Cupid masih berbaring dengan tenang di salah satu dahan terbesar pohon tua, pohon tua di tengah ilalang kekuningan yang selalu menajdi tempat kesukaannya. Angin senja yang hangat masih setia membelai-belai pipinya, sembari meniupi ilalang kekuningan hingga menciptakan gerakan meliuk lembut yang menyejukkan mata. Cupid memandangi lembaran manuskrip tugas dengan warna putih gading di tangannya, kemudian tersenyum puas. Seribu nama sedang jatuh hati hari ini, tugasnya sempurna.
Namun kemudian keningnya berkerut. tinta keemasan mulai terangkai pudar setelah nama keseribu. Semakin jelas hingga sempurna membentuk sebuah nama.
“Auralia Azzahra” Cupid bergumam pelan.
Cupid mendesah, ada satu “Pecinta” tambahan lagi ternyata sore ini. Tidak biasanya ada tambahan nama di manuskrip tugasnya sesore ini. Lagi pula jarang sekali Ia menerima nama lebih dari seribu setiap harinya. Yah, mungkin saja untuk nama yang satu ini berbeda, fikirnya. Siapa yang tahu kapan seseorang akan merasakan jatuh cinta? Tidak ada. Begitu juga Cupid, dia hanya menerima kertas tugas, dan memanahkan panah cinta pada setiap hati yang tertulis nama di kertas tugasnya, itu saja. Tentang hati siapa yang akan dipanahnya, itu bukan urusannya. Ada tangan Maha Besar disana yang sudah mengaturnya.
“Auralia Azzahra” Cupid bergumam pelan.
Cupid mendesah, ada satu “Pecinta” tambahan lagi ternyata sore ini. Tidak biasanya ada tambahan nama di manuskrip tugasnya sesore ini. Lagi pula jarang sekali Ia menerima nama lebih dari seribu setiap harinya. Yah, mungkin saja untuk nama yang satu ini berbeda, fikirnya. Siapa yang tahu kapan seseorang akan merasakan jatuh cinta? Tidak ada. Begitu juga Cupid, dia hanya menerima kertas tugas, dan memanahkan panah cinta pada setiap hati yang tertulis nama di kertas tugasnya, itu saja. Tentang hati siapa yang akan dipanahnya, itu bukan urusannya. Ada tangan Maha Besar disana yang sudah mengaturnya.
Cupid berdiri dengan senyum lembut di ujung bibirnya. Merentangkan sayap putih keemasannya dan bersiap kembali ke bumi. Menemui klien terakhirnya hari ini.
Cupid kembali bertengger di dahan pohon. Kali ini dahan yang berukuran jauh lebih kecil dari dahan pohon tua yang biasa menjadi tempat peristirahatannya. Bukan lagi pohon tua di tengah-tengah padang ilalang yang kekuningan, kali ini pohon besar nan rindang ini berada di pelataran bangunan sebuah masjid. Cupid sempat heran sebelumnya tentang tempat yang sangat tidak biasanya seseorang akan mengalami jatuh cinta ini. Ah, tapi sekali lagi, tidak ada yang tahu kapan dan dimana seseorang akan merasakan jatuh cinta. Cupid tersenyum kecil, mengingat betapa besanya tangan Yang Maha Mengatur Hati itu bekerja dengan begitu sempurna, menjadikan setiap perasaan cinta jatuh dengan begitu indah, dimana pun tempatnya.
Masjid bernuansa biru dan abu-abu itu terlihat begitu megah dengan empat pilar besar di bagian depannya, dan sebuah menara tinggi dengan Toa besar terpasang pada empat sudutnya. Masjid itu terasa begitu asri. Pohon-pohon rimbun di pelataraanya menciptakan siluet-siluet senja bagi siapa saja yang lewat dibawahnya. Dari salah satu dahan pohon, Cupid bisa mendengar riuh suara anak-anak kecil dari dalam masjid. Kadang mereka bernyanyi, tertawa, atau bersama-sama melantunkan ayat-ayat-Nya. Cupid tertarik untuk melirik ke celah-celah jendela besar berukir di sepanjang sisi masjid. Mencoba mencari tahu siapa gerangan Hamba yang akan jatuh cinta sore ini.
Target Cupid selalu ditandai dengan lingkaran putih menyala di atas kepalanya. Kali ini cupid hanya bisa melihat lingkaran putih menyala itu tanpa menangkap wajah targetnya. Ukiran jendela masjid hanya menyisakan lubang-lubang kecil, di tambah dengan dedaunan pohon yang begitu rimbun menghalangi pandangannya. Akhirnya Cupid memilih untuk sabar menunggu hingga targetnya selesai dengan kesibukannya di dalam sana.
“Tumben sekali ada tambahan nama sesore ini.”
Cupid hampir saja jatuh karena terkejut ketika suara itu tiba-tiba muncul dan mengagetkannya. Di sampingnya sekarang laki-laki bersayap abu-abu itu melayang dengan tenanngnya tanpa rasa bersalah, matanya mengawang kedepan.
“Kapan kamu akan datang tanpa mengagetkan aku, Amor”
“Hah, aku mengagetkanmu? Lagi? Jika sudah sesering itu mungkin kamu yang harus mulai terbiasa dengan kehadiranku yang tiba-tiba ini, Cupid”
Cupid hampir saja jatuh karena terkejut ketika suara itu tiba-tiba muncul dan mengagetkannya. Di sampingnya sekarang laki-laki bersayap abu-abu itu melayang dengan tenanngnya tanpa rasa bersalah, matanya mengawang kedepan.
“Kapan kamu akan datang tanpa mengagetkan aku, Amor”
“Hah, aku mengagetkanmu? Lagi? Jika sudah sesering itu mungkin kamu yang harus mulai terbiasa dengan kehadiranku yang tiba-tiba ini, Cupid”
Cupid hanya menghela nafas kemudian menggeleng pelan. Melihat sahabatnya yang nyentrik itu mulai melayang perlahan dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Siapa nama wanita itu?” Amor bersuara
“Auralia Azzahra”
Amor mengangguk-angguk dengan mimik serius “Nama yang cantik. Aku berani bertaruh, wajahnya pasti secantik namanya”
Cupid hanya tersenyum kecil menanggapi kesoktahuan sahabatnya “Jadi, siapa nama lelaki yang beruntung jatuh hati pada wanita bernama cantik itu?” Ucapnya.
“Jonatan Diga Wiratama”
“Nama yang gagah”
“Tak akan lebih gagah dari aku, Cupid” Amor mengangkat pundaknya dengan gaya angkuh yang terlihat lucu di mata Cupid.
“Siapa nama wanita itu?” Amor bersuara
“Auralia Azzahra”
Amor mengangguk-angguk dengan mimik serius “Nama yang cantik. Aku berani bertaruh, wajahnya pasti secantik namanya”
Cupid hanya tersenyum kecil menanggapi kesoktahuan sahabatnya “Jadi, siapa nama lelaki yang beruntung jatuh hati pada wanita bernama cantik itu?” Ucapnya.
“Jonatan Diga Wiratama”
“Nama yang gagah”
“Tak akan lebih gagah dari aku, Cupid” Amor mengangkat pundaknya dengan gaya angkuh yang terlihat lucu di mata Cupid.
Cupid kembali menatap kearah pintu masjid ketika suara riuh yang tadi berasal dari dalam masjid membeludak keluar. Benar saja, segerombolan anak-anak kecil berhamburan mendesaki pintu masjid untuk keluar. Beberapa terlihat berlari girang. Sebagian yang lain hanya berjalan bergerombol dengan santai dan memenuhi perjalannannya dengan obrolan riang.
Mata Cupid mulai siaga mencari targetnya, seperti mata elang yang siap kapan saja menangkap mangsanya. Dari kejauhan dia melihat seorang wanita menggunakan jilbab lebar berwarna merah muda dengan lingkaran putih terang diatas kepalanya. Ah, warna yang tepat untuk jatuh cinta, Cupid membatin sambil tersenyum puas.
“Itu targetmu Cupid, hmm.. memang secantik namanya” Amor mengalihkan pandangan Cupid yang belum sempat melihat wajah wanita itu menjadi kearahnya. Kini Amor sudah kembali melayang disampingnya, tidak lagi duduk di tempat sebelumnya. Ia mengangguk-angguk kecil dengan mimik seriusnya.
Cupid kembali mengalihkan pandangannya pada pada wanita berjilbab merah muda, namun wanita itu masih terus menunduk, menggandeng anak-anak kecil yang hanya setinggi pinggannya. Dedaunan yang rimbun juga turut andil, seolah tidak mengizinkan Cupid melihat targetnya dengan leluasa. Rasa penasaran membuat Cupid merentangkan kedua sayapnya dan bersiap untuk meilhat targetnya dengan jarak yang lebih dekat. Cupid melewati Amor yang nampak terpana, sebelum akhirnya Ia berhenti ketika wanita itu mengangkat wajahnya, Cupid menatap parasnya.
Cupid merasakan sesuatu berdesir di dalam dirinya. Wajah wanita itu begitu lembut. Senyum di ujung bibirnya seolah menjadi hiasan, membuat pahatan paras wajahnya terlihat sempurna. Wajahnya berseri, seolah tertimpa cahaya bulan langsung di atasnya. Auranya memikat hati, aura yang biasa Cupid temui pada wanita ketika Ia usai memanahkan cinta pada hatinya. Ia tidak pernah tahu jika akan ada aura seindah itu sebelum cinta menyentuh hatinya. Cupid melebarkan pandangannya, mencoba memastikan jiwa lingkaran putih itu benar ada diatas kepalanya. Apa Ia salah? Atau mungkin Ia sudah tak sengaja memanahkan cinta pada targetnya?
“Amor, apa aku sudah memanahkan anak panah cintaku pada wanita itu?”
Amor yang masih melayang di samping cupid mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan sahabatnya barusan itu. Tapi kemudian Ia menggeleng.
“Amor, apa aku sudah memanahkan anak panah cintaku pada wanita itu?”
Amor yang masih melayang di samping cupid mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan sahabatnya barusan itu. Tapi kemudian Ia menggeleng.
Cupid merasakan desiran jantungnya semakin begitu kentara tiap Ia berusaha memandang paras wanita itu lebih lama. Paru-parunya tiba-tiba terasa seperti di penuhi gelembung udara, sesak. Cahaya yang memancar secara magis dari wajah wanita itu seperti menyempurnakan gejala aneh pada dirinya, memaksanya untuk tunduk, tidak menatap paras wanita itu lebih lama. Perlahan Ia kembali ke tempat Ia duduk sebelumnya.
Ia baru menyadari jika sekarang Amor sudah tidak lagi melayang disampingnya. Pria itu mungkin sudah lebih dulu mendatangi targetnya dan memanahkan panah asmara miliknya, kepada pria yang harusnya menjadi pasangan jatuh cinta Auralia Azzahra, targetnya. Tapi entah mengapa tiba-tiba tangannya terasa tidak berdaya untuk mengayunkan busurnya. Sekarang Ia sedang sibuk menerka-nerka desiran apa yang tadi tiba-tiba saja menyapai jantungnya, dan kini masih menyisakan getaran-getaran yang mengherankan. Ia tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
Auralia Azzahra muai berjalan tenang meningglakan pelataran masjid. Cupid kembali merentangkan sayapnya dan melayang tak jauh di belakanganya.
“Cupid, kau belum memanahnya?” Amor datang dengan secepat kilat. Seperti biasanya.
Cupid menggeleng dengan tidak melepaskan pandangan pada langkah-langkah Auralia Azzahra yang berjalan tak jauh di depannya.
“Apa yang kau tunggu?” Suara Amor menyiratkan keheranan.
“Amor, sahabatku. Apa seorang malaikat cinta bisa jatuh cinta?” Cupid memandang Amor yang terlihat terkejut dengan pertanyaannya.
“Apa maksud pertanyannmu itu? Jangan menyimpulkan hal aneh, Cupid. Sekarang bukan waktunya. Segera panahkan anak panahmu padanya, Jonatan Diga Wiratama ada di ujung jalan ini, mereka akan bertemu, dan seharusnya jatuh cinta!” Amor tidak bisa menutupi kegusaran dalam suaranya.
“Amor, aku tidak tahu jika malaikat cinta juga di anugrahi rasa cinta..”
“Cupid, bicaramu semakin kacau! Apa yang kau maksud??” Amor terlihat tidak sabar
Cupid menarik nafas berat “Bagaimana jika aku jatuh cinta Amor?”
“Tidak mungkin! Tidak ada yang memanahkan panah asmara padamu.”
“Dan kau akan melakukannya..” Cupid mengangsurkan busur dan anak panahnya pada Amor.
Amor terlihat terkejut, hingga memundurkan posisinya menjauhi Cupid “Kau gila Cupid! Kau akan mati jika aku memanahmu dengan panah itu! Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sekarang segeralah panahkan anak panahmu, mereka harus saling jatuh cinta! Takdir sudah mencatatnya, Cupid!”
“Cupid, kau belum memanahnya?” Amor datang dengan secepat kilat. Seperti biasanya.
Cupid menggeleng dengan tidak melepaskan pandangan pada langkah-langkah Auralia Azzahra yang berjalan tak jauh di depannya.
“Apa yang kau tunggu?” Suara Amor menyiratkan keheranan.
“Amor, sahabatku. Apa seorang malaikat cinta bisa jatuh cinta?” Cupid memandang Amor yang terlihat terkejut dengan pertanyaannya.
“Apa maksud pertanyannmu itu? Jangan menyimpulkan hal aneh, Cupid. Sekarang bukan waktunya. Segera panahkan anak panahmu padanya, Jonatan Diga Wiratama ada di ujung jalan ini, mereka akan bertemu, dan seharusnya jatuh cinta!” Amor tidak bisa menutupi kegusaran dalam suaranya.
“Amor, aku tidak tahu jika malaikat cinta juga di anugrahi rasa cinta..”
“Cupid, bicaramu semakin kacau! Apa yang kau maksud??” Amor terlihat tidak sabar
Cupid menarik nafas berat “Bagaimana jika aku jatuh cinta Amor?”
“Tidak mungkin! Tidak ada yang memanahkan panah asmara padamu.”
“Dan kau akan melakukannya..” Cupid mengangsurkan busur dan anak panahnya pada Amor.
Amor terlihat terkejut, hingga memundurkan posisinya menjauhi Cupid “Kau gila Cupid! Kau akan mati jika aku memanahmu dengan panah itu! Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sekarang segeralah panahkan anak panahmu, mereka harus saling jatuh cinta! Takdir sudah mencatatnya, Cupid!”
Cupid terdiam sejenak. Ia tahu, tidak akan ada malaikat cinta yang akan merasakan jatuh cinta. Karena mereka tidak mungkin memanahkan panah mereka kehatinya sendiri, hal itu akan membunuh diri mereka sendiri. Perasaanya berkecamuk seketika.
“Auralia Azzahra terlalu sempurna untuk jatuh cinta pada sesama manusia, Amor. Aku bisa merasakan auranya yang begitu terpancar dengan indah. Hatinya terlalu lembut jika harus disakiti dengan perasaan cinta duniawi yang fana..” Cupid memandangi wanita yang kini berjalan sejajar dengan ujung bentangan sayap keemasannya.
“Jika kau tidak melakukannya, biar ini menjadi tugasku saja!” Amor merebut busur dan anak panah dari tangan Cupid.
“Amor!” Cupid akan menghalangi Amor yang menarik busur panah miliknya. Tapi terlambat, panah itu sudah lebih dulu melesat dan menembus jangtung wanita yang kini berada tepat di depannya. Anak panah itu menghilang, menyatu bersama perasaan seorang Auralia Azzahra, menciptakan buir-bulir cinta bersama aliran darahnya.
“Auralia Azzahra terlalu sempurna untuk jatuh cinta pada sesama manusia, Amor. Aku bisa merasakan auranya yang begitu terpancar dengan indah. Hatinya terlalu lembut jika harus disakiti dengan perasaan cinta duniawi yang fana..” Cupid memandangi wanita yang kini berjalan sejajar dengan ujung bentangan sayap keemasannya.
“Jika kau tidak melakukannya, biar ini menjadi tugasku saja!” Amor merebut busur dan anak panah dari tangan Cupid.
“Amor!” Cupid akan menghalangi Amor yang menarik busur panah miliknya. Tapi terlambat, panah itu sudah lebih dulu melesat dan menembus jangtung wanita yang kini berada tepat di depannya. Anak panah itu menghilang, menyatu bersama perasaan seorang Auralia Azzahra, menciptakan buir-bulir cinta bersama aliran darahnya.
Cupid merasa sayapnya lunglai seketika. Ia jatuh menyentuh bumi. Amor segera menghanpiri sahabatnya itu.
“Maafkan aku Cupid, tapi kau tahu jika tidak ada seorang atau sesuatu pun yan bisa mengubah takdir-Nya. Begitu juga cinta yang sudah di tuliskan untuk Auralia Azzahra” Amor memandang Cupid dengan iba. Ia meletakkan busur milik Cupid di hadapannya, menepuk pelan pundak Cupid kemudian melayang perlahan meninggalkannya.
“Maafkan aku Cupid, tapi kau tahu jika tidak ada seorang atau sesuatu pun yan bisa mengubah takdir-Nya. Begitu juga cinta yang sudah di tuliskan untuk Auralia Azzahra” Amor memandang Cupid dengan iba. Ia meletakkan busur milik Cupid di hadapannya, menepuk pelan pundak Cupid kemudian melayang perlahan meninggalkannya.
Cupid meraih busur miliknya. Amor benar, batinnya. Tidak ada sesuatu pun yang mampu merubah takdir dari-Nya. Tidak juga seorang Cupid. Ia merentangkan lagi sayap-sayapnya, terbang perlahan mengangkasa. Meninggalkan Auralia Azzahra yang semakin bercahaya dengan aura cinta dalam dirinya, tiba-tiba hatinya terasa begitu nyeri. Ia terbang semakin tinggi, dan melihat Auralia Azzahra dan Jonatan Diga Wiratama yang bertemu di ujung jalan. Cahaya merah jambu seketika menyeruak diantara mereka berdua, cahaya dari manusia yang saling jatuh cinta. Cupid terbang lebih tinggi lagi, membawa remah-remah dari kehancuran hatinya. Ia belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya.
Cupid duduk di dahan terbesar pohon tua. Langit terlihat semakin menggelap. Ia tarik kembali manuskrip tugas putih gading miliknya, menatapi nama bertinta emas setelah nama keseribu. Nama keseribu satu. Cupid menarik satu panah asmara miliknya, kemudian menancapkan kertasnya di ujung runcing anak panah, tepat pada nama Auralia Azzahra. Cupid berdiri, merentangkan kedua sayap keemasannya yang terlihat bercahaya, dengan anak panah yang kini terpasang pada busurnya. Dalam satu hentakan Ia melepas busurnya, dan membiarkan anak panah dengan kertas nama itu meluncur menembus kegelapan. Hingga hilang dan menciptakan satu titik terang di antara taburan bintang.
Tidak ada yang tahu kapan, dimana, dan dengan siapa seorang manusia akan jatuh cinta. Seperti juga malaikat cinta yang tidak tahu jika cintanya akan berlabuh pada sang pemilik nama ke-1001. Tidak ada yang bisa merubah takdir-Nya, Cupid tahu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar