “Idiih. Pulang yuk!” wajahku merona merah. “Kamu jago nge-dance juga ya.”
^.^ Kenta
“Lomba udah berlalu dan aku semakin dekat dengan Kira. Bagaimana ini? Udah jelas aku sayang sama dia. Tapi aku nggak berani ngungkapin semuanya. Oh goat! Aku nggak mau dia diambil orang lain. Aku sayang dia.” Bergegas ia mengambil hp yang tergeletak di meja belajar. Tuuuut… tuuuuut… “Halo, ken. Ada apa?” seru suara di seberang. “Kira, bisa ke rumahku sekarang nggak?” hening sejenak. “Ok, ken. Aku ke rumahmu sekarang.” Jawab suara dari seberang kemudian obrolan terputus. “Lho, kenapa aku malah nyuruh Kira ke rumah? Kenapa aku nggak ke rumahnya aja? Sekarang kan udah malam. Kenta pengak!!!”
Di bawah pohon jambu
“Kir, maaf ya. Tadi aku gugup. Sebenarnya aku mau ke rumahmu dan nggak seharusnya aku nyuruh kamu ke rumahku malam buta begini.” “Hahaha… masih jam 7 begini kamu bilang malam buta? Dasar kenta! (mengacak-ngacak rambut Kenta yang mulai gondrong) aku juga heran kenapa aku mau-maunya kamu suruh kesini. Haha..” jawab Kira. “Karena kamu dan aku adalah bilangan prima.” Sahutku memandang wajah Kira yang terlihat remang tertimpa sinar lampu halaman rumah. “Kira Safitri Martadinata.. aku.. aku…” “Aku apa, ken?” tanya Kira. “Aku diterima di ITB, Kir! Besok aku berangkat ke Bandung. Terlalu cepat sih memang. Tapi eyang udah minta aku ke Bandung besok, untuk menemaninya.” Akhirnya, kata “Aku sayang kamu, Kir. Will you be my girlfriend?” nggak pernah keluar dari mulut Kenta. “Jadi besok kamu udah berangkat ke Bandung? Ini terlalu cepat, ken. Secepat itukah?” tanya Kira. “ Harusnya kamu senang dong, kir. Sahabatmu ini keterima di ITB. Hebat bukan?” sahut Kenta menetralisir keadaan agar Kira tidak menangis. Karena Kenta tahu, sebentar lagi Kira pasti akan menangis seperti kejadian beberapa waktu yang lalu, saat ia meninggalkan Kira 2 bulan lamanya untuk program school sister di Sydney. Terakhir yang mereka lakukan adalah bertukar surat. Kurang lebih, beginilah isi dari surat Kira untuk Kenta.
Dear, Kenta
Seminggu lagi loe bakal keluar dari relasi gue. Emm… maksutnya, relasi kehidupan sekolah kita. Sedih banget gue, sumpah! Loe lama banget sih di negeri orang? 2 bulan loe di Sydney berarti ± 9 minggu atau 61 hari. 1 hari 24 jam, kalau 61 hari berarti 61 X 24 = 1464 jam gue nggak liat muka pengak loe. 1 jam ada 60 menit. Berarti 1464 X 60 = 87840 menit kita nggak ketemu. 1 menit ada 60 detik. Kalau dihitung berarti 87840 X 60 = 5270400 detik. Oh goat! 5.270.400 detik kita bakal nggak ketemu! Ini bener2 berita buruk buat gue, ken! Tapi nggak apalah. Yang penting kamu baik2 aja disana. Jangan lupa makan makanan yang khalal disana ya, jangan lupa mandi juga. Yang lebih penting jangan sampai lupa trigonometri, algoritma, dan bilangan prima loe ini ya! (gue maksutnya :p) yaa gue rasa, kita itu seperti bilangan prima. Cuma ada 1 dan bilangan itu sendiri. Kemana-mana berdua. Haha.. udah kayak kembar siam aja. Kalo loe nggak ada gini, gue nggak punya bilangan prima lagi. Cepetan balik ke relasi loe ya, ken! Sambil bawa buah tangan jangan lupa.
Kira menyerahkan surat itu sambil nangis dan bilang, “cepetan balik ya, bilangan prima!” hingga membuatku senyum-senyum nggak jelas dan inilah hasil jadi suratku untuk Kira.
Dear, kurang dari tiga
Kira, jangan ngambek ya kalau aku nggak bawa oleh2 sepasang koala dari Sydney. Hehe.. peace! Minta doanya yang penting, agar aku selamat P2 alias pulang-pergi. Eits, kebalik deh! Pergi-pulang maksutnya. Kamu jangan lupa tetap belajar limit trigonometri yang masih belum kamu kuasai kemarin. Begitu pulang, aku kasih kamu tes lisan tentang limit trigonometri lho! Haha.. tetap penyiksaan. Aku pasti akan sempatin waktu untuk nyari titipan kamu kemarin. Buku matematika bab limit trigonometri versi inggris kan? Kalau udah sampai Sydney, aku segera hubungi kamu. Have a nice day, sweeety! Titik dua bintang. :p!!! Jangan ke-Gr’an loe.
“Tapi, ken. Ini terlalu cepat untukku. Aku tahu, cepat atau lambat kamu pasti akan pergi. Tapi aku belum siap kehilangan kamu, ken.” Lirih Kira. “Kenapa kir?” tanya kenta. “Karena aku sayang kamu.” Kata itu melesat begitu saja dari mulut Kira. Suasana di rumah Kenta menjadi hening. “Kira, aku juga sayang kamu.” Sahut Kenta kemudian. “Jadi?” mata Kira berbinar. “Tetaplah menjadi temanku, kir! Karena ada satu alasan untukku mempartahankanmu tetap menjadi temanku. Alasan yang benar-benar nggak bisa aku ceritain sama kamu. Biarkan ini menjadi rahasiaku, kir.” Suasana hening kembali. “Ok, ken. Aku menghargai pilihanmu. Untuk sweety dan titik dua bintang?” “Aku sayang kamu, kir. Semoga kamu mengerti keputusanku. Maaf kalau aku PHP. Tapi kita lebih baik berteman, titik dua bintang.” Jawab Kenta. “Aku mengerti, kurang dari tiga. Haha..” sahut Kira. “Kamu tahu arti kurang dari tiga yang aku maksut, kir?” tanya Kenta. “Iyalah. Sebodoh itukah aku sampai aku nggak ngerti maksut kurang dari tiga? hahaha…” mereka tertawa lepas. Kurang dari tiga ( <3 ) dan titik dua bintang (:*) mengudara di langit lepas.
Pernah suatu ketika ada acara Malam Gelar Seni di sekolah mereka. Lampu warna-warni gemerlap memenuhi sekolah. Ketika Kenta dan Kira memasuki gerbang sekolah, Kira memegang erat tangan Kenta hingga akhir acara. Mereka mendapat sorak sorai dari teman-teman mereka. “kenapa kamu nggandeng aku terus, kir?” tanya Kenta. “aku takut gelap, ken. Hehe..” jawab Kira meringis. Kenta mengajak Kira ke lantai 3. “ken, kenapa kita ke atas? Aku takut tauu’. Jangan-jangan kamu mau macem-macem ya?” tanya Kira sedikit menjauhkan diri dari Kenta namun kembali memegang lebih erat tangan Kenta karena suasaana sedikit gelap. Hanya lampu koridor yang menyala. Kenta hanya tersenyum melihat polah tingkah Kira. “kamu itu terlalu amburadul untuk aku macem-macemin. Ibarat kata, kamu itu bangun ruang tak beraturan. Wek (menjulurkan lidah).” Sahut Kenta geli. Kira hanya memanyunkan bibirnya sampai lantai 3. “nah, udah nyampek. Buka donk mata kamu! Dari tadi merem terus.” Kira membuka matanya. “lagian ngapain mesti takut sama gelap? Lihat! Hanya dalam gelap semuanya terlihat indah. Cahaya lampu, bintang, bulan, dan kunang-kunang. Nggak ada lagi alasan untuk takut gelap. Ok!” Seru Kenta. “iya, benar. Emm.. Dari semua hal yang terlihat indah saat gelap, apa yang paling loe suka?” tanya Kira. “aku suka bulan. Karena bulan itu bulat seperti lingkaran.” Jawab Kenta. “logika sih nggak setiap saat bulan itu bulat. Tapi, apa hubungannya dengan lingkaran?” tanya Kira. “udahlah, suatu saat kamu akan tahu. Bukan sekarang.” Jawab Kenta kemudian. “ oh ya, kenapa di surat loe, teruntuknya pake kurang dari tiga? Apa maksutnya?” tanya Kira lagi. “Cuma iseng, kok. Bawel banget sih! Nanya terus dari tadi.”
Kira menutup buku diarynya. Diraihnya toples kaca di dalam almari tempat memajang beberapa piala hasil lomba matematikanya. Ia matikan lampu kamarnya. Padam! Tinggalah titik-titik cahaya kuning yang bersinar. “Benar apa kata kamu, ken. Kunang-kunang jauh lebih indah dari bintang. Biarkan rahasia itu menjadi misteri untukku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar