Jarum jam di pergelangan tanganku masih menunjukan angka setengah tujuh malam. Ini berarti masih tersisa waktu setengah jam lagi, waktu yang lebih dari cukup bagiku untuk mencapai tempat tujuan. Jalanan tidak terlalu macet meski hujan lumayan deras di petang ini. Taxi yang aku tumpangi berjalan tanpa hambatan, menelusuri jalanan yang berlubang yang kini tergenang air hujan. Terlambat sepertinya menjadi kata yang terpencil dari pikiranku.
Suara ringtone dari ponselku kembali terdengar. Segera kuambil ponsel dari saku dan kulihat dari layar LCD nomer milik siapa yang mengontakku ini.
“Yaaa…! Aku sudah di jalan Mentawai, dekat gerai ayam goreng amrik itu”, Jawabku sambil langsung menutup ponselku
Sejak siang hari, dia terus menerus mengontakku untuk menkorfirmasi kehadiranku di hari ulang tahunnya. Ya, hari ini memang hari ulang tahunnya, dia ingin merayakan hari spesialnya bersamaku di sebuah Kafe favoritnya. Kehadiranku di hari besarnya itu, sepertinya menjadi kado yang tak ternilai harganya, melebihi hari jadinya.
“Yaaa…! Aku sudah di jalan Mentawai, dekat gerai ayam goreng amrik itu”, Jawabku sambil langsung menutup ponselku
Sejak siang hari, dia terus menerus mengontakku untuk menkorfirmasi kehadiranku di hari ulang tahunnya. Ya, hari ini memang hari ulang tahunnya, dia ingin merayakan hari spesialnya bersamaku di sebuah Kafe favoritnya. Kehadiranku di hari besarnya itu, sepertinya menjadi kado yang tak ternilai harganya, melebihi hari jadinya.
Hujan mulai reda begitu kendaraan taxi yang aku tumpangi memasuki pintu masuk kafe itu. Suasana Kafe di petang hari ini cukup sepi. Hujan yang mengguyur sejak sore hari, membuat pengunjung Kafe yang biasanya ramai itu berkurang jauh, hanya beberapa meja saja yang terisi pengunjung.
Kafe itu memang termasuk salah satu kafe favorit yang paling disukai pengunjung di kota ini. Aku juga tidak tahu apa yang menyebabkan Kafe itu menjadi destinasi utama masyarakat kota ini untuk berkongkow-kongkow ria, menghabiskan sebagian waktunya untuk mengendurkan urat-urat syaraf mereka yang kaku akibat seharian dipaksa beraktifitas.
Tak ada sesuatu di tempat ini yang menurutku sangat istimewa. Mulai dari menu makanan yang ditawarkan semua serba standar Kafe, minuman yang sekali tiga uang dengan minuman-minuman yang ada di Kafe-Kafe lain di kota ini, demikian pula dengan performa live music sudah menjadi hal lumrah bagi pengunjung Kafe yang umunya berasal dari golongan anak muda, atau dewasa muda. Mungkin disain interior dari kafe ini yang agak sedikit berbeda, ditambah lokasinya yang strategis membuat banyak pengunjung tertarik mengunjunginya. Kafe ini menempati sebuah gedung jadul peninggalan kolonial dulu. Sang disainer Kafe ini mampu dengan apik memadukan unsur kejadulan kolonial dengan sentuhan modern kontemporer. Cukup unik atau malah amburadul melihat panel LCD moderen yang dipasang di dinding tembok bergaya art deco itu.
“Kendy!” Terdengar seseorang menyapaku. Cukup nyaring terdengar karena suasana Kafe yang agak sedikit sepi petang ini. Dia tampak melambai-lambaikan tangannya untuk mengarahkanku duduk di meja di mana dia berada.
Meja itu menempati sudut ruang kiri dari gedung Kafe. Hanya ada tiga meja di sudut ruangan ini, dan dia menjadi pengunjung satu-satunya. Suasana agak temeraman disini, sistem pencahayaan di ruang ini tidak terlalu segermerlap ruang di depan, semuanya tampak serba lembut. Nuansa jadul sepertinya lebih ditonjolkan dengan beberapa pernak-pernik kuno menempel di dindingnya.
“Mengapa kamu lama sekali sih? Aku benar-benar nyaris mati karena was-was, jangan-jangan kamu tidak datang,” Dia langsung berkata padaku begitu aku mulai menarik kursi di bawah meja. Wajahnya menunjukan sebuah kelegaan dan kegembiraan karena orang yang dinanti-nantikannya itu kini telah tiba di depannya.
“Sekarang jam berapa?” Aku malah balik bertanya.
“Jam tujuh kurang sepuluh.”
“Kita tadi sepakat, jam berapa kita bertemu?”
“Ah…! Kendy, aku tahu itu, tapi tetap saja aku nyaris mati bosan menunggu.”
Ku lihat dia begitu manjanya, tanganya memegang tangan kiriku, sementara matanya terus menatap mataku dengan bibir yang sejak melihatku tiba, tak hentinya memberi senyuman manis.
“Oh, hari ini kamu berulang tahun, ya?” Kataku.
“Terima kasih Kendy, kau satu-satunya pria yang selalu ingat akan hari HUT ku,” Dia tampak sekali gede rumasa, seakan-akan aku penuh perhatian padanya, padahal dia sendiri yang memberitahu aku lewat SMS yang dikirim kemarin bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“Sudah berapa lama kamu menghabiskan jatah hidupmu?”
“Kendy, kok ngomonya gitu sih! Emang aku pengidap kanker stadium empat setengah,” Jawabnya dengan bibir agak sedikit cemberut.
“Gitu aja kok marah, selamat deh atas hari jadimu ini. Ini ada kado mungil untukmu, jangan dilihat dari isinya, tapi dari lebel harganya he. he. he…” Kataku sambil merogoh sebuah kado kecil dari saku celanaku.
“Sekali lagi terimakasih, bagiku bukan isi dari kado mungil ini tapi kehadiranmu untuk menemaniku di hari ulang tahunku sudah menjadi hadiah yang terindah bagiku.”
“Kalau begitu aku ambil lagi saja kadonya, toh kamu hanya butuh kehadiranku saja.”
“Kamu…! Kaya gak tahu basa-basi saja, aku mau juga dong kadomu ini, boleh aku buka sekarang?”
“Jangan sekarang! Aku kan datang ke mari bukan untuk menontonmu membuka kadoku ini, tapi justru ingin tahu menu apa sih andalan Kafe ini, sehingga kamu keukeuh mengajakku ke tempat ini?”
“Astanaga… sorry aku lupa, kamu mau pesan apa?” Katanya sambil melambaikan tangan kepada pelayan kafe.
“Terserah, apa yang kamu pesan pasti aku makan.”
“Dari dulu kamu kok selalu terserah, pesan apa kek.”
“Sudah, samakan saja!”
Meja itu menempati sudut ruang kiri dari gedung Kafe. Hanya ada tiga meja di sudut ruangan ini, dan dia menjadi pengunjung satu-satunya. Suasana agak temeraman disini, sistem pencahayaan di ruang ini tidak terlalu segermerlap ruang di depan, semuanya tampak serba lembut. Nuansa jadul sepertinya lebih ditonjolkan dengan beberapa pernak-pernik kuno menempel di dindingnya.
“Mengapa kamu lama sekali sih? Aku benar-benar nyaris mati karena was-was, jangan-jangan kamu tidak datang,” Dia langsung berkata padaku begitu aku mulai menarik kursi di bawah meja. Wajahnya menunjukan sebuah kelegaan dan kegembiraan karena orang yang dinanti-nantikannya itu kini telah tiba di depannya.
“Sekarang jam berapa?” Aku malah balik bertanya.
“Jam tujuh kurang sepuluh.”
“Kita tadi sepakat, jam berapa kita bertemu?”
“Ah…! Kendy, aku tahu itu, tapi tetap saja aku nyaris mati bosan menunggu.”
Ku lihat dia begitu manjanya, tanganya memegang tangan kiriku, sementara matanya terus menatap mataku dengan bibir yang sejak melihatku tiba, tak hentinya memberi senyuman manis.
“Oh, hari ini kamu berulang tahun, ya?” Kataku.
“Terima kasih Kendy, kau satu-satunya pria yang selalu ingat akan hari HUT ku,” Dia tampak sekali gede rumasa, seakan-akan aku penuh perhatian padanya, padahal dia sendiri yang memberitahu aku lewat SMS yang dikirim kemarin bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“Sudah berapa lama kamu menghabiskan jatah hidupmu?”
“Kendy, kok ngomonya gitu sih! Emang aku pengidap kanker stadium empat setengah,” Jawabnya dengan bibir agak sedikit cemberut.
“Gitu aja kok marah, selamat deh atas hari jadimu ini. Ini ada kado mungil untukmu, jangan dilihat dari isinya, tapi dari lebel harganya he. he. he…” Kataku sambil merogoh sebuah kado kecil dari saku celanaku.
“Sekali lagi terimakasih, bagiku bukan isi dari kado mungil ini tapi kehadiranmu untuk menemaniku di hari ulang tahunku sudah menjadi hadiah yang terindah bagiku.”
“Kalau begitu aku ambil lagi saja kadonya, toh kamu hanya butuh kehadiranku saja.”
“Kamu…! Kaya gak tahu basa-basi saja, aku mau juga dong kadomu ini, boleh aku buka sekarang?”
“Jangan sekarang! Aku kan datang ke mari bukan untuk menontonmu membuka kadoku ini, tapi justru ingin tahu menu apa sih andalan Kafe ini, sehingga kamu keukeuh mengajakku ke tempat ini?”
“Astanaga… sorry aku lupa, kamu mau pesan apa?” Katanya sambil melambaikan tangan kepada pelayan kafe.
“Terserah, apa yang kamu pesan pasti aku makan.”
“Dari dulu kamu kok selalu terserah, pesan apa kek.”
“Sudah, samakan saja!”
Dia membuka-buka daftar menu yang sedari tadi ada di atas meja, kemudian ditulisnya di secarik kertas pemesanan yang memang sudah tersedia, segera diserahkannya kertas itu kepada pelayan kafe yang sudah berdiri di samping meja.
“Ingat, gak pake lama! Saya penderita alergi menunggu,” Perintahnya kepada pelayan kafe itu. Pelayan kafe itu hanya tertawa saja sambil bergegas ke ruang dapur.
“Ingat, gak pake lama! Saya penderita alergi menunggu,” Perintahnya kepada pelayan kafe itu. Pelayan kafe itu hanya tertawa saja sambil bergegas ke ruang dapur.
Kembali dia menatap aku lagi, wajahnya begitu sumringah. Kami memang sudah lama tidak bertemu, dia tampak begitu merindukan saat-saat seperti ini.
“Kendy, kenapa sih kamu akhir-akhir ini begitu sulit aku hubungi, kamu kok seperti ingin menjauh dariku, telepon tak pernah dijawab, SMS tak pernah kau balas, dan kamu jarang ada di tempat kostmu?” Dia bertanya padaku.
“Aku sibuk, pekerjaanku memang menuntutku untuk sering keluar kota, jadi memang aku jarang ada di tempat kost.”
“Tapi kamu bukan berniat untuk menjauh dari aku kan?”
“Kan, sudah kubilang pekerjaanku sangat menyita waktuku.”
“Iya aku mengerti itu, tapi bisakan kamu menyisihkan waktu sedikit untuk meneleponku, atau mengirim SMS bukan?”
Dia sepertinya kecewa padaku karena sudah tiga bulan ini aku tak pernah menghubunginya. Ya, aku memang sengaja untuk mencoba menjauhinya sedikit demi sedikit.
“Kendy, kenapa sih kamu akhir-akhir ini begitu sulit aku hubungi, kamu kok seperti ingin menjauh dariku, telepon tak pernah dijawab, SMS tak pernah kau balas, dan kamu jarang ada di tempat kostmu?” Dia bertanya padaku.
“Aku sibuk, pekerjaanku memang menuntutku untuk sering keluar kota, jadi memang aku jarang ada di tempat kost.”
“Tapi kamu bukan berniat untuk menjauh dari aku kan?”
“Kan, sudah kubilang pekerjaanku sangat menyita waktuku.”
“Iya aku mengerti itu, tapi bisakan kamu menyisihkan waktu sedikit untuk meneleponku, atau mengirim SMS bukan?”
Dia sepertinya kecewa padaku karena sudah tiga bulan ini aku tak pernah menghubunginya. Ya, aku memang sengaja untuk mencoba menjauhinya sedikit demi sedikit.
Dulu memang sewaktu kami sama-sama berstatus mahasiswa, kami berdua begitu dekat. Aku akui, dulu aku memang berhutang budi padanya. Sebagai seorang mahasiswa yang berlatar belakang keluarga dengan ekonomi pas-pasan, aku sangat kerepotan dalam menyelesaikan kuliahku. Mulai dari uang kiriman orang tua yang sering terlambat dengan nominal yang kurang, buku-buku perkuliahan yang tak mampu kubeli, sampai kegiatan-kegiatan kampus yang wajib aku ikuti yang tentu saja itu semua membutuhkan biaya. Dialah yang menjadi dewa penyelamatku. Pokoknya apapun yang aku butuhkan, dia pasti bersedia menolongku. Namun lama-lama aku merasa ada udang di balik batu dari kebaikan dan kedekatan dia kepadaku.
“Aku sengaja menghadiri hari ulang tahunmu dengan mengorbankan waktu lemburku, inikah yang kau sebut mulai jauh darimu?”
“Terima kasih kamu sudah mau berbagi waktu untuk menemaniku di sini, tapi ada satu hal yang kusampaikan padamu?” Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang begitu lama dipendam di dalam dasar hati.
“Apa itu, katakan saja mumpung aku ada disini.”
“Kendy, sudah berapa lama kita saling mengenal?”
“Sudah lebih dari lima tahun, kenapa kau tanyakan itu?” Jawabku sekaligus bertanya mengapa dia menanyakan lamanya perkenalan antara dia dan aku.
“Bagaimana menurutmu sosok aku di matamu? tolong dijawab dengan sejujurnya!”, Dia kembali bertanya dengan setengah mendesak.
“Bagiku kau orang paling dermawan yang pernah ku kenal selama ini, kau sahabatku yang yang selalu bersedia menolongku kapanpun aku butuhkan”, Jawabku.
“Hanya sahabat?” Tanyanya lagi dengan wajah yang mendadak sekali penuh dengan kekecewaan.
Aku diam saja, karena menyadari ucapanku bakal membuat kecewa berat hatinya.
“Kendy, engkau satu-satunya pria yang selalu ku undang untuk menemaniku dan merayakan hari jadiku. Tidakkah engkau merasakan, mengapa hanya kamu dan tidak ada orang lain?” Tanya dirinya dengan mimik wajah yang serius
“Kalau boleh aku tahu, mengapa?”
“Karena kamu begitu spesial di hatiku.” Jawabnya.
Kedua tanganku tiba-tiba ia pegang erat-erat, seakan-akan takut kalau aku hendak beranjak pergi meninggalkannya.
“Aku mencintaimu, Kendy.”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya membuat aku tertegun. Yang aku khawatirkan selama ini akhirnya terjadi juga, temanku yang selama ini begitu baik denganku ternyata benar jatuh hati padaku. Tapi aku masih tak menyangka kalau ia berani secara terus terang mengungkapkan perasaannya langsung padaku tepat di hari jadinya ini.
“Sejak kapan kau mulai jatuh cinta padaku?”
“Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, kau selalu ada dalam bayang-bayangku, Kendy. Aku pun tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.”
“Jadi itu sebabnya kau selalu baik padaku, dan selalu menawarkan jasa pertolongan padaku selama ini.”
“Bukan Kendy, aku selama ini suka menolongmu bukan karena ingin mengharap kau membalasnya, tapi sungguh, percayalah padaku Kendy! Aku tulus menolongmu.” Jawabnya seolah menampik kebaikannya selama ini padaku karena ada maunya.
“Aku tak mungkin membalas cintamu, Maafkan aku!” Tegasku sambil melepaskan kedua tanganku dari genggaman kedua tangannya.
“Kendy…!” Dia berteriak seakan tak percaya aku menolak cintanya.
“Sekali lagi, aku minta maaf, aku tidak bisa mencintaimu.”
Tampak air mata mulai berlinang di kedua bola matanya, sebenarnya aku benar-benar merasa kasihan melihatnya, apalagi dia begitu baik padaku selama ini. Aku tahu kalimat tegas dariku tadi membuatnya kecewa dan sakit hati sekali, tapi sekali lagi aku memang harus melakukannya.
“Kendy, mengapa kamu tak mencintaiku, apa ada seseorang di hatimu sekarang? kamu selalu bilang bahwa selama ini belum ada satupun yang mengisi hatimu, tidakkah aku pantas mengisi hatimu?” Dia kembali mengiba padaku seakan aku masih bersedia menerima cintanya.
“Aku masih sendiri saja, tak ada seorang pun yang mengisi relung hatiku.”
“Lalu kenapa hatimu tertutup untukku, aku tulus mencintaimu Kendy, aku ingin kau menjadi pendamping hidupku Kendy, aku tak bisa hidup tanpa kehadiranmu di sisiku Kenndy.” Dia kembali memegang kedua tanganku, matanya mulai lembam oleh genangan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
“Aku tidak mencintaimu, dan tak mungkin menjadi teman hidupmu, terimalah realita ini!” Kataku dengan nada suara agak sedikit tinggi sambil melepaskan tanganku dari genggamannya dengan agak kasar.
“Kamu kejam Kendy! Kamu pria tak berperasaan, kamu campakkan aku begitu saja seolah aku ini bukan siapa-siapa kamu. Ingat hubungan kita yang begitu dekat selama lima tahun ini, apakah kamu lupa?”
“Maafkan aku, sejak dulu aku takut kejadian ini terjadi, kau merusak persahabatan kita.”
“Kendy, aku minta kamu jujur padaku sekali lagi! Beri alasan mengapa kamu menolak cintaku! Apakah aku manusia yang tak menarik di hadapanmu? Apakah aku manusia paling buruk di hadapanmu? Katakan Kendy! Katakan!” Dia kali ini berdiri, dengan wajah yang mulai menunjukan amarah padaku.
“Lebih baik aku pulang saja, maafkan aku sekali lagi!” Kataku sambil berdiri dan membalikan badan untuk melangkah menuju pintu keluar.
Namun langkahku ini tersendat, dia memegang tanganku kuat-kuat.
“Kendy jangan pergi! Tolong katakan mengapa kamu mencampakkan cintaku?” Teriak dia sambil berusaha menarikku kembali untuk duduk di meja kafe.
Kini kami berdua menjadi pusat perhatian para pelayan cafe, bahkan pelayan cafe yang membawa baki makanan pesanan kami tadi, hanya berdiri saja. Sepertinya pelayan itu ragu dan bingung untuk meletakan menu makanan pesanan kami tadi di atas meja. Mungkin karena melihat kami yang tadi duduk manis bersama, kini seperti suami istri yang sedang bertengkar dengan suara yang keras, dan berlinang air mata.
“Kamu tahu mengapa aku tidak mungkin membalas cintamu?” Kataku padanya.
Aku sudah ingin segera meninggalkan kafe ini karena malu dilihat para pelayan itu, apalagi dia seperti mulai histeris. Kepalang basah bagiku untuk segera mengakhiri kedekatan hubungan kami berdua mesti tentu saja akan menyakiti dirinya.
“Katakan saja segera, aku ingin tahu!” Jawabnya penuh dengan rasa penasaran.
“Aku tidak bisa mencintaimu bukan karena aku membencimu, atau kamu adalah seburuk-buruknya orang. Tapi aku tidak mencintaimu, karena kamu seorang… COWOK!”
“Terima kasih kamu sudah mau berbagi waktu untuk menemaniku di sini, tapi ada satu hal yang kusampaikan padamu?” Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang begitu lama dipendam di dalam dasar hati.
“Apa itu, katakan saja mumpung aku ada disini.”
“Kendy, sudah berapa lama kita saling mengenal?”
“Sudah lebih dari lima tahun, kenapa kau tanyakan itu?” Jawabku sekaligus bertanya mengapa dia menanyakan lamanya perkenalan antara dia dan aku.
“Bagaimana menurutmu sosok aku di matamu? tolong dijawab dengan sejujurnya!”, Dia kembali bertanya dengan setengah mendesak.
“Bagiku kau orang paling dermawan yang pernah ku kenal selama ini, kau sahabatku yang yang selalu bersedia menolongku kapanpun aku butuhkan”, Jawabku.
“Hanya sahabat?” Tanyanya lagi dengan wajah yang mendadak sekali penuh dengan kekecewaan.
Aku diam saja, karena menyadari ucapanku bakal membuat kecewa berat hatinya.
“Kendy, engkau satu-satunya pria yang selalu ku undang untuk menemaniku dan merayakan hari jadiku. Tidakkah engkau merasakan, mengapa hanya kamu dan tidak ada orang lain?” Tanya dirinya dengan mimik wajah yang serius
“Kalau boleh aku tahu, mengapa?”
“Karena kamu begitu spesial di hatiku.” Jawabnya.
Kedua tanganku tiba-tiba ia pegang erat-erat, seakan-akan takut kalau aku hendak beranjak pergi meninggalkannya.
“Aku mencintaimu, Kendy.”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya membuat aku tertegun. Yang aku khawatirkan selama ini akhirnya terjadi juga, temanku yang selama ini begitu baik denganku ternyata benar jatuh hati padaku. Tapi aku masih tak menyangka kalau ia berani secara terus terang mengungkapkan perasaannya langsung padaku tepat di hari jadinya ini.
“Sejak kapan kau mulai jatuh cinta padaku?”
“Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, kau selalu ada dalam bayang-bayangku, Kendy. Aku pun tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.”
“Jadi itu sebabnya kau selalu baik padaku, dan selalu menawarkan jasa pertolongan padaku selama ini.”
“Bukan Kendy, aku selama ini suka menolongmu bukan karena ingin mengharap kau membalasnya, tapi sungguh, percayalah padaku Kendy! Aku tulus menolongmu.” Jawabnya seolah menampik kebaikannya selama ini padaku karena ada maunya.
“Aku tak mungkin membalas cintamu, Maafkan aku!” Tegasku sambil melepaskan kedua tanganku dari genggaman kedua tangannya.
“Kendy…!” Dia berteriak seakan tak percaya aku menolak cintanya.
“Sekali lagi, aku minta maaf, aku tidak bisa mencintaimu.”
Tampak air mata mulai berlinang di kedua bola matanya, sebenarnya aku benar-benar merasa kasihan melihatnya, apalagi dia begitu baik padaku selama ini. Aku tahu kalimat tegas dariku tadi membuatnya kecewa dan sakit hati sekali, tapi sekali lagi aku memang harus melakukannya.
“Kendy, mengapa kamu tak mencintaiku, apa ada seseorang di hatimu sekarang? kamu selalu bilang bahwa selama ini belum ada satupun yang mengisi hatimu, tidakkah aku pantas mengisi hatimu?” Dia kembali mengiba padaku seakan aku masih bersedia menerima cintanya.
“Aku masih sendiri saja, tak ada seorang pun yang mengisi relung hatiku.”
“Lalu kenapa hatimu tertutup untukku, aku tulus mencintaimu Kendy, aku ingin kau menjadi pendamping hidupku Kendy, aku tak bisa hidup tanpa kehadiranmu di sisiku Kenndy.” Dia kembali memegang kedua tanganku, matanya mulai lembam oleh genangan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
“Aku tidak mencintaimu, dan tak mungkin menjadi teman hidupmu, terimalah realita ini!” Kataku dengan nada suara agak sedikit tinggi sambil melepaskan tanganku dari genggamannya dengan agak kasar.
“Kamu kejam Kendy! Kamu pria tak berperasaan, kamu campakkan aku begitu saja seolah aku ini bukan siapa-siapa kamu. Ingat hubungan kita yang begitu dekat selama lima tahun ini, apakah kamu lupa?”
“Maafkan aku, sejak dulu aku takut kejadian ini terjadi, kau merusak persahabatan kita.”
“Kendy, aku minta kamu jujur padaku sekali lagi! Beri alasan mengapa kamu menolak cintaku! Apakah aku manusia yang tak menarik di hadapanmu? Apakah aku manusia paling buruk di hadapanmu? Katakan Kendy! Katakan!” Dia kali ini berdiri, dengan wajah yang mulai menunjukan amarah padaku.
“Lebih baik aku pulang saja, maafkan aku sekali lagi!” Kataku sambil berdiri dan membalikan badan untuk melangkah menuju pintu keluar.
Namun langkahku ini tersendat, dia memegang tanganku kuat-kuat.
“Kendy jangan pergi! Tolong katakan mengapa kamu mencampakkan cintaku?” Teriak dia sambil berusaha menarikku kembali untuk duduk di meja kafe.
Kini kami berdua menjadi pusat perhatian para pelayan cafe, bahkan pelayan cafe yang membawa baki makanan pesanan kami tadi, hanya berdiri saja. Sepertinya pelayan itu ragu dan bingung untuk meletakan menu makanan pesanan kami tadi di atas meja. Mungkin karena melihat kami yang tadi duduk manis bersama, kini seperti suami istri yang sedang bertengkar dengan suara yang keras, dan berlinang air mata.
“Kamu tahu mengapa aku tidak mungkin membalas cintamu?” Kataku padanya.
Aku sudah ingin segera meninggalkan kafe ini karena malu dilihat para pelayan itu, apalagi dia seperti mulai histeris. Kepalang basah bagiku untuk segera mengakhiri kedekatan hubungan kami berdua mesti tentu saja akan menyakiti dirinya.
“Katakan saja segera, aku ingin tahu!” Jawabnya penuh dengan rasa penasaran.
“Aku tidak bisa mencintaimu bukan karena aku membencimu, atau kamu adalah seburuk-buruknya orang. Tapi aku tidak mencintaimu, karena kamu seorang… COWOK!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar