Sabtu, 02 November 2013



“Perpisahan kita dihiasi lagu ini, masih ingat kan? Dan akhirnya lagu ini juga yang menjadi lagu pertemuan kita..” – Rafli
Hari ke tiga ratus enam puluh lima. Tepat satu tahun janji itu ada. Musim gugur kini kembali. Dedaunan kuning kecokelatan berjatuhan dari ranting pohon. Angin-angin kecil berhembus menerpa tubuh Marsha yang kini duduk di atas rerumputan hijau berhiaskan dedaunan yang berjatuhan. Kulitnya tampak berkilau diterpa sinar matahari siang. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di dalam kedua lipatan tangan yang kini bertumpu di atas kedua lututnya.
Sudah hampir dua jam Marsha disana. Menunggu sesuatu yang tak pasti kedatangannya. Marsha mengangkat kepalanya, kini pandangannya tertuju pada sebuah pohon muda yang tidak terlalu tinggi. Kini yang tersisa hanyalah beberapa helai daun di rantingnya yang rapuh. Di tengah batangnya, terdapat sebuah goresan kecil berukirkan dua buah nama dengan sebuah gambar hati yang diukir dengan sebilah pisau tajam.
Marsha tersenyum kaku, lalu pandangannya pun beralih pada langit biru berhiaskan matahari cerah. Awan-awan tebal bergerak mengelilinginya. Burung-burung kecil terbang beriringan menyusuri langit.
Baju putih birunya kini terlihat kusam akibat terkena tanah. Ia tak peduli, ia melepaskan dasi biru yang membuatnya merasa seperti tercekik lalu melemparnya entah kemana. Pandangannya meredup, tatapannya kosong. Sejurus kemudian, ia meraih buku catatan kecil serta pulpen miliknya. Lalu, mulai merangkai sebuah kata pada selembar kertas yang ia robek dari buku catatan itu.
Marsha menghela nafas berat, ia membaca ulang tulisannya. Setelah itu, ia mengambil amplop berwarna biru tua yang ujungnya sudah dilubangi dan diberi tali. Ia memasukan selembar kertas itu ke dalam amplop. Lalu, ia beranjak dari duduknya dan melangkah ragu ke arah pohon. Puluhan amplop beragam warna menghiasi ranting-rantingnya yang hanya ditumbuhi beberapa helai daun. Marsha pun kemudian mengikat amplop biru itu pada salah satu dahan yang kosong. Amplop-amplop kecil berwarna-warni itu berisikan harapannya. Harapan yang selalu sama.
“Aku harap kita dapat segera bertemu, Rafli. Di tempat ini kita berpisah, maka di tempat ini juga kita harus kembali bertemu..” gumamnya. Ia kembali menatap ke arah langit berwarna biru muda, berhiaskan gumpalan-gumpalan kapas putih.
Marsha kembali duduk bergeming. Rambut ikal nya dibiarkannya berkibar anggun diterpa angin. Sebentar lagi ia akan resmi lulus dan merubah statusnya menjadi seorang murid SMA. Baju putih birunya akan tergantikan oleh baju putih abu-abu yang akan menemaninya selama tiga tahun ke depan. Marsha menghela nafas berat—lagi. Ia melirik ke arah jam tangan digital berwarna biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pukul 17.00 sore.
Tiga puluh menit lagi, 1800 detik lagi. Adalah tepat waktu dimana ia berpisah dengan Rafli di tempat ini. Marsha bersenandung kecil, menyanyikan lagu yang ia ciptakan bersama Rafli dua tahun silam di tempat indah ini. Bukit belakang sekolah.
Biasanya, dulu setiap pulang sekolah mereka akan pergi ke bukit belakang sekolah. Rafli akan membawa gitar kesayangannya, sedangkan Marsha membawa biola putih susu miliknya. Rafli akan menyanyikan lagu-lagu favoritnya, lalu sebagai penutup Marsha akan membawakan sebuah lagu klasik yang indah. Ia biasa memainkannya saat musim gugur. Memainkan biolanya dengan anggun, membiarkan angin-angin kecil menerpa tubuhnya, dengan latar dedaunan yang terbang menari-nari diterpa angin.
Marsha melirik ke arah tas berisikan biola kesayangannya. Tak seperti musim gugur sebelumnya, Marsha merasa malas untuk memainkannya. Bahkan untuk sekedar menyentuhnya pun ada sesuatu yang membebani perasaannya.
Setelah berfikir keras, Marsha pun meraih tas itu lalu membukanya. Biola putih seputih susu itu kini menghasilkan simpul sederhana di bibir Marsha. Ia memosisikan biolanya pada tempat yang tepat, lalu mulai memainkannya dengan anggun. Sebuah lagu klasik yang menjadi favoritnya dengan Rafli. Lagu yang selalu membuat Rafli memintanya untuk terus memainkannya, mengulangnya, dan tak diperbolehkannya untuk berhenti.
Mungkin, dengan cara ini Marsha dapat menceritakan kisah hidupnya pada dunia. Menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Kilauan mutiara mulai muncul dari balik manik matanya. Ia memejamkan matanya sesaat.
“Permainanmu masih seperti dulu, ya..” Marsha menghentikan permainannya. Ia menoleh, kedua matanya memicing menatap tajam ke arah pemuda berkulit cokelat di hadapannya. Topi serta poninya yang panjang membuat Marsha sulit untuk mengenalinya. Hanya saja, suaranya terdengar familiar. Sejurus kemudian, pemuda itu membuka topinya dan membalas tatapan Marsha. Tatapannya teduh, masih sama seperti tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Marsha mengalihkan pandangannya pada jam tangan miliknya, tepat pukul 17.30 sore. Ia tercekat. Pemuda itu benar-benar memenuhi janjinya.
“Lanjutkan permainanmu, kumohon?” pintanya. Marsha hanya tersenyum kaku. Dengan ragu, ia pun mulai memainkan biolanya kembali. Melanjutkan permainannya yang sempat terhenti.
Pemuda itu duduk di samping pohon tanpa daun yang kini dihiasi amplop berwarna-warni itu. Pandangannya terarah pada Marsha. Indra pendengarannya mendengarkan dengan fokus alunan musik klasik yang dimainkan gadis itu. Akhirnya, gadis itu menutup penampilannya. Lalu membusungkan dadanya—seperti biasa saat ia selesai tampil di hadapan Rafli.
“Perpisahan kita dihiasi lagu ini, masih ingat kan? Dan akhirnya lagu ini juga yang menjadi lagu pertemuan kita..” ia bertepuk tangan, lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Marsha yang masih bergeming.
“Aku merindukanmu..” Rafli menarik tubuh Marsha dan mendekapnya erat-erat. Marsha masih tetap bergeming. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Lidahnya terasa kelu.
“Bodoh! Kau selalu mengabaikan pesan-pesan dariku. Menolak panggilanku, tak pernah membalas suratku, dan juga email dariku!” Marsha memukul pelan dada Rafli.
“Aku setiap hari selalu pergi ke tempat ini, untuk sekedar mengenang semuanya. Berusaha untuk menyembuhkan rasa rindu itu. Kukira kau sudah lupa padaku. Kukira kau sudah menemukan teman baru disana..” cerca Marsha, meluapkan seluruh emosinya yang selalu ia tahan selama ini.
“Maaf,” Rafli membasuh pucuk kepala Marsha yang kini menunduk.
“Aku tahu aku salah, aku terlalu sibuk untuk memberimu kabar. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri. Namun, aku melakukannya agar kita dapat cepat kembali bersama. Aku mengikuti kelas percepatan agar dapat kembali dengan cepat dan melanjutkan SMA disini..” ungkapnya.
“Dan sekarang, aku adalah kakak kelasmu! Jadi kau tidak akan bisa memberiku julukan yang tidak sopan lagi!” tambahnya. Ia terkekeh. Marsha kembali memukul pundak Rafli. Hal yang biasa dilakukannya tiap kali Rafli menggodanya.
“Dasar, sok tua..” sungutnya. Kini perhatian keduanya teralihkan pada pohon yang dipenuhi amplop berwarna-warni itu. Rafli menatapnya nanar.
“Apa itu?”
“Harapanku selama ini.. Mau lihat?” Rafli hanya mengangguk. Marsha pun segera melepas ikatan satu persatu amplop itu. Lalu, kembali menghampiri Rafli yang hanya diam seribu bahasa seraya memandanginya.
“Buka saja..” Marsha tersenyum, lalu mengajak Rafli untuk duduk di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rumput hijau. Dengan serius, serta dahi yang berkerut Rafli pun membuka satu-persatu amplop itu dan mengeluarkan isinya, lalu membacanya dalam diam.
“Semuanya sama..” gumam Rafli setelah menutup amplop terakhir yang baru selesai dibacanya.
“Aku harap kita dapat segera bertemu. Di tempat ini kita berpisah, maka di tempat ini juga kita harus kembali bertemu..” ujar keduanya bersamaan. Rafli tersenyum tipis, pandangannya masih terarah pada gadis manis di sampingnya.
“Aku menyukaimu..” ungkapnya. Marsha menoleh, ia memicingkan matanya. Menatap lekat-lekat pada kedua manik mata Rafli yang membulat sempurna. Pemuda itu menyunggingkan senyumannya. Manis.
“Ak..Aku juga,” sahut Marsha gugup. Semburat merah kini menghias wajahnya. Ia pun segera mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah layaknya kepiting rebus.
“Terimakasih sudah mau menungguku selama ini, aku benar-benar menyayangimu..” Rafli merangkul Marsha dengan tangan kirinya. Sementara pandangannya kini memandang ke arah langit berwarna jingga dengan matahari yang nyaris tenggelam di ufuk barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar