Sabtu, 02 November 2013



“Kan ku sayangi kau… sampai akhir dunia, dan kan kujadikan kamu wanita… paling bahagia diseluruh dunia, karna kamulah satu-satunya”
* by. Armada Band
Lagu yang berjudul “Wanita Paling Bahagia” ini dipopulerkan oleh band Armada dan lagu ini sangat berkesan untukku. Lagu ini adalah lagu kenangan antara aku dan Naka. Seperti hari ini, Naka selalu menyanyikan lagu ini untukku. Hari ini adalah hari ke-100 kami resmi berpacaran dan bertepatan dengan acara diesnatalis yang diadakan oleh kampusku. Band Naka adalah salah satu band yang tampil di acara itu. Entah kenapa lagu ini selalu membuatku percaya pada cinta seorang Naka, seorang vokalis band. Tatapanku tidak henti-hentinya menatap kagum Naka yang berada diatas panggung. Sahabat-sahabatku sangat iri dan sesekali mengejekku karena Naka menyanyikan lagu itu untukku.
“Cie… cie… yang baru ngrayain hari ke-100!!romantis abis… ” ucap Lea sambil sedikit nyengir.
“Hee… ” balasku singkat.
Entah apa yang membuatku jatuh cinta pada seorang Naka. Sebab aku adalah seorang antist anak-anak band terutama pada vokalis. Aku menganggap anak band adalah playboy, cowok yang memandang seorang cewek tidak lebih berharga dari peralatan band mereka. Tetapi mungkin aku termakan oleh kata-kataku sendiri. Hal ini terjadi ketika aku ikut kegiatan Bakti sosial yang diadakan oleh kampusku sekitar 4 bulan yang lalu. Karena tempat yang sangat jauh dan terpencil kami diharuskan menginap selama kegiatan itu. Disana kami menginap di satu rumah milik penduduk bersama 15 orang lainnya. Sehingga selama kami tinggal di sana, kami jadi lebih mengenal satu sama lain. Di sana aku sadar bahwa Naka adalah cowok yang lucu, sangat perhatian, tetapi terkadang kesepian dan itulah yang membuatku jatuh hati pada cowok tinggi itu. Lamunanku segera terpecah ketika lagu “wanita paling bahagia” telah berakhir. Lalu Naka segera turun dari panggung dan dengan senyum manis kutunggu Naka di bawah panggung. Tiba-tiba seorang cewek putih manis dan seumuran denganku datang menghampiri Naka yang baru turun dari panggung. Tanpa basa basi cewek itu segera memeluk Naka dengan mesra.
“Sayang… aku kangen banget sama kamu..” ucap cewek itu dengan manja.
“Nidy??? Kapan datang???” ucap Naka yang terlihat kaget.
“Kemarin. Aku pingin buat kejutan buat kamu, sayang… tapi aku terharu mendengar lagu tadi. Pasti lagu itu buat aku ya… kamu tahu ya kalau aku bakal datang,” ucapnya yang masih bergelayut dipelukan Naka.
“tapi… ” balas Naka sembari melepaskan pelukan cewek manja itu dan sedikit melirik kearahku yang masih berdiri kaku memandang kemesraan seorang cowok yang semenit yang lalu kusebut pacarku.
“Aku kangen banget sama kamu Naka… ” kata cewek bernama Nidy sembari menggandeng erat tangan Naka yang lalu menyadari keberadaanku didekat mereka.
“Sayang… cewek ini siapa?? Temen kamu ya?… Hi, kenalin aku pacarnya Naka” ucapnya sembari mengulurkan tangannya kearahku.
“Nama..namaku Densha” jawabku sembari berusaha untuk tersenyum
“Tapi aku harus pinjam Naka dulu, ga’ apa-apa kan, sha??” tanyanya basa basi, tanpa perlu jawaban dariku dia langsung menarik tangan Naka menjauh dariku.
Tanpa kusadari air mataku menetes membasahi pipiku. Tiba-tiba, Rena sahabatku menghampiriku.
“Ya alloh, kamu ngga’ apa-apakan, sha??” tanya Rena
“Tidak apa-apa kox, ren… aku ngga’ apa-apa” balasku segera menghapus air mataku
“Sha… kamu jangan sok kuat kayak gitu, kalau kamu pingin nangis..menangislah jangan kamu tahan, biar perasaanmu lebih enakan… semua orang pasti bakal merasa sakit ketika pacarnya berada dipelukan cewek lain, itu perasaan yang wajar dan syah-syah aja kox” ucap Rena.
“Benarkah??? Tidak apa-apa? Apa aku tetap boleh menangis, ketika pacarku pergi dengan pacar sebenarnya??? Apakah aku boleh marah ketika aku sadar kalau aku hanyalah seorang selingkuhan cowok itu?? Apakah masih wajar perasaanku ini,ren???”
Air mataku jatuh tidak bisa kutahan lagi. Hatiku sangat sakit… inginnya aku menampar cewek itu, menarik rambutnya hingga tercabut dari kulit kepalanya, tapi aku sadar, aku berada diposisi yang salah. Aku yang berada diantara mereka, akulah pengganggu di hubungan mereka. Dan sudah seharusnya aku yang mundur dari cinta bercabang ini. Aku tidak pernah tahu kalau aku akan melanggar batas itu. Tetapi aku tidak bisa menahan rasa cinta ini, ketika Naka juga mempunyai perasaan yang sama. Aku selalu menghindar untuk berpikir tentang apa yang akan dirasakan oleh cewek itu ketika tahu bahwa pacarnya mempunyai hubungan yang lain. Aku tidak ingin memikirkan hal itu. Karena aku tahu bahwa akulah yang bersalah, tetapi keegoisanku mengalahkan segalanya. Dan hal yang aku takutkan telah terjadi tepat didepanku. Dan ternyata itu lebih sakit dari ketika aku menahan rasa cintaku untuk Naka.
“Sepertinya aku harus mengakhiri ini semua, Ren… ” ucapku yakin.
“Apa kamu yakin???”
“Aku tidak punya pilihan, aku merasa bersalah pada wanita itu dan aku juga tidak punya keberanian untuk menuntut Naka memilih antara aku dengan cewek itu” balasku
**********
“Maaf’in aku, Sha… Bukannya aku mau meninggalkan kamu sendiri tadi. Tapi… ” ucap Naka terputus olehku.
“Aku ngerti kox, Ka… kamu ga’ usah merasa bersalah seperti itu” balasku sembari tersenyum.
“Kamu yakin??? Aku benar-benar khawatir sama kamu, Sha. Aku..”
“Aku ingin… aku ingin kita putus, ka.” Ucapku tiba-tiba
“apa maksudmu, sha… aku tahu tadi seharusnya aku tidak pergi begitu saja… ”
“ Kamu sudah melakukan hal yang benar, Ka. Kalau kamu tidak lakuin itu, aku juga ga’ bakal sadar dimana posisi aku”
“Sha… kamu kox ngomong kayak gitu, aku kan sudah janji sama kamu kalau aku akan… aku akan… ”
“Putus?!? Kamu bilang kamu mau mutusin cewek itu kan?”
“Tentu, aku akan putusin dia… ”
“Setelah aku pikir, aku tidak bisa sejahat itu, ka. Aku tidak bisa bertahan dengan hal itu. Aku minta ma’af… aku tidak bisa” ucapku menahan tangisku
“Densha… apa kamu sudah tidak cinta lagi sama aku?? Atau jangan-jangan kamu hanya mau mainin aku saja.”
“Aku tidak pernah main-main dengan ‘cinta’ Naka, tapi di sini aku tidak berhak mendapatkan cinta itu. Aku tidak bisa egois lagi… ”
“Bohong… !?! jawab pertanyaanku apa kamu cinta sama aku????”
“Aku… aku tidak cinta sama kamu… bohong jika aku mengatakan itu, ka. Kamu tau kan betapa besarnya cintaku padamu??tapi, aku tidak bisa… aku tidak bisa membiarkanmu memilih salah satu diantara aku dan cewek itu.”
“Kenapa kamu membuatku bingung, sha… apa maumu sebenarnya??kamu buatku jatuh cinta, membuatku punya hubungan rahasia dan sekarang ketika aku yakin untuk memilihmu kamu membuangku”
“Aku tidak pernah membuangmu, aku hanya membuatmu tidak memilih lagi… ”
“Tapi kamu membuatku tidak punya pilihan… kamu memaksaku,”
“Tolong, Naka… aku benar-benar tidak bisa… rasanya terlalu sakit! Biarlah semua jadi mimpi nyata diantara kita. Kalau memang cintamu sebesar itu padaku biarkan waktu dan Alloh yang menyatukan kita. Jalani hubunganmu dengannya sama sebelum kamu mengenalku… aku mohon! Wujudkan janjimu padaku untuk membuatku jadi wanita yang paling bahagia dengan terlepas dari cinta terlarang ini”
Walaupun aku mengatakan hal itu, dalam hatiku… aku masih percaya janjimu Naka. Janjimu untuk mencintaiku hingga akhir dunia dan menjadikan aku satu-satunya di hatimu. Mungkin suatu saat nanti itu akan terjadi tetapi dengan keadaan yang tidak seperti ini… aku percaya pada kekuatan takdir.


Darah mengalir dengan perlahan dari luka yang terbuka. Kau tersenyum padaku seakan menjahit mili demi mili luka ini. Perih menjalar ke urat sarafku menyadarkan otakku, aku mulai memutar lagi rekaman tadi, apa yang terjadi dan mengapa bisa? aku mencari tahu di wajahmu apakah kau menyimpan sesuatu yang tak kuingat. Coba katakan dan jujurlah. Walau aku akan lebih menderita pun tak apa karena hal ini akan lebih baik kurasakan daripada kau sembunyikan belati di belakang punggungmu, wow, aku mulai menduga kau terlibat dalam masalah besar ini, kasih.
Terserah bila terus kau bermain petak umpet dengan pikiranku, aku menyapamu tapi suaramu seperti lirih angin meniup kelambu abu abu bercorak angsa, kau seperti putri angsa berdiri di dekat jendela. Kau tersenyum pada seorang perempuan berbaju putih putih dengan topi kecil di atas rambut bersanggul yang tiba tiba saja menyembunyikan wajah mungilmu dan tubuh pendatang ini benar benar kelebihan ukuran tidak hanya wajahmu yang ingin selalu kulihat lagi tapi juga seluruh tubuhmu menghilang begitu saja entah kau kini beringsut kemana?
Entah apa yang dikatakan perempuan itu dia memakai bahasa yang tak kumengerti. Aku mulai memanggil namamu, tak ada sahutan. Ahk, rupanya kau sudah tak di kotak kubus putih dengan sedikit garis biru selang seling di tengah horizontalnya. Punggung berseragam itu memenuhi lebar pintu, sebelum menghilang dia memalingkan muka dan melempar senyum sinis, kepalanya terangkat dan lenyap. Oh, apa aku sekarang selalu berpraduga apakah benar perempuan itu tersenyum sinis atau justru tersenyum manis. Hei! di mana dirimu? jangan tinggalkan aku dengan selimut belang belang ini.
Bahkan aku hampir memekik tapi senyummu tak hadir di mataku. Kasiih…apakah aku bersuara?
Aku masih berkutat dengan detil, tak kusangka kau akan membanting semua isi rak piring kita. Berhambur memenuhi lantai bersemen. Mataku menangkap matamu. Kau beringas menghibas semua uluranku. Aku terdesak ke dinding dan terpeleset ketika tumpuanku pada selembar kertas detail terakhirku, ironis selembar kertas yang kucari sedari tadi telah membuatku celaka, tubuhku terbanting di atas serpihan gelas dan piring di atas lantai bersemen. Kau tak menjerit bahkan kau tidak meminta pertolongan seperti biasa saat kita bertengkar, kau hanya mematung dan gerai rambutmu melukiskan kekuasaanmu.
Pagi itu rencanaku menyerahkan tulisan terakhirku dan itu memang sudah kutekadkan menjadi tulisan terakhir demi janjiku padamu mengapa kau tak memberi kesempatan sekali ini bukankah dengan selesai berkas terakhirku maka kau akan memilikiku seutuhnya dan kau akan membawaku ke tengah ladang kentang di tempat ketinggian di tanah pelantaran candi para pandawa, Dieng.
Kau mengeluh malam malammu penuh dengan kebosananan dan kau tak berani untuk sedikit bermain main seperti yang kau tuduhkan padaku jika aku berhari hari tak hadir di dekatmu, kau bergumam dengan suara sengau bahwa aku telah terlalu lelah dengan beberapa wanita. Kau berbisik kepada dinding, bahwa kebahagiaanmu telah kurampas sejak aku melamarmu. Bila terjadi mengapa kau bersedia di bawah sumpah dengan ijab qobul di depan para wali dan saksi, kau dengar gemuruh itu ketika penghulu baru selesai mengucap pertanyaan, sah? sah !!! gemuruh memenuhi ruangan rumahmu hingga ke lorong lorong desamu mungkin juga ke tebing dan jurang Kejajar. Kau menulis di setiap perabot rumah tangga kita tentang prilakuku yang tidak dekat dengan sempurna bahkan kau mulai berani membandingkan dengan panutan yang kau dapat di luar sana. kau menyanyi di seluruh ruangan rumah kita dengan seribu bait lirik keresahanmu. Api api yang kau nyalakan di setiap tungku seperti rasa di dadamu.
Menulis sudah terlanjur menjadi jembatanku. Tulisan untuk memenuhi dahaga para editor tabloib murahan itu juga memenuhi dahagaku. Sebelum kukenal gadis desa yang datang mengganti tugas bibinya sebagai pembantu di tempat aku kost yang ternyata adalah Ayu Ningrum, aku telah makan dari tulisanku jadi mengapa? Memang kaya jauh dari tanganku, bukankah aku telah jujur sejak semula dan kau telah kuberi pilihan untuk menikah dengan pemuda gagah Atmo yang katamu seperti rambo. Aku adalah pilihanmu dan aku memilihmu dengan semua alasan dan pertimbangan. Ketika kau bertanya tentang cinta aku pertamanya menyembunyikan di balik tutur kataku, sesungguhnya aku tidak mencintaimu. Hanya waktu dan kebutuhanlah yang meyeret hatiku untuk kemudian aku mengakui bahwa aku telah benar larut dalam mencintaimu, Kasih.
Kau ingin aku bekerja seperti Atmo yang jelas kedudukannya sebagai tukang aduk semen sehingga setiap sabtu sore kau bilang dapat bersama dengan Titin dan Wati pergi shoping ke mini market. Kau berseru mengapa aku tidak ikut kakakmu yang seharian duduk membungkuk menyambung lembar lembar kain untuk sebuah baju. Untuk seperti Atmo jelas aku tidak punya otot otot sepertinya dan mengaduk seharian bisa bisa aku tidak berdiri dengan lurus lagi sedang mengikut kakak ipar berarti aku harus bertarung dengan lubang kecil dan seutas benang bagaimana bisa aku menuntaskan untuk selembar baju pun bila benang tak masuk juga ke lubang jarumnya. Untuk semua alasanku kau bilang preeeet.
Aku memang tidak selalu menulis waktuku habis untuk mengadu nasib, ke utara selatan memperdagangkan ijasahku, beberapa pekerjaan pada mulanya sempat membuat senyum manismu terbit kembali tapi hanya sesaat setelah aku lunglai dengan pekerjaanku dan bosan menyergap kau mulai menunjukkan taringmu. Kemudian kau mulai ambil keputusan untuk mencekalku dengan tidak lagi berbagi tempat tidur. Tidur sendiri tanpa dengkurmu aku masih bisa bermimpi. Lalu kau mengambil keputusan menunda mempunyai anak kupikir kau akan dingin setelah beberapa hari namun sudah berbilang bulan kau masih dengan tulisan dengan tinta merah di pintui kamar kita yang kini hanya menjadi kamarmu dengan tulisan “Dilarang Masuk BAgi Yang Tidak Berkepentingan” yang kau pungut dari tempat kerja barumu di toko sepatu di bilangan pasar baru. Aku mempunyai kepentingan karena aku masih pejantanmu, Kasih.
Ya pagi itu aku ingat sekarang. Setelah sarapan dan meminum teh racikanmu yang daunnya kau dapatkan dari kerbatmu di desa kau menagih janji bahwa kita akan segera berkemas meninggalkan kota serakah ini, meninggalkan tempat remahan seperti tong sampah. Katamu kita ini sepansang anjing buduk yang berjatah remah yang bau. Ya, kujawab. Ya kita akan pergi setelah tulisanku ini terbayar dan tiba tiba saja kau histeris dan mulai mengamuk. piring piring meluncur begitu saja menghantam lantai semen, pecah seperti hati kita, gelas beradu denting lalu menyusul berkeping hancur seperti hati kita. Kita.
Aku memekik lagi kurasakan otot leherku menonjol, jemariku tergetar kaku hanya putaran kipas di langit langit yang kujumpa tidak wajahmu. Putaran baling baling itu senyap.
Entah aku bermimpi atau tidak kini aku melihat Atmo berdiri menyerengai di samping tubuhku yang terbujur di tempat tidur besi disebelahnya Titin, Wati, kakak iparku dan kau Kasih. Wajah Titin, Wati, kakak iparku penuh keharuan dan wajahmu penuh misteri.
Kasih aku mau mencangkul di ladang kita. Kasih aku mau berotot seperti Atmo. Aku akan membungkuk seharian menyambung kain bila kau mau seperti kakakmu. Aku akan selalu di belakangmu. Katamu dingin dieng akan membuat peranakanmu subur dan aku akan mempunyai keturunan berkecambah. Kasih dengarkan suara hatiku. Bacalah tulisan mataku di matamu.


Aku tak pernah mengagumi atau mengidolakan siapapun dalam 15 tahun perjalanan hidupku. Bahkan ibupun aku tak tahu, tak pernah bertemu. Hhhhh entahlah. Aku bahkan pernah berfikir akan lebih baik bila aku tak pernah dan tak akan pernah bertemu seseorang yang seharusnya kupanggil ibu itu bila benar dulu ia membuangku.
“Ra tadi malem liat dramkor boys Before Flower ga?” tasya membuyarkan lamunanku.
“Iya liat dikit.” Jawabku dingin.
“Sedih banget kan tuh pas si Pyo hilang ingatan, trus malah bareng ma cewek lain. Oooooohhhh ga kuat nih ceritainnya juga, meleleh deh entar ni air mata.”
“………………………” nocomment.
“Ya ampuuuun dah itu muka lempeeeeeng aja gitu? Emang udah mati rasa kali yah. Miris banget punya temen kaya gini Ya Allah!”
“Abisnyaaaa cerita, aktor, sama aktrisnya juga ga ada yang menarik tuh. Apalagi itu tuh yang aktor utamanya, yang rambutnya keriting sama kaya bibirnya. Hhhhh sumpah deh jiji banget.”
“Dasar katro, itu namanya seksi tauuu.”
“Seksi kok kaya gitu.”
“Kamu ga bakalan tahu atuh, orang kamu ga pernah terjamah makhluk yang namanya cowok.”
“bukan muhrim”
“Jiahahaha bilang aja ga laku.” Tasya tertawa puas.
“………………………”
Aku sering sekali menjadikan bajuku sebagai teempat Tasya menumpahkan air matanya. Masalahnya hanya seputar jatuh cinta dan patah hati, berkali-kali. Tapi aku salut padanya karena ia selalu berhasil untuk bangkit lagi. Walaupun aku sama sekali tak mengerti tentang cinta, aku masih bias mengerti dan memahami perasaan sahabatku. Aku yang tak pernah jatuh cinta justru bersyukur karenanya. Karena dengan tidak jatuh cinta aku juga tidak pernah sakit hati. Aku tak perlu menjadi seperti Tasya yang harus membuang-buang air matanya, mubazir itu namanya.
“Eh Lyra liat tuh ada si ganteng tengil kesini.”
“Hah? Siapa?” Aku berbalik dan melihat sesosok makhluk aneh menyebalkan berjalan ke arahku dan Tasya.
“Ngapain yah si Andi kesini?”
“Kaga tau.” Gumam Tasya.
Andi adalah idola di sekolahku. Tapi semua hal yang dimiliki olehnya adalah hal-hal yang dibenci olehku.
“Kurus! Haha.” Katanya tiba-tiba saat sudah berada tepat didepanku.
“Hhhh cowok gila.” Gumamku dengan suara keras.
Tiba-tiba, “pletukk” dia menjitak kepalaku.
“Heyyyy.” Bentakku sambil bangkit berdiri.
“Hahahahaha.”
Saat itu pula semua temanku memperhatikanku dan Andi.
“Pergi sana!” Bentaku lagi.
“Hmmmm dari deket ganteng banget yah.” Kata Tasya tiba-tiba. Mendengar hal itu, Andi kemudian mengedipkan matanya persis orang cacingan. Sementara aku memelototi Tasya yang masih menatap lekat wajah menjijikan Andi.
Andi melangkah perlahan lebih dekat denganku, menatap mataku dan terus melangkah seakan menantangku. Hingga hidungnya kini hanya beberapa sentimeter didepan hidungku saat ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia tetap dalam posisinya dalam waktu 5 menit, waktu yang cukup lama bagiku. Yang membuatku tak mengerti adalah alasan kenapa jantungku berdetak begitu cepat dan napasku seakan berhenti sesaat. Semakin tak kumengerti ketika semua yang terjadi dalam waktu yang singkat itu mampu mengendalikan perasaanku yang tak mau menuruti perintahku sendiri. Entah apa yang kurasakan saat hembusan napasnya terasa begitu hangat menyapu wajahku. Oooh Tuhaaaan aku tak mengerti apa yang terjadi.
“Gue cakep kan?” Tanyanya tiba-tiba. “Hahahaha” Ia tertawa sambil kembali berdiri tegak lagi.
“Nggak!” Tegasku.
“Boong. Terus kenapa tadi bengong?” Ia menyudutkanku.
“Hahaha.” Satu kelas mentertawakanku, dan aku benar-benar malu. Merasa, dipermainkan juga merasa dikalahkan.
Tasya menyusulku saat aku pergi membasuh wajahku, mencoba mengendalikan perasaan dan detak jantungku. Tasya menghadapkan tubuhku kearahnya. Ia menatapku dengan pandangan aneh.
“Wow!” umamnya.
“apaan?” Tanyaku sambil menyingkirkan lengannya dari pundakku.
“Aku baru tahu, kamu yang super dingin ini bias juga bereaksi hangat sama si Andi itu.”
“Hangat apanya? Ngaco!”
“Swear Lyra. Yaaaa walaupun keliatan aga kasar, tapi kalo diperhatiin lagi kalian jadi kaya akrab banget, cocok banget pokonya.” Tasya berekspresi aneh dan menggebu-gebu.
“Aaaaaah hapeuk banget deh tu kata-katanya.” Kemudian aku pergi meninggalkan Tasya yang masih berbinar-binar.
Malam harinya saat aku masih sibuk dengan tangisan adik bayiku, handphoneku berdering. Sementara mama masih di dapur membuatkan susu untuk adikku. Telpon itu jelas tak bias kuangkat.
“Ra angkat aja telponnya!” Teriak mama dari dapur.
“Iya mah. Ssssss sayaaaang. Udah yah! Jangan nangis lagi!” Aku menidurkan adikku diatas tempat tidurnya.
“Ya, assalammualaikum! Siapa ni?” Aku menjawab telponnya.
“Waalaikummusalam!” Jawab orang di sebrang sana.
“Siapa ini?” Aku mengulang pertanyaanku.
“Hahahahaha.” Laki-laki ditelpon itu tiba-tiba tertawa.
“Hhhhh salah sambung.” Kataku. “Tut tut tut.” Aku menutup telpon tidak jelas itu.
Beberapa detik kemudian, nomor itu memanggil lagi. Tak cepat kuangkat mengingat kejadian beberapa detik yang lalu. Tapi ia memanggil hingga 3x. Terpaksa kuangkat lagi.
“Yaelaaaaah sabar dikit napa. Ini gue Ra.” Katanya
“Siapa?” Tanyaku dengan nada dingin.
“Gue cinta pertama lo. Huahaha.”
“Dasar gila yah.”
“Gue, Andi.”
“Hah? Andi?” Fikirku. “Ngapain nelpon aku?” Tanyaku lagi.
“Iyaaaa tadi tuh Tasya ngasih nomer ini. Dia bilang kamu pengen ditelpon sama aku, soalnya kamu kan suka sama aku. Ia kaaaan? Ngaku deeeh. Haha, berarti cinta pertama dong? Kamu kan ga laku-laku.”
“Gila tuh siTasya.” Gerutuku dalam hati.
“Heh say kok diem? Hahaha.”
“Say apaan? Sorry ya jangan pernah ngarep deh. Ga bakalan.” Kemudian kututup lagi telponnya.
Dengan perasaan kesal yang luar biasa, aku memarahi Tasya habis-habisan. Membuatku semakin kesal saat dia malah tertawa-tawa mendengar ceritaku.
“Udah Ra, yang penting kamu bahagia. Nggak usah pake pura-pura marah segala deh.” Kesalku bertambah lagi dan kututup lagi telpon Tasya.
Saking kesal sebal dan marahnya, aku sampai susah untuk memejamkan mataku. Hanya karena bayanganorang aneh itu tak mau pergi dari ingatanku. Semua ruang di otakku terisi penuh oleh semua tentang dia. Membuatku tak bias tenang saja. Bahkan saat tidurpun dia masih menjadi tokoh utama dalam mimpiku. Ternyata orang yang kita benci akan selalu mengganggu kita dimanapun dan kapanpun.
Aku yang tak yakin akan bercerita pada Tasya memutuskan untuk menceritakan apa yang kualami itu pada guru BK langgananku, Pak Ray.
“Jadi kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu atau pura-pura tidak tahu?” Tanya Pak Ray.
“Tahulaaah Pak, itu terjadi gara-gara aku udah kelewat benci sama dia.”
“Salah.”
“Lho? Jadi apa dong Pak?”
“itu artinya cinta. Haha.” Pak Ray tertawa kecil setelah mengatakannya.
“Hah?” Aku benar-benar kaget mendengtar guru yang paling kupercaya mengejekku juga.
Aku belum pernah dibuat kesal oleh pak Ray, kecuali hari ini. Aku berjalan lagi menuju kelasku.
“Heh neng.” Andi tiba-tiba sudah menyamakan langkahnya denganku. “Udah deeeh syukuri aja tuh cinta. First love pula. Kan asyik tuh.”
“Hhhh’” Aku hanya menghela napas tepat saat aku sampai didepan kelas dan lalu aku duduk disana.
“Kita baikan aja yu! Abis itu kita pacaran deh. Haha, asyik gak tuh? Aku juga kayanya aga sedikit lumayan suka nih sama kamu. Haha akhirnya ngaku juga.” Ia melanjutkan celotehannya. ”Lagian yah Ra, siapa lagi coba yang mau sama cewek jelek kaya kamu. Jadi gimana nih?” Tanyanya lagi.
“What? Jadi dia lagi nembak aku nih ceritanya?” Fikirku.
“Masih nggak mau jawab juga? OK. Liat yah.” Ia tiba-tiba berdiri. Lalu berteriak. “Hey temen-temen! Gue sama Lyra…”
“Stop!” Aku balas berteriak saat semua mata tertuju pada kami.
“Gue saying banget sama Lyraaaa.” Ia tetap berteriak dengan wajah puas.
“My God!” aku malu setengah mati. Semua orang disana bertepuk tangan.
“Terima! Terima!” Semua temanku menyerukan hal yang sama, mendukung Andi.
“Udah deh Ndi. Malu-maluin aja!” Gerutuku sambil meraih tangannya untuk menariknya duduk lagi.
“Eit eit udah mulai pegangan tangan nih?” Teman-temanku mulai menggodaku lagi. Andi semakin puas saja tampaknya.
“Jadi gimana nih?” Andi berbisik padaku.
“Terima aja deeeeh.” Tasya berteriak di barisan paling depan pendukung Andi.
“Hhhhhh.” Aku menghela nafas lagi.
“Jawab dong!” Andi meminta.
“Hmmmm iya deh iya, Ok aku terima.”
“Suit suit.” Kompak teman-temanku bertepuk tangan.
“Thanks yah Ra. Kamu jadi cantik banget sekarang. Bukan gombal yah. Ini jujur dari hati.” Ia tersenyum padaku.
“Heh tapi ini karna temen-temen aku yah. Bukan berarti aku beneran……………” Belum sempat kuselesaikan perkataanku, ia tiba-tiba memelukku. Entah seperti apa perasaanku. Yang kutahu, pada saat itulah aku merasakan kehangatan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Pada saat itu pula aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta. Harus kuakui, aku memang mencintainya.


Menangis,
Dalam ringis,
Saat gerimis…
***
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku mengagumi seseorang. Selama ini, yang kukagumi hanyalah para filosofi, ilmuwan, atau pun orang-orang luar biasa. Kemudian, kau datang. Mengganjal pikiran, mencuri perhatian. Kekagumanku padamu di luar dari ranah yang bisa kujelaskan. Rasanya agak, mmm… menggelitik. Membuatku begitu penasaran, begitu asam manis.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku bersikap salah tingkah. Setiap kali menghampirimu, atau bahkan hanya memandangimu, ada gemerisik perasaan gugup yang menghampiriku. Napasku seperti tercekat, di mana jantungku ingin meloncat keluar raga. Apa itu terdengar hiperbolis? Baiklah, mungkin memang iya. Tapi aku benar-benar merasakannya. Degup tak bisa kuhindari. Hanya saja, akan terlihat konyol jika aku dikalahkan gaya gravitasi bumi di hadapanmu. Jadi, kunikmati saja anomali tubuhku saat dekatmu. Membiarkannya melantunkan nadanya sendiri.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku terkesima oleh senyum yang tidak diperuntukkan bagiku. Semua orang tahu, kau bukan tipikal yang akan bisa akrab dengan orang yang baru saja kau kenal. Keramahanmu padaku hanyalah suatu sikap formalitas. Hanya menyapa dengan lengkung senyum tertarik tiga detik. Akh, juga ada dua lesung pipi di sudutnya, dalam sekali. Biarpun begitu, aku tahu kau cuma berbasa-basi dengan sikapmu yang seperti itu. Selebihnya, tertinggal sikap acuhmu. Bukan karena kau membenciku, tapi karena kau memang tidak terbiasa berlaku di luar “sikap formalitasmu”. Tawamu, hanya untuk teman-temanmu saja.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku tak bisa mengenali diriku dengan baik. Kupikir, cukup dengan berusaha menjadi lebih baik, aku telah memenuhi kebutuhanku. Dan lagi-lagi, aku salah. Biarpun tak pernah bercengkrama secara pribadi denganmu, aku mempelajari banyak hal baru. Bukan mengenai apa yang menjadi tujuan, melainkan tentang bagaimana kita berproses mencapai tujuan itu. Layaknya sebuah keramik yang harus menahan serbuan panas untuk menjadi lebih kuat. Kau, dengan usaha kerasmu itu –yang terkadang membuatmu harus jatuh sakit– mengingatkanku untuk terus bersemangat menghadapi tantangan.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada hal yang tak harus disampaikan. Mengagumimu dengan diam-diam, berhasil membuatku tersenyum geli. Kau pasti tak tahu. Aku selalu memperhatikanmu. Gayamu saat bersandar di dinding; dengan tangan yang dilipat di depan dada dan kaki yang saling menyilang. Aku tergila-gila pada detective style-mu itu. Oh ya, masih ada lagi. Sikap sombongmu karena menjaga jarak dariku, keseriusanmu pada setiap hal, kehebatanmu menendang bola, pembawaanmu yang sok misterius, kegemaranmu pada kimia. Semuanya tentang dirimu. Selalu mengingatkanku pada karakter manga kesukaanku, Shinichi Kudo. Kau benar-benar replikanya yang sempurna.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku menghela napas panjang. Saat kau berlalu begitu saja di hadapanku. Begitu saja. Seakan kehadiranku tak cukup untuk membuktikan keberadaanku padamu. Itu menyebalkan, sangat. Lebih menyebalkan lagi, aku tak bisa protes akan segala kelakuanmu itu. Yang bisa kulakukan hanya memandangi punggungmu saja. Berpikir betapa jauhnya jarak antara kita.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku begitu jenuh dengan persaingan. Aku lelah. Berusaha mengalahkanmu menjadi juara kelas. Kau rivalku, bukan? Tapi mengalah begitu saja, tanpa alasan jelas, akan terlihat aneh. Dan menurutku, masalah perasaan aneh padamu telah termasuk alasan yang tidak jelas. Memusingkan juga ternyata. Memiliki perasaan aneh yang malah membuatku semakin aneh. Benar-benar aneh pokoknya. Ya, apa boleh buat. Kelihatannya membiarkan keanehan ini mengalir satu-satunya cara untuk mengurangi kadar keanehan itu sendiri.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku menikmati senandung yang ditorehkan alam. Mengintegralkannya ke bentuk yang lebih parsial. Memahami setiap pecahan romantismenya. Akan terdengar begitu puitis jika kudeskripsikan secara panjang kali lebar kali tinggi. Begitu bervolumenya hingga aku tak bisa menentukan bagian mana yang akan kubahas lebih dahulu. Jadi izinkan saja kusimpan keindahan senandung itu untuk diriku sendiri. Sebait sonata darimu, yang tak pernah tersenandungkan olehmu.
Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku…
Untuk pertama kalinya, aku…
Bisakah kudefinisikan perasaan ini dengan sebuah kata yang lebih mudah? Tunggu dulu! Bukankah definisi hanya untuk membatasi ruang lingkup dari apa yang didefinisikannya? Padahal perasaan yang seperti ini seharusnya tidak memiliki batas, kan?
Akh, malah terlihat merumitkan!
Lagipula, belum saatnya aku mengakui perasaan ini.
***
Itu karenamu.
Untuk pertama kalinya.
Aku, sepertinya begitu menyukaimu…
***
“Gerimis, ya?”
Ada lengkung-lengkung perak yang menggantung di batas langit. Berombak dalam rintihan. Namun, muatan hidrogen di sana belum mau meretas. Menahan tangis kumulus yang seharusnya menetes.
Kuhela napas panjang. Membiarkan paru-paruku dipenuhi kelembaban udara. Dingin, tapi aku sudah mati rasa. Sakit.
Mungkin memang seharusnya aku berdiri dalam lingkaran amanku saja. Di mana setiap kesal, jengkel, marah, sakit, dan kekaguman hanya kubelenggu dalam ekspresi kata. Menciptakan duniaku di tempat berbeda dari tempatku berpijak sekarang. Seharusnya kusimpan saja perasaan ini. Atau, tak seharusnya kubiarkan rasa itu menggerogotiku perlahan.
Punggungmu yang berlalu begitu saja. Tawamu yang kupandangi dari balik jendela kelas. Detective style-mu yang menyeruakkan aura misterius.
Aku terjebak di sana.
Aku benar-benar terjebak. Lebih parahnya lagi, aku tersesat. Seperti bunga matahari yang mengira bisa menggapai surya karena setia mengaguminya.
Dan, aku kembali pada identitasku. Ke dunia akrasa, ke tempat pelarianku. Berdiri dalam kesendirian, ditemani kesemuan. Kedengarannya memang sangat sadis. Tapi…
Tapi lebih menyakitkan mengetahui kau masih menyimpan perasaan lain –yang lebih dalam, yang lebih tulus– pada gadis masa lalumu.
Bukan padaku.
***
Itu karenamu.
Untuk pertama kalinya.
Aku ingin menyimpan seruat perasaan ini.
Bukan lagi tertuju padamu.
Sayounara, daisuki na hito*…
***
Menangis,
Dalam ringis,
Saat gerimis…
Hanya untukmu, kubiarkan hatiku terluka,
Hanya untukmu, kubiarkan diriku menduka,
Hanya untukmu, kubiarkan semua kehilangan peka…
Tapi, maaf,
Aku tak bisa sakit lebih dari ini…
~~~karenamu, pertama kali~~~


Zhena dan yongki adalah teman dari kecil, rumah mereka bersebelahan dan mereka dilahirkan pada hari yang sama juga. Sejak mamanya meninggal dan papanya menikah lagi Zhena dititipkan pada mama Yongki yang juga sahabat mama Zhena untuk menjaga dan mendidik Zhena.
Saat itu Zhena berusia 6 tahun, dia harus kehilangan kasih sayang ibu dan ayahnya yang memang tidak menyayanginya setelah ia tergoda dan berselingkuh dengan seorang janda. Hal itu yang membuat mama Zhena kaget dan akhirnya meninggal karena serangan jantung. Namun Zhena juga tidak kekurangan kasih sayang karena mama papa Yongki juga sangat menyayangi Zhena seperti mereka menyayangi Yongki.
Senyummu Masih Bisa Ku lihat
Suatu hari saat itu Zhena sedang duduk melamun didepan rumah. Dia mengingat semua kenangan bersama mamanya, saat bercanda bersama, bermain bersama, dan melewati hari-hari indah bersama. Zhena tersenyum melihat semua itu, namun senyuman itu berubah menjadi raut wajah yang sedih, karena ia juga harus mengingat kenangan terburuk karena melihat sosok mama yang sangat dicintainya meninggal didepannya. Air matanya sulit untuk terbendung dan terus menetes. Dalam hatinya ia sangat sedih dan kecewa karena ia tidak bisa menjaga mamaya seperti yang pernah ia katakan pada mamanya.
“ Zhena janji akan jaga mama, dan akan menghapus air mata yang keluar dari mata mama “ kata Zhena saat ia berusaha menenangkan mamanya yang sedang sedih. Zhena tertunduk lesu, seakan ia tidak bisa lagi melanjutkan hidupnya saat ia mengingat mamanya. Dari jauh Yongki memperhatikan Zhena yang tertunduk didepan rumah dan begegas untuk menghampiri karena ia tau Zhena sedang sedih mengingat mamanya.
“ Dooorr…!!! Zhena lagi ngapain?? “
Namun Zhena tidak merespon yongki sedikitpun. Yongki berusaha membuat Zhena tersenyum kembali.
“ Zhena, main yuk, main sepedah-sepedahan, atau makan ice cream, mama baru beli looh.. “ hibur Yongki
Namun tetap saja Zhena diam. Yongki bingung cara papa lagi agar Zhena bisa melupakan kesedihannya, lalu ia memanggilkan mamanya untuk berusaha menghibur Zhena dan mengembalikan senyum Zhena yang diam-diam selama ini dikagumi Yongki. Mama Yongki pun datang dan membujuk Zhena agar ia tidak bersedih lagi.
“ Zhena, kamu kenapa sayang? “
Zhena hanya diam saja.
“ Kamu nggak boleh kayak gitu sayang, kalau mama kamu lihat, mama kamu bakal sedih Zhena.. “
“ Zhena kangen sama mama, Zhena ingin ketemu mama.. “
“ Kalau kamu kangen sama mama kamu, kamu bisa bilang sama tante, nanti kita sama-sama nengokin mama kamu “ kata mama Yongki
berusaha menenangkan Zhena dan berniat mengajak Zhena ke makan mamanya.
Setelah sampai dimakan mamanya, Zhena langsung duduk bersimpuh dan memeluk nisan mamanya. Seakan ia tidak ingin melepasnya. Terlintas diingatannya saat ia masih bisa memeluk mamanya, hatinya sangat hancur, dalam usia yang seharusnya masih dalam kasih sayang kedua orang tuanya, namun ini berbeda, Zhena harus menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya
Angin berhembus kencang, menyebabkan daun pohon kamboja itu jatuh mengotori tempat persemayaman seorang wanita yang 15 tahun telah menempati dan menjadikannya tempat peristirahatan terakhirnya. Sosok gadis berusia 20 tahun duduk disamping gundukan tanah merah yang penuh dengan daun pohon kamboja. Tangannya yang halus mengambil dan membersihkan daun-daun yang jatuh diatasnya, dengan sesekali tangannya mengelus batu yang bertuliskan nama seorang wanita yang sangat dicintainya. Matanya yang mulai penuh dengan air mata itu tidak lagi bisa membendung kesedihannya. Zhena, seorang gadis kecil yang ditinggal kedua orangtuanya 15 tahun lalu, kini tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, yang tegar menghadapi kenyataan terpahit dihidupnya. Ia tidak menyangka kalau ia bisa melewati semua yang terjadi padanya. Dengan air mata yang menetes dipipi merahnya, sesekali mulutnya tersenyum saat ia menatap dalam sebuah batu yang bertuliskan “Santi Natasia” namun lama kelamaan senyuman itu terasa sakit saat ia harus mengingat peristiwa 15 tahun lalu, saat ia berusia 6 tahun, saat ia melihat papa dan mamanya bertengkar, saat ia melihat mamanya jatuh dengan nyawa yang keluar dari tubuhnya, saat ia juga harus melihat mamanya dipakaikan kain putih ditubuhnya dan dimasukkan kesuatu te pat yang akan tertutup rapat oleh tanah. Saat itu juga ia harus kehilanagan seseorang yang berharga dihidupnya. Disela-sela isakan tangisnya ia berkata.
“ Lihat ma, Zhena udah besar, Zhena udah kuliah ma.. Zhena berhasil menjadi apa yang mama mau, Zhena berhasil menjadi anak yang mandiri, yang tegar dan tabah ma.., mama pasti senang lihat Zhena yang sekarang.. “
“ Mama kamu pasti bangga punya anak sepertimu Zhen. “ tiba-tiba suara
Itu terdengar dibelakang Zhena.
Teman Zhena dari kecil yang selama 15 tahun mengagumi dan tidak ingin melihat Zhena bersedih, ia rela melakukan apa saja asalkan Zhena bahagia. Ia duduk disebelah Zhena, merangkul dan menenangkan Zhena.
“ Ma, Zhena beruntung banget ma, ada tante Dini, om doni dan Yongki yang sayang sama Zhena, mereka segalanya bagi Zhena ma. “ katanya
dengan kepalanya disandarkan ke batu nisan mamanya.
“ Tapi mama nggak usah khawatir, mama tetap segalanya buat Zhena. “ imbuhnya dengan tersenyum.
Berjam-jam Zhena berada ditempat itu. Waktu kini menunjukkan pukul 2 siang. Cuaca hari ini tidak secerah kemarin, dari tadi awan hitam itu menyelimuti langit yang seharusnya berwarna biru.
Gerimis mulai mengguyur pemakaman itu. Zhena dan Yongki bergegas untuk eninggalkan tempat itu sebelum gerimis menjadi hujan yang lebat. Ditengah perjalanan menuju mobil Zhena dan Yongki bertemu dengan seorang laki-laki yang duduk bersandar dibawah pohon pinggir jalan pemakaman itu. Saat Zhena memandangnya , seakan Zhena tidak tega dan ingin menghampirinya, namun ia merasa tidak enak dengan Yongki, kepalanya yang sering celengokan menoleh kebelakang untuk melihat laki-laki itu ternyata diketahui Yongki, Yongki pun tau maksud Zhena. Akhirnya Yongki mengajak Zhena untuk menghampiri laki-laki itu. Laki-laki itu terlihat sangat sedih dan sangat putus asa, entah apa penyebabnya.
“ Mas, ngapain disitu? Udah mau hujan loooh.. “ Zhena mulai menyapa laki-laki itu dan akhirnya mereka berkenalan. Dendy nama laki-laki itu.
Beberapa bulan berlalu, hubungan Zhena dan Dendy sepertinya bertambah dekat, merka berdua pacaran. Kabar itu didengar Yongki, sebenarnya hati Yongki sakit mendengar kabar itu karena Yongki diam-diam menyukai Zhena, tapi Yongki berusaha menerima semua itu dengan ikhlas, karena baginya melihat Zhena bahagia itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Suatu malam Dendy berencana mengajak Zhena ke suatu tempat yang sudah dipersiapkannya. Waktu itu saat Dendy ingin menjemput Zhena, kejadian tragis menimpanya. Mobilnya menabrak pohon, saat ia berusaha menghindari seseorang yang tiba-tiba menyeberang ditengah jalan. Orang-orang disekitar kejadian mengerumuninya dan membawanya kerumah sakit. Dirumah perasaan Zhena sangat cemas, ia berusaha menelefon Dendy tapi tidak ada jawaban. Selang semenit setelah Zhena berusaha menghubungi Dendy, tiba-tiba handphonenya berbunyi, dia senag karena yang menelfon Dendy, tapi kebahagiaannya berubah menjadi kekecewaan, karena ternyata dia bukan Dendy. Sempat Zhena bingung, kenapa yang berbicara bukan Dendy?? Dendy dimana?? Pertanyaan itu mengiang difikirannya. Lebih kaget saat Zhena mendengar kabar kalau Dendy mengalami kecelakaan. Tanpa pikir panjang Zhena menyusul Dendy ke Rumah Sakit ditemani Yongki. Setelah sampai dirumah sakit Zhena cemas memikirkan keadaan Dendy. Air matanya terus mengalir dipipinya, hatinya sedih, ia merasa tidak mau kehilanagn oarang yang ia sayangi kedua kalinya. Yongki berusaha menenagkannya, diraihnya tubuh Zhena kedalam pelukan Yongki.
“ Menangislah dipeukanku Zhena, luapkan semua apa yang kamu rasakan”
Setelah beberapa jam Zhena menunggu, dokter keluar UGD dan memberitahu keadaan Dendy.
“ Dokter, gimana keadaan Dendy?? “
“ Dendy bisa diselamatkan kan Dok?? “
“ Alhamdulillah Dendy selamat.. “
Hati Zhena terasa lega mendengar pernyataan Dokter.
“ Tapiii… “ Dokter melanjtkan perkataannya.
“ Tapi kenapa Dok?? “ Zhena mulai cemas
“ Dendy baik-baik saja kan Dok?? “
“ Dendy selamat dari kecelakaan itu, tapi kamu minta maaf, kami tidak bisa
Menyelamatkan organ penting yang dimiliki Dendy. “ tutur Dokter.
“ Maksud Dokter ?? “ Zhena semakin cemas dan fikirannya kembali kacau.
“ Kornea mata Dendy rusak karena mengalami benturan hebat pada waktu
Kecelakaan. “
Zhena hanya diam mematung, hatinya terasa sakit mendengar kekasih yang sangat dicintainya tidak bisa melihat.
1 minggu setelah kejadian itu Zhena kelihatan sanagt bersedih, sesekali ia menangis membayangkan mamanya meninggal dihadapannya, membayangkan kekasihnya tidak bisa melihat, hatinya benar-benar hancur. Dari jauh Yongki memperhatikan Zhena, ia tidak tega melihat keadaan Zhena. Yongki yang tidak pernah ingin melihat Zhena bersedih, tidak pernah ingin melihat air mata Zhena membasahi pipinya, Yongki yang selama ini mencintai Zhena dan hanya ingin melihat senyumnya.
Yongki mendatangi dokter yang menangani Dendy, ia bermaksud untuk menolong Dendy agar Zhena bahagia. Dokter tidak bisa mengiyakan permintaan konyolnya itu, karena itu sangat membahayakan dirinya, namun Yongki tetap pada pendiriaannya, ia ingin mendonorkan matanya buat Dendy. Ia sudah siap dengan semua konsekuensinya, ia rela mati untuk melihat Zhena bisa tersenyum kembali dan akhirnya Dokterpun menyetujuinya.
“ walaupun aku nanti harus mati, toh aku masih bisa melihat senyum Zhena dengan mataku yang ada pada Dendy. “ pikirnya saat ia terbaring
ditempat operasi.
“ Zhena, ini semua untuk kamu. “ katanya dalam hati.
“ Sudah siap Yongki? “ tanya Dokter.
“ Siap Dok, lakukan dengan baik untk Zhena ya Dok.. “
“ Sebelum operasi dilakukan, ada yang mau disampaikan? “
“ Saya mau sms Zhena bentar ya Dok?! “
“ Silahkan.. “
Yongki mengambil handphonenya dan menulis sms untuk Zhena
“Zhena, jaga diri kamu baik-baik, tetaplah tersenyum, jangan menangis lagi. Aku sayang kamu..” kata-kata itu yang terakhir kali diucapkannya. Hingga sampai saatnya tiba, ia merasa waktunya sedah semakin dekat, pelan-pelan ia pejamkan matanya dan untuk selamanya.
“ Ini siapa sih, malam-malam ada sms.. “ ketika saat ingin membaca sms tersebut, tiba-tiba ada panggilan masuk dari dokter yang menangani Dendy. Dokter berkata ada kabar baik untukknya dan menyuruh datang ke Rumah Sakit. Setelah tiba dirumah sakit Dokter menyampaikan bahwa ada orang yang sangat baik yang mau mendonorkan matanya untuk Dendy. Zhena sangat bahagia melihat kekasihnya dapat melihat lagi. Ditengah senyumnya yang lebar itu tiba-tiba Zhena berfikir sejenak.
“ Kamu kenapa sayang?? “ tanya Dendy yang sedang melihat Zhena agak sedikit bingung.
“ Yongki kemana, dari tadi pagi kok nggak kelihatan. “ katanya sambil membuka sms yang tadi velum sempat dibacanya.
Kanget saat Zhena membaca sms dari Yongki, ia semakin bingung kenapa Yongki bilang seperti itu, ia juga bingung karena Dokter tidaj memberi tahunya siapa yang sudah mendonorkan matanya buat Dendy. Zhena pun bertanya kepada Dokter, dia ingin membalas kebaikan orang tersebut, namun Dokter tidak memberitahukannya, karena Yongki sudah meminta agar merahasiakannya.
“ Ada apa ya,, rumah kok rame banget..?? “ pikirnya saat ia melihat dirumahnya banyak sekalu orang berdatangan dengan memakai pakaian hitam-hitam. Zhena semakin curiga, dan langsung masuk kedalam rumah.
Seperti guntur yang menyambar hatinya, bagaikan hujan pisau yang menghujam jantungnya. Ia tidak bisa berkata-kata, kakinya terasa berat untuk melangkah, hatinya terus berkata “Itu bukan Yongki” Zhena lari kedepan rumah, duduk ditempat biasanya ia merenung. Disitu ia muali berfikir, apakah Yongki yang mendonorkan matanya untuk Dendy?? Tapi kenapa Yongki melakukannya dan mengorbankan dirinya?? Zhena ingat dengan sms yang terakhir dikirim Yongki. “Zhena, jaga diri kamu baik-baik, tetaplah tersenyum, jangan menangis lagi. Aku sayang kamu..” Zhena mencermati tulisan itu dan mencari-cari arti tulisan itu.
Tiba-tiba mama Yongki menghampiri Zhena, menenagkan Zhena, dan menceritakan semua pada Zhena. Zhena kaget dan hampir tak percaya Yongki melakukan semua itu untuknya. Zhena merasa bersalah kepada orangtua Yongki.
“ Tante, maafin Zhena. Zhena yang udah bikin Yongki jadi kayak gini, tante boleh laporin Zhena ke kantor polisi..”
Namun tante Dini hanya tersenyum mendengar perkataan Zhena.
“ Tante, Zhena udah terlalu banyak hutang budi sama tante, dan sekarang Zhena malah buat anak satu-satunya tante meninggal. Hukum Zhena tante… “
“ Zhena, tante nggak marah sama kamu, Yongki begini bukan karena kamu, ini karena Yongki sayang sama kamu, Yongki ingin lihat kamu tersenyum.. “
“ Tapi dengan dia mengorbankan diri?? “
“ Dia bilang sama tante, walaupun dia meninggal, tapi dia masih bisa melihat senyummu Zhena, dia bahagia seperti itu.. “
Zhena terharu mendengar ucapan tante Dini, ternyata tanpa ia sadari sekama ini begitu besar sayang Yongki padanya hingga Yongki mengorbankan nyawa untuknya.
“ Dooorr…!!! Zhena lagi ngapain?? “
“ Zhena, main yuk, main sepedah-sepedahan, atau makan ice cream, mama baru beli looh.. “
“ Mama kamu pasti bangga punya anak sepertimu Zhen. “
“ Menangislah dipeukanku Zhena, luapkan semua apa yang kamu rasakan”
“Zhena, jaga diri kamu baik-baik, tetaplah tersenyum, jangan menangis lagi. Aku sayang kamu..”
Zhena tersenyum mengingat semua itu. Mengingat perhatian yang diberikan Yongki padanya sampai akhir hayat Yongki. Dari belakang Dendy datang menyusul Zhena yang sedang melamun disebuah taman,
“ Senyum-senyum sendiri, kayak orang gila tauu.. “
“ Itu kan yang kamu ingin lihat matanya Yongki.. “
Mereka berdua tertawa lebar sambil berjalan bergandengan meninggalkan taman. Namun tiba-tiba ada seseorang yang menabrak Zhena, laki-laki berkacamata yang sepertinya Zhena mengenalnya.
“ Cowok ituu…… “


Hampir setiap pagi kudengar lagu itu.Membuat jantungku berdebar dan selalu membuatku ingin tahu siapa kamu, siapa perempuan yang setiap pagi mengalunkan nada yang sama dan akan berhenti di bait keempat lirik lagu itu. Aku selalu terbangun dengan rasa penasaran yang tinggi. Tapi saat kucari aku sudah kehilanganmu.
Udara kota Jember di pagi hari membuatku terbangun apalagi mendengar lagu yang kau putar hampir setiap hari membuatku ingin tahu, ada apa dengan lagu dan lirik itu? Percuma aku bertanya-tanya apada diri sendiri karena kaulah jawaban itu. Aku mencoba berani mengamatimu, kuhitung derai airmatamu, kuhitung berapa kali lagu itu kau putar dan aku mengamati berapa kali kau datang di taman dekat rumahku. Hari ini aku harus bisa mengenalmu paling tidak siapa yang membuat air matamu terjun bebas ke pipimu.
“Boleh aku duduk di sini?” tanyaku padamu dan tak kulihat gerak bibir itu. Tak ada jawaba sama sekali. Kita hanya ditemani sunyi sedangkan lagu itu tetap mengalun tak berhenti.
Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely, or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven’t got a clue
But let me start by saying, I love you …
Tepat saat lirik itu kudengar kau pergi dari tempat duduk kesayanganmu. Apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin menhapus airmatamu yang hampir setiap hari kulihat. Tapi aku ak bisa mecegahmu pergi. Aku adalah lelaki paling tidak beruntung di dunia ini dengan tingkat kesialan paling tinggi.
****
Pagi yang sama dan alunan lagu yang sama. Jika boleh aku ingin mengganti lagu itu, lagu yang setiap hari membuatmu menangis dan menangis. Aku mencoba mendekatimu lagi. Anggap saja aku adalah lelaki krang ajar yang ingin masuk ke duniamu. Tapi tak apalah yang aku inginkan hanya senyummu.
“Namaku Eric Wibisana, panggil saja Eric,” ucapku. Aku hanya ingin dia mengenalku sebagai manusia yang bisa dia ajak bicara. Bukan sebagai patung. Anggap ini perkenalan yang harusnya tak terjadi. Tapi Tuhan sudah menakdirkan semua ini.
“Diandra Larasati.”
Satu kalimat darimu terucap dan lirik itu memutar ingatanku sehari yang lalu. Kau pergi lagi dan berhenti di tiitk sebelum lagu itu berakhir. Ada apa dengan lagu itu dan ada apa dengan liruik lagu itu? Keduanya jadi pertanyaan spesial untukmu tapi kau sudah meninggalkanku.
“Diandra…Diandra…Diandra,” gumamku saat kau sudah pergi. Kau membuat tingkat penasaranku lebih tinggi dibanding perempuan-perempuan cantik yang bisa kudapatkan dengan sekali tatapan mata. Aku bahkan tahu bahwa aku punya mata elang yang akan membuat perempuan tenggelam dalam tatapan mataku. Kalau kali ini aku menatapmu tajam aku takut kau tak akan kembali ke tempat ini.
****
Ini kali ketiga aku menemuimu dengan harapan aku mendapatkan informasi lebih banyak dibanding hanya namamu. Setiap kali aku mengamatimu dan tak pernah bosan. Kau dalah perempuan dengan kisaran umur 25 tahun, belum menikah dan punya pengalaman buruk dengan lelakimu. Ini hanya pengamatan amatir mataku yang setiap kali memandangmun murung mengahdapi lagu itu. Ada pengalaman dibalik lagu yang kau dengarkan setiap waktu itu. Tapi apa? Aku tak pernah tahu. Aku bukan siapa-siapa jadi tak akan pernah berhak mengetahui semua tentangmu.
“Ada sesuatu di balik lagu itu?” tanyaku langsung pada permasalahan. Aku tak ingin teralalu lama diam dn penasaran. Aku akan setiap hari mengenalnya dan mulai mencintainya jika aku tak pernah tahu ada apa. Kali ini aku menatapnya tajam dan benar-benar tajam dari yang biasanya. Aku tak peduli mataku ini mata elang yang siap menerkam mangsa. Tapi sebagai lelaki aku tak pernah tega memandang mata itu. Mata yang setiap hari mengalirkan airmata.
“Aku datang ke sini setiap hari karena ada kamu,”
Jawabanmu membuatku lebih kaget daripada membayangkan prediksiku yang meleset. Jadi lagu itu? tangisan itu? tapi apa hubunganku dengannya? Seingatku aku baru mengenalnya beberapa hari ketika dia duduk di sini.
“Boleh aku sentuh wajahmu?” permintaanmu jauh membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mengangguk dan merasakan butiran-butiran air matamu.
“Jangan tinggalkan aku lagi, Ga,” ucapmu diantara tangisanmu.
Ga, satu nama yang belum kukenal. Tapi hari ini aku melihat sedikit senyum di bibir merahnya. Dan Ga, siapa dia? Aku tak mungkin menanyakan siapa lelaki yang mungkin memiliki wajah yang hampir sama denganku. Apa lagu itu yang disukai lelaki yang bernama Ga.
****
Pada hari keempat aku menemuimnya lagi. Aku hanya mengenalnya dengan nama yang sama “Diandra” tapi dia menganlku sebagai orang yang berbeda. Terus terang aku mulai menyukainya, dia memiliki senyum yang lebih manis dibandingkan tangisnya. Aku ingin mengenanlnya lebih jauh dari sekedar tahu nama “Ga” yang dalam pikiranku adalah Ega dan tidak sekedar nama Diandra. Aku tahu ada sesuatu di bl beberapa nama yang disebutnya.
“Kenapa kau suka lagu itu?”
“Ini lagu kesukaanmu, Ga, kau tahu, kau lebih suka mendengar lagu itu dibanding aku,” ucapnya manja padaku seperti aku memang seorang yang dikenalnya lebih lama dari 4 hari pertemuan kita.
“Ga, itu siapa?”
“Bukankah kau Ega Kurniawan? pacarku, apa kau lupa?”
“Din, aku Eric tapi terserah kau akan memanggilku apa. Tapi jika suatu hari kau sudah melenyapkan kenangan pahitmu. Pangggillah aku Eric,”
Air mata itu sedikit demi sedikit mengalir dari mata itu. Aku tidak ingin melihat mata ini mengalir airmata itu. Tapi semoga ini airmata terakhir yang kulihat. Hari ini semua harus terbuka dan aku siap menerima masa lalunya. Entah aku menjadi Ega tau menjadi siapa yang jelas aku menemaninya.
****
Sejak aku inhin dikenal sebagai Eric, Diandra tak pernah datang lagi ke Taman dekat rumah. Mungkin aku telah menyakitinya dan mungkin aku telah membuat pudar senyumnya. Menemukan Ega adalah emas baginya tapi menemukan Eric bukanlah apa-apa. Aku yakin dia lebih mencintai Ega daripada Eric. Entahlah aku tak bisa berpikir dalam keadaan seperti ini. Ega, di manakah dia? Kenapa dia pergi begitu saja meninggalkan perempuan yang mencintainya.
“Ega tak pergi untuk meninggalkan Diandra, Ric,” ucap Nenekku yang mengagetkanku. Bahkan nenekku tahu siapa Ega tapi aku tak tahu.
“Kau baru beberapa hari menginjakkan kaki di kota ini, Ega itu kakakmu. Kalian kembar tapi Ayah-Ibumu memisahkan kalian. Dan tentang Ega sengaja dirahasiakan keberadaannya,”
“Lalu di mana Ega?”
“Ega sempat berpacaran dengan Diandra sejak di sini, tapi dia di bawa pergi oleh Ayahmu karena dia punya penyakit yang mematikan…”
“Dan nenek menerima semua itu?”
“Tentu tidak, Ric, kau tahu siapa yang akan melawan penyakit? sekarang nenek minta kamu adilah Ega untuk Diandra,”
Aku tak bisa bicara apa-apa kecuali meniyakan perintah nenek dan perintah hatiku. Aku menyayangi Diandra dan aku menyayangi nenekku dan kakak kembarku. Semoga dia akan pulang dan sembuh dari penyakit sialan itu. Tapi bagaimana denganku jika Ega kembali ke sini? Aku tak peduli dengan takdir hdup ini. Biarlah semua seperti ini sekarang.
***
“Maafkan aku, Ric, karea telah mengangggapmu sebagai Ega, aku tahu Ega tak akan datang lagi,”
Kali ini ijinkan lelaki yang merasa dirinya kuat ini menangis. Tangis kebahagiaan karena Diandra kembali seperti semula. Semoga dia bisa menerima kenyataan bahwa aku memag Eric dan bukan Ega.
“Aku mencintaimu, Dra,”dan kulihat senyum itu terpancar. Mungkin dia seperti melihat Ega kedua tapi itu tak membuat cintaku pudar. Aku mencintai Diandra apa adanya dan masa lalunya.
“Aku juga mencintaimu sejak dulu sampai sekarang,”
Dan langitpun cerah, senyum Diandra lebih merah dari mawar merah. Aku akan bersamanya dan akan menghapus air matanya. Untuk kakakku dan untuk Diandraku.


Pada zaman itu ada seorang putri naswa yang buruk rupa,hingga pada suatu hari dia bermimpi bertemu seorang pangeran
“cantik kemarilah!”katanya
sang putri melihat kekanan kiri,tidak ada orang selain ia.
“aaaku?”kata sang putri
“ya!”kata pangeran
“aku tak cantik !”kata putri
“kau cantik dari dalam,dan ku tunggu kau di lembah cinta dibawah pelangi abadi”jelas pangeran
“tapi….!”kata putri
tiba-tiba putri terbangu , setelah kejadian itu putri diam-diam pergi dari istana,dan mencari kesana kemari mencari tempat itu hingga pada suatu hari ia bertemu perempuan tua,ia menunjukan jalan ketempat itu sesampainya di sana ia berterimakasih pada perempuan tua itu
“ter….”sebelum ia berterimakasih perempuan tua itu hilang
tiba-tiba dari belakang ia di pangil
“putri naswa!,permaisuriku!”kata pangeran
“pangeran!”katanya sambil memeluk pangeran
“ikutlah denganku!”pita pangeran
ia pun mengikuti pangeran,sampailah di sebuah danau
“berendamlah!”pinta pangeran lagi
“baiklah!”kata putri
setelah beberapa meni tiba-tiba ada cahaya putih keluar dari danau lalu putri berubah menjadi putri yang cantik
“permaisuriku!”kata pangeran
Akhirnya mereka hidup bahagia di istana mereka


Mata Fahrie menatap buliran-buliran rintik hujan dibalik kaca jendela ruang bersalin tempat istrinya Farida dirawat setelah baru saja melahirkan 2 jam yang lalu. Samar-samar dia teringat sesuatu. Dia berusaha keras mengingat potongan-potongan memori yang dialami sepanjang perjalanan hidupnya.
Memori itu mulai tersusun dalam benak pikirannya. Mulai dia mengenal kekasihn
ya sebelum dengan Farida, hampir empat tahun dia merajut kisah asmara bersamanya, tinggal satu langkah lagi mereka memasuki jenjang pernikahan. Tapi sayang mereka tidak berjodoh, tak tahu apa sebabnya kekasih Fahrie meninggalkanya begitu saja dan menikah dengan lelaki lain.
Sejak itu Fahrie patah hati, dia mulai mengenal dunia yang lain sebagai pelampiasannya. Hidupnya berubah sangat drastis, dan sebagai pelampiasan atas kekesalan pada nasibnya, dia suka mempermainkan hati wanita yang dia kehendaki. Beberapa wanita bertekuk lutut terhadap rayuannya.
Dan setelah dia mendapatkannya, lalu dia tinggalkan begitu saja. Saat itu hidupnya kacau dari satu wanita ke wanita yang lainya, dan rata-rata mereka cantik secara fisiknya.
Hingga suatu hari dia menemukan titik balik jalan kearah yang benar setelah berjumpa dengan seseorang yang bisa menuntun jalan hidupnya, dia seorang mantan preman yang telah tobat dan menjadi seorang ustad. Kisah hidupnya lebih parah dari Fahrie, kemudian mereka berteman dan sejak itu Fahrie mulai belajar sedikit demi sedikit tentang agama darinya.
Alhamdulillah Fahrie diberi petunjuk sama Allah melalui dia, Ustad Zulkarnain namanya. Kemudia Fahrie bertemu dengan teman kecilnya yaitu Farida. Mereka saling mengenal karena mereka bertetangga. Dan juga sejak kecil mereka sering main bersama.
Fahrie jatuh cinta padanya ketika Farida umur 25 tahun dan Fahrie umur 30 tahun, dan gayung pun bersambut, Farida juga mencintainya. Tak terbayang oleh mereka kalau mereka berjodoh dan menjadi kekasih hati terajut oleh untaian tali pernikahan.
Jujur Fahrie mengakui Farida tidak terlalu cantik, juga bukan keturunan orang berpangkat, bangsawan atau pun ningrat. Dia tidak perduli, raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akherat itu yang dia inginkan, terlebih terpoles ilmu syar’i. Maka tekadnya pun bulat untuk meminang Farida saat itu.
Maka keinginan Fahrie, ia sampaikan pada kedua orang tuanya. Sempat kedua orang tua Fahrie tidak merestui hubungan mereka. Faktor klise yang mendasarinya. Karena orang tua Fahrie tergolong orang berada, sedangkan orang tua Farida orang biasa saja.
Fahrie tak patah semangat dia tetap berusaha memberi pengertian kepada kedua orang tuanya. Dan akhirnya hati kedua orang tua Fahrie pun luluh, karena kesederhanaan yang dimiliki Farida.
Hari bahagia yang ditunggu-tunggu pun datang, pernikahan sederhana digelar di rumah Farida. Terbitlah kebahagian yang mereka tunggu menyelimuti sanubari. Telah tiba saatnya biduk rumah tangga yang harus berlayar di samudra kehidupan terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati mereka.
Dan malam yang penuh kebahagian, masih terbayang dipelupuk mata Fahrie, ketika dia menatap wajah Farida, matanya fokus memandang bola mata bening milik Farida dan sang pemilik pun membalasnya dengan senyuman. Beberapa detik mereka merasakan getaran yang sama yang berkecamuk didalam hati. Dan buliran-buliran air mata haru pun jatuh membasahi kedua pipi mereka.
Semenjak menikah hingga saat ini mereka memutuskan untuk hidup mandiri, dan memulai biduk rumah tangganya dari nol. Dengan restu orang tua, dan berbekal ketrampilan Fahrie sebagai seorang penulis, maka mereka memulai perjalanan rumah tangganya dengan kalimat Hamdalah, mereka hidup di kontrakan rumah yang ukurannya tidak terlalu besar, cuma ada ruang tamu, kamar tidur dengan sebuah ranjang usang dan beralaskan kasur tipis, disetiap detik perjalanan hidup mereka, dinikmati dengan penuh kebahagiaan
Walaupun penghasilan suaminya tergolong paspasan bahkan antara pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang, mereka pun harus hidup hemat, mengikis keinginan karena tidak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah melihat kristas bening yang menetes dari pelupuk mata Farida karena hal itu.
Dia wanita sederhana yang pintar, tak banyak bicara, kesederhanaan dan kedewasaan yang diperagakan justru mengusik hati Fahrie, tak bisa dia pungkiri dan tutupi, dia mencintai Farida. Tak terasa tetes bening air mata bak kristas menetes membasahi kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengan kedua tangannya.
“Abi… dimana anak kita?”
Tersentak Fahrie mendengarnya, dia tahu kalau seharian tadi Farida tidak makan karena kesakitan sejak kemarin dan ketika dia tawarkan sepotong roti Farida tidak mau karena rasa sakit yang diderita menyebabkan hilang nafsu makannya. Tapi ketika terbangun dari rasa letih, bukan rasa lapar yang didahulukannya, tapi buah hati yang ia tanyakan.
Bayi yang menjadi permata hati mereka lahir dengan selamat dan nampak sehat, membuat rasa lapar dan dahaganya hilang seketika. Dengan begitu perhatiannya, Fahrie menyuguhkan segelas air putih, dia berharap agar kemesraan yang terjalin dan barangkali letih yang diderita istrinya akan segera terkikis.
Sepotong roti yang Fahrie tawarkan tadi kepada istrinya telah habis ia makan, karena Farida tak nafsu makan tadi. Saat ini hari sudah malam, tidak ada toko atau warung yang menjual makan . Segelas air putih pun dia teguk perlahan tanpa ada keluhan atau tuntutan.
Setelah minum satu gelas air putih, Farida lemas tertidur, wajahnya pucat pasi. Fahrie terlihat sangat bingung, dibangunkan tubuh istrinya yang tidak berdaya, tetap saja tak terbangun, maka dia pun mulai panik, dipanggilnya bidan dan suster yang ada di rumah sakit itu, maka kepanikanpun terjadi di ruang kamar Farida, dia mengalami pendarahan setelah habis melahirkan, HBnya turun dan sangat rendah. Jika tak tertolong maka nyawanya terancam.
Kondisi Farida semakin parah, sudah 2 hari dia dalam kondisi tak sadarkan diri. Transfusi darah sudah dilakukan, dokter pun sudah berusaha menolongnya, tapi hasilnya belum maksimal. Kiranya Allah masih menguji umatnya, kini tubuhnya terbaring lemas tak berdaya, Fahrie sedikit pun tak beranjak duduk disamping tempat tidurnya, dia genggam tangan Farida dan berkata.”Dinda, satu pinta yang aku mohon kepada Allah disetiap sujud dan tarikan nafasku, ku mohon janganlah kau tinggalkan aku.”
Kembali air mata bening bak kristas jatuh di kedua pipinya dengan penuh kesedihan. Tak terasa air mata itu jatuh menelusuri lembah hidungnya kemudian tetesan terakhirnya jatuh di kening istrinya Farida.
Satu keajaiban walaupun Farida dalam kondisi koma hatinya bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami suaminya Fahrie, kedua mata yang terpejam sejak 2 hari yang lalu kini mengeluarkan air mata yang bening penuh kesedihan. Fahrie melihat perubahan membaik pada kondisi Farida, dia senang.
“Dinda, bangunlah. Anak kita masih membutuhkan kita, mari kita merajut hari bersama. Kita masih punya cita cita, membuat permadani cinta bersama, untuk mewujudkan impian kita.”
Air mata haru Farida semakin deras meleleh di kedua pipinya, mendengar ucapan suaminya. Mulutnya terkunci rapat oleh kondisi kesehatannya, tapi hatinya tetap berbicara merasakan kesedihan yang ada.
Sudah satu minggu Fahrida terbaring lemas tak berdaya. Kemajuan akan perkembangan kesehatannya pun sangat lambat, dia hanya bisa menangis bila diajak bicara dan tangannya sedikit bergerak, tapi kesadarannya belum juga pulih. Disetiap sujud Fahrie, dikeheningan malam dia panjatkan doa-doa kepada Allah, untuk kesembuhan Farida istrinya.
Kondisi kesehatan Fahrie mulai melemah. Berat badannya sempat turun beberapa kilogram, dan saat ini dia sedang terserang virus influenza. Ada satu yang membuatnya tetap semangat yaitu perkembangan kesehatan bayinya, anaknya lahir dengan selamat dan sehat.
Tepat dihari yang kesepuluh, bak sejuknya tanah yang gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya bunga mawar yang mulai merekah kelopak-kelopaknya, bak syaduhnya kicauan burung menyambut datangnya mentari pagi, begitulah kuncup bahagia dihati Fahrie.
Di pagi yang cerah, kiranya Allah telah mengabulkan doa-doa Fahrie yang selama ini dia panjatkan. Dia melihat senyum manis di wajah Farida, senyum manis itu datang kembali, Farida mulai siuman, setelah sepuluh hari tidak sadar.
Dan kini air mata bahagia mereka tumpahkan bersama, sujud syukur Fahrie persembahkan atas nama Allah yang telah memberinya kebahagian, yaitu anugrah yang terindah dalam hidupnya adalah istri dan anaknya, dalam hati dia menganggumi istrinya, engkaulah permaisuri hatiku.