“Aku tahu, Move On itu memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi, asalkan kau memiliki niat yang kuat. Aku yakin kamu pasti berhasil..” – Ana
Abby mengetukan jari-jarinya pada meja kayu berhiaskan goresan-goresan pena, membentuk rangkaian kata yang lebih cocok disebut contekan. Pagi itu Guru Matematika masih sibuk berkoar di depan kelas, menjelaskan materi tentang lingkaran yang mampu membuat kepala pecah. Lingkaran yang anak TK pun dapat membuat, tapi mengapa memiliki beragam rumus yang aneh-aneh. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan di buku paket yang super ribet. Tak bisakah mereka membuat soal yang langsung masuk ke dalam inti? Tak perlu kesana kemari sebelum menjelaskan inti soal itu. Berkali-kali pandangannya melirik ke arah jam dinding di depan kelas, tepat di atas papan tulis putih berbingkai cokelat yang kini penuh dengan beragam angka nol sampai sembilan yang terangkai tak beraturan.
“Baik, sampai disini dulu pertemuan kita. Jangan lupa untuk menyelesaikan soal-soal tadi..” Beliau pun akhirnya menutup jam pelajarannya, tepat sedetik setelah bel istirahat berbunyi. Abby menghela nafas berat. Ia pun bergegas merapikan buku-buku matematikanya yang berserakan di atas meja kayu.
Sementara itu, sahabatnya yang lain sudah melenggang keluar dari kelas, menuju ruangan extra masing-masing. Kini kelas telah kosong, hanya papan berisikan angka-angka yang menemaninya. Ia mengeluarkan buku sketsa miliknya. Buku yang penuh dengan goresan pensil membentuk goresan-goresan wajah manusia. Indah. Kedua alis tebalnya, kedua matanya yang memandang entah kemana, serta senyuman lebarnya. Abby tersentak saat menyadari jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas siang. Hari ini, kelasnya akan melawan kelas sebelah dalam pertandingan sepak bola. Ia pun bergegas memasukan buku sketsa miliknya ke dalam tas, lalu melenggang pergi menuju lapangan sepak bola.
Sementara itu, sahabatnya yang lain sudah melenggang keluar dari kelas, menuju ruangan extra masing-masing. Kini kelas telah kosong, hanya papan berisikan angka-angka yang menemaninya. Ia mengeluarkan buku sketsa miliknya. Buku yang penuh dengan goresan pensil membentuk goresan-goresan wajah manusia. Indah. Kedua alis tebalnya, kedua matanya yang memandang entah kemana, serta senyuman lebarnya. Abby tersentak saat menyadari jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas siang. Hari ini, kelasnya akan melawan kelas sebelah dalam pertandingan sepak bola. Ia pun bergegas memasukan buku sketsa miliknya ke dalam tas, lalu melenggang pergi menuju lapangan sepak bola.
Siswa-siswi kelas 8C dan 8B kini memenuhi sepanjang sisi lapangan. Segerombolan murid dengan jaket varsity berwarna merah serta lengan putih dengan lambang 8C di dada kiri kini tengah menyebar di sisi kanan lapangan.
Ternyata pertandingan sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu, dan belum ada yang mencetak skor. Pertandingan berlangsung dengan sportif, berhiaskan sorakan-sorakan penyemangat dari penonton yang menyebar. Pandangan Abby tertuju pada sosok pemuda yang mirip dengan sosok dalam buku sketsanya. Peluh membasahi wajah putihnya yang diterpa cahaya matahari siang. Abby mengeluarkan kamera SLR miliknya, lalu mulai membidik objek itu.
“Yang difoto jangan cuman Adi, foto juga yang lain..” tegur Avi.
“Eh, aku hanya memotonya sedikit. Lagipula, ia pantas mendapat banyak sorotan. Ia kan jagoan kelas kita. Dia yang selalu membuat kelas kita memenangkan perlombaan antar kelas..” Avi hanya terkekeh. Abby mengabaikannya. Ia kembali membidik objek-objek dihadapannya.
“Hari ini tidak ada extra?” Abby hanya menggeleng. Ia masih sibuk membidik objek-objek dihadapannya.
Ternyata pertandingan sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu, dan belum ada yang mencetak skor. Pertandingan berlangsung dengan sportif, berhiaskan sorakan-sorakan penyemangat dari penonton yang menyebar. Pandangan Abby tertuju pada sosok pemuda yang mirip dengan sosok dalam buku sketsanya. Peluh membasahi wajah putihnya yang diterpa cahaya matahari siang. Abby mengeluarkan kamera SLR miliknya, lalu mulai membidik objek itu.
“Yang difoto jangan cuman Adi, foto juga yang lain..” tegur Avi.
“Eh, aku hanya memotonya sedikit. Lagipula, ia pantas mendapat banyak sorotan. Ia kan jagoan kelas kita. Dia yang selalu membuat kelas kita memenangkan perlombaan antar kelas..” Avi hanya terkekeh. Abby mengabaikannya. Ia kembali membidik objek-objek dihadapannya.
“Hari ini tidak ada extra?” Abby hanya menggeleng. Ia masih sibuk membidik objek-objek dihadapannya.
Pertandingan pun usai, 8C keluar sebagai pemenang dengan skor 4-2 dan akan mengikuti perlombaan final minggu depan, melawan kelas 9F.
Untuk merayakannya, seluruh murid kelas 8C memilih untuk membolos extra dan bergegas pergi ke Kafe Hijau dengan kendaraan masing-masing.
“Ayo, pesan-pesan saja! Hari ini kita yang traktir..” seru Adi sebagai perwakilan dari teman-teman tim sepak bolanya. Seluruhnya pun dengan semangat segera memesan makanannya masing-masing. Berbeda dengan Abby, ia lebih memilih untuk memesan segelas capuccino dan duduk menyendiri di sudut ruangan. Seperti biasanya, ia mengeluarkan SLR miliknya. Melihat-lihat foto-foto yang berhasil ia bidik. Tatapannya tertuju pada sebuah foto dimana Adi sedang berteriak senang setelah berhasil menembus gawang lawan.
Untuk merayakannya, seluruh murid kelas 8C memilih untuk membolos extra dan bergegas pergi ke Kafe Hijau dengan kendaraan masing-masing.
“Ayo, pesan-pesan saja! Hari ini kita yang traktir..” seru Adi sebagai perwakilan dari teman-teman tim sepak bolanya. Seluruhnya pun dengan semangat segera memesan makanannya masing-masing. Berbeda dengan Abby, ia lebih memilih untuk memesan segelas capuccino dan duduk menyendiri di sudut ruangan. Seperti biasanya, ia mengeluarkan SLR miliknya. Melihat-lihat foto-foto yang berhasil ia bidik. Tatapannya tertuju pada sebuah foto dimana Adi sedang berteriak senang setelah berhasil menembus gawang lawan.
“Hei, Abby. Kamu tidak memesan makanan?” Suara itu.. Abby mengangkat kepalanya. Seorang pemuda bertubuh tinggi kini berdiri di hadapannya. Getaran-getaran aneh mulai terasa pada tubuh Abby. Degup jantungnya berdetak lebih cepat.
“Aku ti..tidak lapar” sahutnya, lalu memalingkan wajahnya. Semburat merah kini menyelimuti wajah kuning langsatnya. Ia benar-benar tidak sanggup untuk menatap kedua manik mata milik Adi.
“Oh, boleh kulihat hasil foto-fotomu?” Abby hanya mengangguk. Ia menyerahkan SLR miliknya pada Adi yang tiba-tiba saja duduk di kursi yang ada di hadapannya. Kursi hampa itu kini diisi oleh Adi, pujaan hatinya. Abby hanya terdiam seribu bahasa. Ia lebih memilih untuk menyesap capuccinonya yang kini mulai dingin.
“Lihat ini! Wajahku benar-benar konyol!” Ia tertawa dengan kedua matanya yang fokus menatap ke arah layar SLR. Abby dapat menebak jika kini Adi sedang melihat fotonya saat akan mengoper bola, ekspresinya sungguh aneh dan menggelitik. Tiba-tiba, Adi mengarahkan lensa kamera itu, dan dengan cepat membidik wajah polos Abby.
“Apaansih! Aku tidak suka di foto..” tukas Abby kesal. Ia kembali menyesap capuccino miliknya yang kini hanya tersisa seperempat.
“Tidak suka? Tapi kamu cantik saat difoto,” gumamnya. Bibir Abby mengatup. Wajahnya memerah. Ia hanya menunduk.
“Terimakasih,”
“Aku ti..tidak lapar” sahutnya, lalu memalingkan wajahnya. Semburat merah kini menyelimuti wajah kuning langsatnya. Ia benar-benar tidak sanggup untuk menatap kedua manik mata milik Adi.
“Oh, boleh kulihat hasil foto-fotomu?” Abby hanya mengangguk. Ia menyerahkan SLR miliknya pada Adi yang tiba-tiba saja duduk di kursi yang ada di hadapannya. Kursi hampa itu kini diisi oleh Adi, pujaan hatinya. Abby hanya terdiam seribu bahasa. Ia lebih memilih untuk menyesap capuccinonya yang kini mulai dingin.
“Lihat ini! Wajahku benar-benar konyol!” Ia tertawa dengan kedua matanya yang fokus menatap ke arah layar SLR. Abby dapat menebak jika kini Adi sedang melihat fotonya saat akan mengoper bola, ekspresinya sungguh aneh dan menggelitik. Tiba-tiba, Adi mengarahkan lensa kamera itu, dan dengan cepat membidik wajah polos Abby.
“Apaansih! Aku tidak suka di foto..” tukas Abby kesal. Ia kembali menyesap capuccino miliknya yang kini hanya tersisa seperempat.
“Tidak suka? Tapi kamu cantik saat difoto,” gumamnya. Bibir Abby mengatup. Wajahnya memerah. Ia hanya menunduk.
“Terimakasih,”
Siswi baru itu mengalihkan perhatian murid seisi kelas. Kulitnya putih, rambut hitam panjang terurai, irisnya berwarna cokelat tua, serta sebuah simpul sederhana di bibirnya. Manis. Abby hanya tersenyum pada gadis itu. Ia sangat mengenalinya. Sahabat lamanya yang terpaksa pindah sekolah karena orang tuanya. Takdir memang memisahkan mereka, dan kini takdir juga yang mempertemukan keduanya kembali.
“Kamu bisa duduk, cukup banyak bangku kosong disini. Silahkan kamu memilih untuk duduk dimana..” Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. Tanpa ragu, kakinya melangkah pada bangku kosong, tepat di samping bangku milik Abby. Guru yang tadi mengantarnya pun melenggang pergi, kembali ke kantor guru.
“Kamu bisa duduk, cukup banyak bangku kosong disini. Silahkan kamu memilih untuk duduk dimana..” Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. Tanpa ragu, kakinya melangkah pada bangku kosong, tepat di samping bangku milik Abby. Guru yang tadi mengantarnya pun melenggang pergi, kembali ke kantor guru.
“Vina?” tegur Abby. Gadis itu kembali tersenyum.
“Hei, Abby! Akhirnya kita bertemu lagi. Aku merindukanmu. Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu. Aku benar-benar sudah menepati janji untuk kembali, kan?” serunya. Abby langsung memeluk Vina.
“Kamu cantik sekali,” puji Abby. Vina hanya tersipu. Tak lama, seorang pemuda dengan santainya memasuki kelas. Meski guru yang akan mengajar belum muncul, bel sudah berbunyi lima belas menit lamanya.
“Kau ini! Selalu saja telat! Hapus sendiri namamu di jurnal dan papan! Aku tidak urus lagi..” ujar Abel geram. Pemuda itu hanya menatapnya sekilas, ia pun mengambil penghapus papan dan menghapus namanya sendiri. Lalu meraih spidol hitam dan mencoret namanya yang tertera di jurnal. Ia pun kembali berjalan menuju bangkunya.
“Vina?” Adi berhenti di sebelah Vina. Tatapannya meredup.
“Ha.. Hai Adi..” balas Vina canggung. Adi menggelengkan kepalanya cepat, ia tersenyum kaku, lalu kembali berjalan menuju bangkunya yang tepat di seberang bangku Vina. Abby hanya mengangkat ujung sebelah alisnya, bingung dengan apa yang barusan terjadi. Namun, ia tak mau ambil pusing. Ia pun kembali sibuk menyelesaikan—lebih tepatnya menyontek—PR Fisika miliknya.
“Hei, Abby! Akhirnya kita bertemu lagi. Aku merindukanmu. Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu. Aku benar-benar sudah menepati janji untuk kembali, kan?” serunya. Abby langsung memeluk Vina.
“Kamu cantik sekali,” puji Abby. Vina hanya tersipu. Tak lama, seorang pemuda dengan santainya memasuki kelas. Meski guru yang akan mengajar belum muncul, bel sudah berbunyi lima belas menit lamanya.
“Kau ini! Selalu saja telat! Hapus sendiri namamu di jurnal dan papan! Aku tidak urus lagi..” ujar Abel geram. Pemuda itu hanya menatapnya sekilas, ia pun mengambil penghapus papan dan menghapus namanya sendiri. Lalu meraih spidol hitam dan mencoret namanya yang tertera di jurnal. Ia pun kembali berjalan menuju bangkunya.
“Vina?” Adi berhenti di sebelah Vina. Tatapannya meredup.
“Ha.. Hai Adi..” balas Vina canggung. Adi menggelengkan kepalanya cepat, ia tersenyum kaku, lalu kembali berjalan menuju bangkunya yang tepat di seberang bangku Vina. Abby hanya mengangkat ujung sebelah alisnya, bingung dengan apa yang barusan terjadi. Namun, ia tak mau ambil pusing. Ia pun kembali sibuk menyelesaikan—lebih tepatnya menyontek—PR Fisika miliknya.
Hari ini Abby dan Adi pergi ke studio foto untuk mencetak foto-foto pilihan mereka yang berhasil Abby bidik saat pertandingan bola tiga hari yang lalu. Keduanya hanya terdiam selama menunggu hingga fotonya jadi. Mereka duduk pada deretan kursi kosong yang ada pada sisi kanan ruangan. Tempat itu tampak ramai pengunjung siang ini.
“Kamu kenal Vina?” tanya Abby canggung. Ia benar-benar sudah tidak dapat mengontrol keingin tahuannya tentang Vina dan Adi. Hal itu sudah merasuki fikirannya sejak kemarin sepulang sekolah, tepat setelah melihat Vina dan Adi pulang sekolah bersama.
“Dia..” Adi menggantungkan kalimatnya. Ia meneguk salivanya sendiri. Wajahnya kini menunduk, dan tatapannya kembali redup.
“Cinta pertamaku,” lanjutnya. Bagaikan disambar petir berkekuatan tinggi, bagaikan dihujami ribuan jarum yang tepat mengarah pada ulu hatinya. Nafasnya tercekat. Vina. Seorang gadis yang merupakan sahabat kecilnya ternyata adalah cinta pertama dari pujaan hatinya. Dan dari tatapan Adi, Abby sudah dapat menyimpulkan bahwa Adi masih menyimpan rasa itu untuk Vina.
Kini keheningan kembali menyelimuti keduanya. Adi sibuk menerawang jauh, mengingat masa lalunya saat bersama Vina. Sedangkan Abby hanya terdiam, rasa sakit itu masih menyelimuti tubuhnya.
“Kamu kenal Vina?” tanya Abby canggung. Ia benar-benar sudah tidak dapat mengontrol keingin tahuannya tentang Vina dan Adi. Hal itu sudah merasuki fikirannya sejak kemarin sepulang sekolah, tepat setelah melihat Vina dan Adi pulang sekolah bersama.
“Dia..” Adi menggantungkan kalimatnya. Ia meneguk salivanya sendiri. Wajahnya kini menunduk, dan tatapannya kembali redup.
“Cinta pertamaku,” lanjutnya. Bagaikan disambar petir berkekuatan tinggi, bagaikan dihujami ribuan jarum yang tepat mengarah pada ulu hatinya. Nafasnya tercekat. Vina. Seorang gadis yang merupakan sahabat kecilnya ternyata adalah cinta pertama dari pujaan hatinya. Dan dari tatapan Adi, Abby sudah dapat menyimpulkan bahwa Adi masih menyimpan rasa itu untuk Vina.
Kini keheningan kembali menyelimuti keduanya. Adi sibuk menerawang jauh, mengingat masa lalunya saat bersama Vina. Sedangkan Abby hanya terdiam, rasa sakit itu masih menyelimuti tubuhnya.
Tak lama, foto mereka pun selesai. Seusai membayar, Adi segera mengantar Abby pulang dengan mobil yang dikemudikan sopir pribadinya.
“Ini untukmu, terimakasih sudah mau membuat dokumentasi untuk perlombaan tiga hari yang lalu..” Adi menyerahkan sebuah amplop putih tipis. Tepat setelah Abby menerimanya, Adi pun kembali memasuki mobilnya. Setelah jarak mobil Adi dengan rumahnya sudah cukup jauh, Abby membuka amplop putih itu. Tiga buah foto berwarna muncul dari dalamnya. Foto yang dibidik Adi saat mereka sedang berada di kafe hijau. Abby tersenyum tipis.
“Ini untukmu, terimakasih sudah mau membuat dokumentasi untuk perlombaan tiga hari yang lalu..” Adi menyerahkan sebuah amplop putih tipis. Tepat setelah Abby menerimanya, Adi pun kembali memasuki mobilnya. Setelah jarak mobil Adi dengan rumahnya sudah cukup jauh, Abby membuka amplop putih itu. Tiga buah foto berwarna muncul dari dalamnya. Foto yang dibidik Adi saat mereka sedang berada di kafe hijau. Abby tersenyum tipis.
Akhir-akhir ini hubungan antara Abby dan Vina merenggang. Tidak seperti kebanyakan sahabat lama yang bertemu kembali, Abby lebih memilih untuk berkumpul bersama sahabat barunya. Sedangkan Vina akhirnya memilih untuk bermain dengan siswi lainnya.
Ini sudah satu minggunya Abby menjauh. Ia bahkan tak pernah bertegur sapa dengan Vina. Bukannya bersikap egois, tapi ia tak ingin rasa sakit itu terus menerus mendekam di dalam tubuhnya. Ia tak kuat untuk menahan rasa sakit yang terus menerus menyeruak tiap kali kedua matanya disuguhkan pemandangan antara Adi dan Vina.
Ini sudah satu minggunya Abby menjauh. Ia bahkan tak pernah bertegur sapa dengan Vina. Bukannya bersikap egois, tapi ia tak ingin rasa sakit itu terus menerus mendekam di dalam tubuhnya. Ia tak kuat untuk menahan rasa sakit yang terus menerus menyeruak tiap kali kedua matanya disuguhkan pemandangan antara Adi dan Vina.
“Biarkan saja Adi, masih banyak kan lelaki lain? Untuk apa kamu mempertahakan semuanya? Aku tidak bermaksud membuatmu berkecil hati, namun kurasa Adi hanya menyukai Vina. Ia menganggapmu sebagai sebatas teman. Buka matamu lebar-lebar, buka hatimu! Jangan terperangkap di masa lalu. Adi dan Vina hanya masa lalumu sekarang..” tutur Avi.
“Mungkin memang ada benarnya,” Abby menyeruput habis es jeruk miliknya. Kafetaria sekolah kini semakin sepi.
“Aku tahu, Move On itu memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi, asalkan kau memiliki niat yang kuat. Aku yakin kamu pasti berhasil..” tambah Ana . Abby hanya tersenyum tipis. Ia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
“Lebih baik kita ke kelas. Jika telat masuk, Guru Biologi itu akan memberikan kita jam tambahan!” seru Abby.
“Mungkin memang ada benarnya,” Abby menyeruput habis es jeruk miliknya. Kafetaria sekolah kini semakin sepi.
“Aku tahu, Move On itu memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi, asalkan kau memiliki niat yang kuat. Aku yakin kamu pasti berhasil..” tambah Ana . Abby hanya tersenyum tipis. Ia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
“Lebih baik kita ke kelas. Jika telat masuk, Guru Biologi itu akan memberikan kita jam tambahan!” seru Abby.
Abby bergeming. Lidahnya terasa kelu. Wajahnya memanas. Bulir-bulir air mata mulai menyeruak keluar dari kedua kelopak matanya. Kini seluruh murid kelas 8C sibuk memandangi Adi yang sedang menyatakan perasaannya pada Vina. Bahkan, jendela dan pintu kini dipenuhi oleh kepala-kepala dan berpasang-pasang mata yang mengintip ke arah mereka berdua. Vina mengangguk pasti. Senyumnya merekah.
“Abby,” Avi mengelus pundak sahabatnya yang mulai bergetar. Abby menggigit bibir bagian bawahnya. Berusaha menahan isakannya. Ia memang lemah. Dengan cepat, Abby pun berlari menuju toilet yang kini sepi. Ia masuk ke dalam sebuah bilik yang kosong, menguncinya rapat-rapat, lalu terduduk di atas kloset duduk yang ditutupnya.
Tangisannya pecah, memenuhi keheningan di dalam toilet yang sepi itu. Kini hanya terdengar isakannya. Rasa sakit itu kembali menyeruak memasuki tubuhnya.
“Abby, keluar ya.. Udah, jangan sedih. Masih ada kita disini. Percuma kamu menghabiskan air matamu hanya untuk lelaki seperti dia. Tidak ada gunanya!” Abel mengetuk berkali-kali pintu bilik yang terkunci itu.
“Jangan nangis, Abby. Kalau nanti matamu sembab, seisi kelas akan curiga!” tegur Adel asal. Sahabatnya yang lain langsung memandanginya dengan tatapan tajam.
“Abby,” Avi mengelus pundak sahabatnya yang mulai bergetar. Abby menggigit bibir bagian bawahnya. Berusaha menahan isakannya. Ia memang lemah. Dengan cepat, Abby pun berlari menuju toilet yang kini sepi. Ia masuk ke dalam sebuah bilik yang kosong, menguncinya rapat-rapat, lalu terduduk di atas kloset duduk yang ditutupnya.
Tangisannya pecah, memenuhi keheningan di dalam toilet yang sepi itu. Kini hanya terdengar isakannya. Rasa sakit itu kembali menyeruak memasuki tubuhnya.
“Abby, keluar ya.. Udah, jangan sedih. Masih ada kita disini. Percuma kamu menghabiskan air matamu hanya untuk lelaki seperti dia. Tidak ada gunanya!” Abel mengetuk berkali-kali pintu bilik yang terkunci itu.
“Jangan nangis, Abby. Kalau nanti matamu sembab, seisi kelas akan curiga!” tegur Adel asal. Sahabatnya yang lain langsung memandanginya dengan tatapan tajam.
Setelah cukup tenang, Abby pun membuka kuncil bilik itu, lalu keluar menghampiri sahabat-sahabatnya. Rambut hitam panjangnya kini berantakan, wajahnya penuh dengan sisa-sisa air mata, matanya sembab. Avi mengeluarkan sapu tangan miliknya, lalu menyerahkannya pada Abby.
Setelah merapikan penampilan Abby, mereka pun bergegas kembali ke dalam kelas. Puluhan murid yang ada di dalam kelas melemparkan tatapan heran pada Abby yang matanya memerah.
“Kamu kenapa, Abby?” tanya Vina. Nada bicaranya menggambarkan bahwa ia terlihat khawatir.
“Aku tidak apa-apa,” Abby tersenyum kaku. Ia pun kembali berjalan melewati Vina yang masih bergeming di tempatnya.
Setelah merapikan penampilan Abby, mereka pun bergegas kembali ke dalam kelas. Puluhan murid yang ada di dalam kelas melemparkan tatapan heran pada Abby yang matanya memerah.
“Kamu kenapa, Abby?” tanya Vina. Nada bicaranya menggambarkan bahwa ia terlihat khawatir.
“Aku tidak apa-apa,” Abby tersenyum kaku. Ia pun kembali berjalan melewati Vina yang masih bergeming di tempatnya.
Terlalu banyak air mata yang jatuh untuk Adi. Pemuda itu memang diciptakan bukan untuknya. Ini saatnya untuk Abby mundur dan membiarkannya bahagia dengan gadis pilihannya. Abby merapihkan seisi lemarinya, memasukan baju-baju dan barang-barangnya ke dalam koper dan kotak-kotak bekas berukuran besar. Abby memilih untuk pindah ke Bandung bersama orang tuanya. Kini pandangannya terarah pada deretan bingkai foto berisikan foto-foto Adi di setiap pertandingannya. Abby tersenyum tipis. Ia meraih semua foto itu, lalu dengan berat hati memasukan ke dalam kotak bertuliskan ‘barang bekas’ yang sebelumnya sudah ia siapkan. Barang-barang itu akan ia simpan di dalam loteng selama kepergiannya ke Bandung.
Terlintas di benak Abby, sebelum pergi ia harus menemui Adi terlebih dahulu. Ia tak ingin perasaannya terus menerus bersarang di dalam hatinya. Ia harus mengungkapkan semua itu agar tidak ada lagi yang membebani fikirannya. Dan setelah berhasil, ia akan berusaha sebisa mungkin untuk melupakan pemuda itu serta kenangan-kenangannya.
Hari itu hari Minggu, Abby sangat tahu dimana sosok Adi berada pada hari itu. Dengan langkah mantap, ia berlari menuju sebuah bangunan tua tebengkalai yang berada di belakang sekolah. Setiap Minggu, Adi selalu berada di atas gedung itu untuk merenung. Dengan semangat, Abby melangkahkan kakinya menaiki puluhan anak tangga yang menuju ke atas.
Benar saja, kini di hadapannya ada seorang pemuda yang sibuk membidik objek-objek di hadapannya. Kulit putihnya tampak bersinar diterpa teriknya sinar matahari pagi.
“Adi..” tegur Abby. Adi menoleh, lalu tersenyum sekilas.
“Ada apa? Tumben kau kesini..” Adi kembali sibuk membidik objek di hadapannya.
“Aku ingin berkata suatu hal yang penting..” jawab Abby yang kini duduk tepat di samping Adi.
“Bicara saja,”
“Aku menyukaimu..” ungkap Abby mantap. Adi bergeming. Ia meletakkan kameranya, lalu menatap Abby. Tatapannya terasa teduh. Lalu, sebuah simpul sederhana terlihat menghiasi bibirnya.
“Aku juga menyukaimu,” sahutnya. Abby mengernyitkan dahinya, kedua matanya menyipit.
“Tapi aku menyukaimu sebagai seorang teman. Aku menyayangimu sebagai seseorang yang selalu ada di sampingku, sebagai seorang sahabat..” lanjutnya. Abby hanya tersenyum kecut. Ia memandang ke arah langit biru pagi yang indah.
“Maafkan aku,” sambungnya lagi. Abby menggeleng pelan. Kini pandangannya tertuju pada segerombolan burung yang terbang di langit membentuk sebuah barisan.
“Tidak perlu, aku tahu kamu tidak akan pernah bisa membalas perasaanku. Aku hanya ingin mengungkapkan semua itu, aku sudah lelah untuk selalu memendamnya dalam-dalam. Setidaknya kini aku sudah lega karena telah berkata jujur padamu..” tukas Abby.
“Malam ini aku akan pindah ke Bandung. Aku harap kamu baik-baik ya dengan Vina..” Abby beranjak dari duduknya.
“Sekali lagi aku minta maaf..” Adi menarik Abby, lalu memeluknya. Sebuah pelukan yang hanya sebatas pelukan biasa untuk sahabat sebagai ungkapan perpisahan. Abby melepaskan pelukan itu, ia tersenyum kaku, lalu melenggang pergi meninggalkan Adi.
Hari itu hari Minggu, Abby sangat tahu dimana sosok Adi berada pada hari itu. Dengan langkah mantap, ia berlari menuju sebuah bangunan tua tebengkalai yang berada di belakang sekolah. Setiap Minggu, Adi selalu berada di atas gedung itu untuk merenung. Dengan semangat, Abby melangkahkan kakinya menaiki puluhan anak tangga yang menuju ke atas.
Benar saja, kini di hadapannya ada seorang pemuda yang sibuk membidik objek-objek di hadapannya. Kulit putihnya tampak bersinar diterpa teriknya sinar matahari pagi.
“Adi..” tegur Abby. Adi menoleh, lalu tersenyum sekilas.
“Ada apa? Tumben kau kesini..” Adi kembali sibuk membidik objek di hadapannya.
“Aku ingin berkata suatu hal yang penting..” jawab Abby yang kini duduk tepat di samping Adi.
“Bicara saja,”
“Aku menyukaimu..” ungkap Abby mantap. Adi bergeming. Ia meletakkan kameranya, lalu menatap Abby. Tatapannya terasa teduh. Lalu, sebuah simpul sederhana terlihat menghiasi bibirnya.
“Aku juga menyukaimu,” sahutnya. Abby mengernyitkan dahinya, kedua matanya menyipit.
“Tapi aku menyukaimu sebagai seorang teman. Aku menyayangimu sebagai seseorang yang selalu ada di sampingku, sebagai seorang sahabat..” lanjutnya. Abby hanya tersenyum kecut. Ia memandang ke arah langit biru pagi yang indah.
“Maafkan aku,” sambungnya lagi. Abby menggeleng pelan. Kini pandangannya tertuju pada segerombolan burung yang terbang di langit membentuk sebuah barisan.
“Tidak perlu, aku tahu kamu tidak akan pernah bisa membalas perasaanku. Aku hanya ingin mengungkapkan semua itu, aku sudah lelah untuk selalu memendamnya dalam-dalam. Setidaknya kini aku sudah lega karena telah berkata jujur padamu..” tukas Abby.
“Malam ini aku akan pindah ke Bandung. Aku harap kamu baik-baik ya dengan Vina..” Abby beranjak dari duduknya.
“Sekali lagi aku minta maaf..” Adi menarik Abby, lalu memeluknya. Sebuah pelukan yang hanya sebatas pelukan biasa untuk sahabat sebagai ungkapan perpisahan. Abby melepaskan pelukan itu, ia tersenyum kaku, lalu melenggang pergi meninggalkan Adi.
Abby bergegas membuka pintu rumahnya yang diketuk. Seketika ia terpana melihat sesosok pemuda di hadapannya. Kulitnya putih, tubuhnya beberapa centi lebih tinggi dari Abby, rambutnya berwarna hitam, bibir merahnya kini tersenyum dengan lesung pipi yang menghiasinya. Pemuda berdarah Korea-Indonesia itu kini menyerahkan sekotak bolu pada Abby.
“Aku Didi, ini dari Ibuku. Aku harap kita bisa berteman baik ya! Selamat datang di Bandung. Kalau mau, aku mau mengajakmu untuk berkeliling pergi ke tempat-tempat menarik..”
“Terimakasih, sungguh? Aku mau!” seru Abby. Kini rasanya Adi sudah tersingkirkan oleh pemuda di hadapannya ini. Pemuda yang mungkin adalah seseorang yang diciptakan Tuhan untuknya, dan pastinya akan lebih baik dari Adi.
“Aku Didi, ini dari Ibuku. Aku harap kita bisa berteman baik ya! Selamat datang di Bandung. Kalau mau, aku mau mengajakmu untuk berkeliling pergi ke tempat-tempat menarik..”
“Terimakasih, sungguh? Aku mau!” seru Abby. Kini rasanya Adi sudah tersingkirkan oleh pemuda di hadapannya ini. Pemuda yang mungkin adalah seseorang yang diciptakan Tuhan untuknya, dan pastinya akan lebih baik dari Adi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar