Sejuta kisah merajut di riak sudut sekolah. Manusia yang terlahir dan berkesempatan merasakan dinamika kehidupan sekolah, tentu memiliki paradigma tersendiri dalam dirinya. Terlebih pada masa SMA. Pada masa ini, mereka yang menjadi aktor utama di sekolahnya. Seolah terbius dalam alunan keremajaan yang membias dalam sanubari. Pelbagai pola tingkah laku yang mereka lakukan seakan menjadi dogma lumrah tak bersifat ambivalen. Sehingga tidak heran kesan yang tertuai pada masa SMA sangat sulit untuk dilupakan.
Arlan. Seorang siswa yang pernah bersekolah di daerah Ibu Kota ini memiliki kesan tersendiri saat SMA. Ia adalah siswa yang sangat cerdas. Mudah bergaul dan tak sedikit wanita yang menyukainya. Namun, meskipun sangat mudah baginya mendapatkan seorang wanita. Ia tidak pernah berpacaran selama duduk di bangku sekolah. Karena baginya, akademik jauh lebih penting. Sementara merajut asmara pada masa sekolah hanyalah membuang waktu dan tidak bermanfaat sama sekali.
Arlan pun selalu menjadi juara umum di sekolahnya. Bahkan di berbagai kesempatan, ia sering menjadi juara dalam kompetisi antarsekolah. Sehingga membuat sekolah Arlan menjadi harum namanya. Seluruh prestasi yang ia torehkan, sepertinya menjadi indikator kesuksesan Arlan di masa mendatang. Sebab tidak ada seorang pun yang meragukan kecerdasan Arlan. Dan semua percaya bahwa Arlan akan menjadi orang besar suatu saat nanti.
Di tengah hirup pikuk dunia sekolah yang dirasakannya. Ternyata dalam dirinya tersimpan hasrat kepada seorang wanita. Yah, meskipun ia tetap tidak mau pacaran. Tetapi terkadang perasaan ingin memiliki wanita tersebut, timbul. Dan ketika keinginan itu timbul, ia hanya bisa termenung sekaligus menahan perasaannya saja. Tak mengungkapkan, apalagi sampai berpacaran.
Arlan menyukainya lantaran grafik kecerdasan wanita itu semakin hari, semakin meningkat. Sempat ada rasa takut prestasinya akan direbut. Namun, Arlan tetap santai dalam menanggapinya. Tidak tergesa-gesa dan terus meningkatkan kualitas belajar.
Siapakah wanita yang dimaksud? Wanita itu bernama Lina. Sebelum kelas 12, Lina adalah siswi biasa yang nilai sekolahnya sedang-sedang saja. Ia juga tidak pernah berprestasi di sekolah. Namun, semenjak kelas 12, Lina mulai menunjukan grafik peningkatan yang sangat spektakuler. Pada persaingan smester lima, ia mendapatkan peringkat dua tepat di bawah Arlan yang masih betah di peringkat satu. Mendengar berita bahwa Lina mendapatkan peringkat dua, Arlan pun terkejut. Dan tidak menyangka sedikitpun.
“Hah? Lina peringkat dua.” Ujar Arlan mulai melotot kaget.
“Iya, Lan. Dia peringkat dua. Gue aja kaget.” Tukas Rio yang juga teman dekat Arlan.
“Wah, kalau gue ga meningkatkan semangat belajar gue. Bisa-bisa pas pemilihan siswa terbaik akhir tahun nanti, gue ga terpilih nih.” Pungkas Arlan khawatir.
“Benar tuh, Lan.” Jawabnya membenarkan.
Saat smester akhir, dinamika persaingan di kelas berubah drastis. Arlan dan Lina selalu bergantian menempati posisi tertinggi dalam hal nilai. Arlan belajar dengan sangat giat, begitu pun Lina yang berambisi merebut tongkat prestasi Arlan. Hingga akhirnya mereka mengadakan perjanjian dalam kompetisi ini.
“Lin, aku akui kalau kamu memang pandai semenjak kelas 12. Dan jujur aku sangat mengagumimu.” Ungkap Arlan.
“Oh ya? Apa yang kamu kagumi dari aku?” Tanya Lina dengan senyum di wajahnya.
“Kamu cantik, cerdas, dan memiliki kepribadian yang sangat luar biasa. Aku juga yakin, banyak lelaki di kelas yang mengagumimu juga.” Jelas Arlan.
“Berhenti memujiku terlalu tinggi ! Aku takut hal ini mengganggu konsentrasiku dalam belajar. Aku ingin mengalahkanmu dalam pemilihan siswa terbaik nanti.” Tegasnya sembari memegang pundak Arlan.
“Kamu ga akan bisa mengalahkanku. Aku pelajar yang jenius. Selama enam tahun aku belajar di sekolah ini, tak ada satu pun orang yang dapat mengalahkanku.” Ucapnya tinggi hati.
“Dan pada akhirnya aku yang akan mangalahkanmu !” Ungkap Lina dengan tatapan tajamnya.
“Terserah apa katamu ! Aku ga peduli. Yang jelas sekarang aku masih berada di posisi teratas. Dan kamu masih di bawahku.” Arlan kembali menegaskan.
“Oke. Bagaimana kalau kita taruhan? Kalau aku yang terpilih menjadi pelajar terbaik di sekolah ini, kamu harus mencukur botak rambutmu. Sementara kalau aku yang kalah, aku akan menguncir rambutku. Bagaimana?” Lina menawarkan sambil menyodorkan tangannya.
“Baik. Aku terima tantanganmu.” Ujar Arlan sembari menyambut tangan Lina.
Setelah perjanjian tersebut diresmikan dan mereka saling menyepakati ketentuan kompetisi, keduanya pun mulai menyusun strategi masing-masing. Arlan dan Lina selalu belajar setiap waktu. Bahkan buku tidak pernah lepas dari tangan mereka. Tak jarang Arlan dan Lina belajar hingga larut malam di sekolah. Di saat pelajar yang lain sudah pulang pada sore hari. Arlan dan Lina masih bertahan dan belajar bersama di sekolah. Hal ini terjadi secara alami. Mereka tidak pernah janjian untuk belajar di sekolah bersama. Saat Arlan membuka pintu kelas tiba-tiba sudah ada Lina dan begitu pun sebaliknya. Yah, akhirnya mau tidak mau mereka harus belajar bersama di ruang kelas yang sepi.
Seiring waktu bergulir, kebersamaan mereka saat belajar ternyata menimbulkan rasa suka satu sama lain. Rasa kagum Arlan kepada Lina seolah berevolusi menjadi sayang. Begitu pun Lina yang semakin respect kepada Arlan. Sempat ada harapan di hati kecil Lina agar Arlan segera mengungkapkan perasaannya. Namun, harapan di hati kecilnya itu tak digubris sedikitpun. Lina tetap fokus belajar demi meraih kemenangan di kompetisi ini.
“Hey, kamu sudah terlalu lama belajar. Makan dulu sana ! Apa perlu aku suapin? Hahaha.” Perintah Arlan guyon.
“Aku rasa kamu tahu betapa ambisiusnya aku untuk mengalahkanmu. Sehingga sesuap nasi pun enggan aku telan.” Jelasnya sinis.
“Hahahaha. Meskipun kamu belajar tanpa makan dan tidur. Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkanku yang jenius ini.” Ucapnya sombong.
“Hey, sombong sekali kamu !” Wajah Lina memerah.
“Jangan marah kayak gitu dong. Cantiknya jadi hilang kan. Nanti kalau cantikmu hilang, rasa sayangku ke kamu juga hilang lagi. Hehehehe.” Tukas Arlan merayu.
“Aku ga sudi disayangi orang sombong sepertimu. Apalagi kamu adalah sainganku.” Tegasnya.
“Aku hanya bercanda Lin. Biar bagaimana pun kita harus sportif.” Jelas Arlan dengan bijak.
“Iya, aku tahu.”
Arlan sudah menunjukan rambu-rambu cinta kepada Lina. Namun, mereka tetap masih belum bisa saling menerima. Meskipun pada dasarnya mereka sangat dekat. Di sekolah saja, mereka dijuluki sebagai dua jenius yang serasi. Bagaimana tidak? Dimana ada Arlan, pasti di sana ada Lina. Bahkan di kelas mereka duduk satu meja. Dan tentu hal ini mengundang kecemburuan dari teman-teman dekat Arlan. Seperti : Rio, Panji, Krisna, dan Doni.
“Eh, Arlan semakin lengket aja sama Lina ya, sob.” Ungkap Panji
“Iya, benar banget tuh. Bikin gue jeles aja deh.” Gerutu Rio.
“Emang lo doang yang jeles. Kita juga pada jeles kali.” Krisna.
“RT dah buat lo, Kris.” Doni Menambahkan.
“Tapi emang mereka serasi sih. Arlan cerdas, Lina juga begitu. Yah, kayaknya sulit juga buat kita menyaingi Arlan.”
“Ya udah, kita dukung aja deh Arlan sama Lina. Toh, dia juga sahabat kita kan? Lagian emang lo pengen dibilang TMT?” Ujar Doni.
“Benar banget lo, sob.” Jawab mereka serentak..
*******
Perpisahan tiba. Dan saat-saat yang mendebarkan pun telah datang. Arlan ataukah Lina? Seluruh pelajar pada hari itu juga menunggu pengumuman mendebarkan tersebut. Terlebih Arlan dan Lina. Kedua pesaing ini saling bertatapan dan menunjukan ketegangannya masing-masing. Hm, siapa pun yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi ini, keduanya tetap yang terbaik. Mereka telah berusaha untuk menjadi juara sejati yang sesungguhnya. Dan ternyata….
“Anak-anakku sekalian. Yang mejadi pelajar terbaik pada tahun ini adalah Arlan Fillan.” Tukas Kepala Sekolah dengan suara lantang.
Arlan bergegas berdiri dari tempat duduknya. Sementara Lina tersenyum sambil melihat Arlan dan begitu pun sebaliknya. Sebelum Arlan naik ke atas panggung, Ia bersalaman dengan Lina yang juga mengucapkan selamat kepadanya. Walaupun sebenarnya Lina kecewa dengan dirinya sendiri. Namun, Lina tetap tegar dan memahami bahwa inilah hakikat persaingan. Ada kalah, ada juga menang. Mungkin sekarang dia kalah, tapi suatu hari ia pasti akan merih kemenangan yang sesungguhnya.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Allah subahanahu wa ta’alaa yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi siswa terbaik pada tahun ini. Tak lupa juga kepada orang tua saya yang selalu mensupport dan mendidik saya dengan baik. Ini adalah suatu nikmat yang sangat besar bagi saya. Maka saya harus mensyukuri buah dari kinerja yang selama ini saya lakukan. Siang malam saya selalu belajar demi mencapai hasil terbaik. Oh iya, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada wanita yang saya kagumi dan sayangi. Dia selalu menemani saya belajar dan ada di saat saya membutuhkannya. Lina Larasati. Aku sangat berterima kasih kepadamu, Lin.
“Cie.” Para penonton bersorak sambil bertepuk tangan.
Lina menepati janjinya. Ia menguncir rambut walaupun dengan berat hati. Saat Lina tampil dengan rambutnya yang dikuncir, Arlan justru semakin tersanjung melihat Lina. Bagaimana tidak? Wajah Lina yang sangat cantik, anggun, dan menawan. Malah semakin luar biasa ketika Ia menguncir rambutnya. Arlan terus menatap Lina dan tidak bergeming sedikitpun. Wajah Lina yang terpancar indah seolah menghipnotis Arlan untuk terus memandanginya.
“Lan? Lan?!! Woy?! Bengong aja lo !” Teriak Doni sambil memukul pundak Arlan.
“Iya iya ! Apaan sih?” Arlan tersentak kaget dan mengaburkan pendangannya dari Lina.
“Hahahaha, dasar lo ! Ngeliatin Lina yak, sob? Tanya Doni.
“Iya nih. Lina cantik banget ya. Kunciran rambutnya membuat dia semakin anggun”. Ungkapnya tanpa ragu.
“Jangan cuma bisa menikmati dari kejauhan dong. Kalau lo emang cinta sama dia buktikan !” Tegas Doni meyakinkan.
“Bukannya lo semua juga pada suka sama Lina? Jangan sok-sok mendukung gue deh. Hahahaha”. Sindir Arlan dengan candaan.
“Iya sih. Kita semua memang sama-sama ada rasa sama Lina. Tapi, kita sadar, Lan. Lo doang yang cocok sama Lina.” Tukasnya.
“Sumpeh lo?” Arlan bertanya kembali.
“Sumpeh, Lan.” Doni meyakinkan.
“Oke, suatu saat gue akan mengungkapkan perasaan ini dan mengajak Lina bercinta dengan gue.” Ungkap Arlan yakin sembari mengepal tangannya.
“Nah, gitu dong. Itu baru teman gue. Eh kalau kita berlima ngajak Lina capcus ke Pantai gimana? Sekalian refreshing, Lan.” Ajak Doni.
“Wah boleh tuh. Nanti gue ajakin deh si Lina.” Tukas Arlan tersenyum.
Keesokan harinya Arlan bertemu dengan Lina hanya sekedar untuk mengajaknya ke Pantai. Mereka janjian bertemu di sekolah.
“Hai, sudah lama kah kamu menunggu di sini?” Arlan baru sampai sekolah langsung bertanya dan duduk di samping Lina.
“Engga kok. Aku baru 10 menit di sini.” Pungkas Lina.
“Kamu tahu matahari di atas sana akan terus bersinar selama kehidupan ini masih ada?” Tanya Arlan.
“Iya, aku tahu. Emang kenapa?” Tanya Lina penasaran.
“Seperti itulah cintaku pada dirimu. Akan abadi selama kehidupan ini masih ada dan aku masih bernafas.” Ungkapnya dengan memegang tangan Lina.
Lina serta merta menarik tangannya, seakan menolak dipegang Arlan.
“Kamu kenapa, Lin? Ga biasanya kamu menolak aku pegang tanganmu.” Tanya Arlan.
“Kamu selalu mengungkapkan hal ini kepadaku. Tapi kamu ga pernah membuktikannya kepadaku, Lan.” Ucapnya kecewa.
“Apa yang harus ku buktikan? Perhatian dan rasa sayangku selalu ku curahkan padaku. Apa yang kurang?” Arlan bingung bertanya kemudian.
“Kamu seorang laki-laki yang harusnya lebih paham dan peka dalam masalah ini. Ingat Lan ! Aku seorang wanita yang tidak mungkin memulai. Jangan kayak anak kecil !” Tegasnya marah-marah.
“udahlah ! Aku mengajak kamu bertemu di sini, hanya ingin menawarkanmu.” Ucap Alan.
“Menawarkan apa?” Tanya Lina.
“Aku, Rio, Doni, Panji, dan Krisna lusa nanti akan refreshing ke pantai. Kamu mau ikut ga?” Arlan kembali bertanya.
“Hm, gimana ya?” Lina bingung sambil mengelus dagunya.
“Ayolah ikut !” Pinta Arlan.
“Ya udah aku ikut. Besok lusa berangkat jam berapa, dan naik apa? Lina kembali bertanya.
“Kita ngumpul di sekolah jam 09.00 ya. InsyaaAllah kita naik motor semua. Kamu aku yang boncengin yaa? Hehehe” Jelas Arlan dengan candanya.
“Oke.” Lina mengiyakan sembari mengacungkan jempol.
Setelah perbicangan selesai, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya Arlan di rumah, ia langsung merebahkan badannya di kasur sembari memikirkan ucapan Lina tadi.
“Apa aku harus segera menembak Lina? Benar juga kata Lina kalau aku terus menggantung perasaan ini, aku memang seperti anak kecil. Tapi aku takut Lina menolakku” Hati Arlan bergejolak dalam kebimbangan.
Di waktu yang sama, Lina juga memikirkan Arlan. Lina sangat mengharapakan Arlan segera menembaknya.
“Arlan, kalau seandainya kamu menyatakan cinta kepadaku dan memintaku untuk jadi pacarmu. Aku tidak akan menolakmu, Lan.” Berkata Lina dalam hati.
Kedua insan ini seakan berada dalam lingkaran yang saling berlawanan. Arlan enggan menyatakan cinta karena takut ditolak. Sementara Lina terus berharap Arlan segera menyatakan cinta kepadanya.
****
“Ayolah cepat ! Kita langsung berangkat. Udah ngaret nih !” Ajak Rio yang sudah duduk di motor.
“Iya bentar. Lina mau ke warung dulu. Ada yang mau dibeli katanya.”Jelas Arlan tegas.
“Iya bentar ya.” Lina menambahkan sembari jalan dan melambaikan tangan.
Setelah Lina kembali dari warung, tanpa berbasa basi mereka langsung berangkat. Lina yang dibonceng Arlan tanpa rasa ragu tangannya berpegangan di perut Arlan. Keduanya seolah seperti orang yang sudah berpacaran. Obrolan yang mereka lakukan di motor juga menjadi bumbu penyedap kedekatan mereka.
Sesampainya enam pemuda itu di pantai, mereka langsung berganti pakaian dan berenang bersama di laut lepas. Mereka bersenang-senang dan bermain layaknya orang yang tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun kemudian pada hari itu bertemu dan melepas kerinduan dengan bebas. Canda dan tawa yang menghiasi rasa gembira mereka tak jemu-jemu turut serta dalam kegembiaraan kala itu.
“Huh, lelah juga ya berenang selama dua jam di laut seperti ini.” Ungkap Rio.
“Iya, tapi seru, sob.” Krisna menambahkan.
“Eh, kalau kalian dewasa nanti mau pada jadi apa?” Tanya Doni
“Kalau gue mau kuliah di luar negeri ngambil program studi Manajemen, lo gimana?” Ucap Panji sambil bertanya.
“Gue pengen jadi pengusaha sukses yang kaya raya, Lo gimana Rio?” Jelas Doni
“Gue pengen jadi direktur di salah satu bank. Terus gue pengen punya anak yang banyak. Hehehehe. Lo Kris?”
“Cita-cita gue sih ga muluk-muluk. Gue pengen jadi komikus terkenal, sob. Kalau Lina gimana?” Krisna lanjut bertanya.
“Aku ingin menjadi guru. Karena mengajar adalah sesuatu yang menyenangkan bagiku. Giliran kamu, Lan !”
“Gue ingin menjadi penulis novel terkenal. Dan novel gue itu harus dijadikan film suatu saat nanti.” Ungkap Arlan.
“Wah, keren ! Kita memiliki mimpi masing-masing. Tapi satu hal yang harus diingat, sehebat apapun kita di masa mendatang, jangan pernah lupa ya dengan pertemanan kita.” Pinta Panji.
“Yoa.” Mereka mejawab serentak.
Dua minggu setelah mereka liburan, ujian SNMPTN pun tiba. Panji memilih kuliah di daerah Bandung, Krisna Yogyakarta, Rio Padang, Doni dan Arlan di bogor, sementara Lina di Depok. Meskipun Arlan dan Lina terpisahkan oleh jarak, mereka tetap menjalin komunikasi dengan baik. Bahkan tidak jarang mereka bertemu dan jalan bersama. Hingga akhirnya pada suatu hari, Arlan berniat untuk menembak Lina. Di kesempatan tersebut, mereka bertemu di taman. Dan Arlan pun mengungkapkan perasaannya jauh lebih dalam kepada Lina.
“Sudah hampir satu tahun setengah kita bersama dan mengenal satu sama lain. Mau kah kamu berpacaran denganku?”
Tiba-tiba suasana hening membias mereka yang sedang duduk berdua. Tak terucap sepatah kata pun dari mulut Arlan atau pun Lina. Entah mereka masih malu-malu atau tidak. Yang jelas suasana saat itu seakan menunjukan seperti mereka baru saling kenal.
Lina perlahan-lahan menarik nafasnya dalam-dalam seiring dengan jatung yang berdetak cepat. Keluh di bibir yang membasahi seolah menjadi lem yang merekatkan dua bibir atas dan bawah. Sehingga membuat Lina enggan berucap. Namun, mau tak mau Lina berkewajiban menjawab pertanyaan Arlan. Baru saja Lina melepaskan keratan di dua bibirnya dengan niat untuk menjawab pertanyaan Arlan. Tiba-tiba Arlan berkata :
“Cukup Lin ! aku tidak ingin sakit hati. Jangan kau jawab sekarang ! Aku tahu kamu pasti akan menolakku.”Ucap Arlan dengan derai air mata.
“Kamu yakin aku tidak usah menjawabnya sekarang?” Tanya Lina dengan wajah setengah kecewa.
“Iya, aku sangat yakin.” Tegas Arlan.
“Baik, kalau kamu tidak ingin aku menjawabnya sekarang.” Lina menambahkan.
Padahal kalau saja Lina mejawab pertanyaan Arlan pada hari itu, pasti jawaban yang terucap dari lisan Lina adalah “Aku ingin menjadi pacarmu, mari kita bercinta bersama.” Namun sayang seribu sayang, ketidakpercayadirian Arlan membuat takdir bahagia yang mungkin akan mereka ukir bersama terbuang sia-sia.
Lina kecewa dengan Arlan. Lina menilai Arlan masih seperti anak kecil. Dan Lina paling benci orang dewasa yang bertindak seperti anak kecil. Semenjak itu, Lina memantapkan diri untuk memutus seluruh komunikasi dengan Arlan. Semua ia lakukan dengan tujuan agar Arlan berubah dan bisa memahami hakikat cinta yang sesungguhnya.
Namun, tujuan Lina ini sedikitpun tidak dipahami Arlan. Saat Lina sangat sulit dihubungi, Arlan justru mengira Lina memang sengaja menjaukan diri darinya. Dan ia beranggapan Lina tidak mencintainya sama sekali. Sehingga selama kurang lebih dua tahun mereka hidup dengan menikmati dunianya masing-masing di kampus tanpa komunikasi.
****
Setelah dua tahun dilewati, Arlan tiba-tiba merasakan rindu yang begitu mendalam terhadap Lina. Hingga akhirnya Arlan kembali mencoba menelpon Lina. Tanpa disangka-sangka, ternyata Lina mengangkat telepon dari Arlan. Nah, saat itulah mereka mulai berbagi kisah masing-masing, melepas rindu, dan bernostalgia tentang kebersamaan mereka pada masa lalu.
“Kalau ingat-ingat masa lalu kita, ingin rasanya aku mengulang, Lin.” Pungkas Arlan.
“Itu hanyalah masa lalu, Lan. Tidak mungkin kita mengulangnya. Yang mungkin hanya mengingatnya saja.” Ucap Lina dengan nada sendu di telepon.
“Iya kamu benar, Lin. Jujur, aku masih sangat mencintaimu. Selama kita tidak pernah komunikasi, aku masih mengosongkan hatiku untuk kamu, Lin. Aku cinta kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?” Tegasnya sambil bertanya.
Saat Arlan berucap seperti itu, Lina hanya dapat meneteskan air mata. Ia sedih karena keadaan saat itu membuat Lina tidak mungkin menerima Arlan.
“Dulu kenapa kamu menangguhkan perasaanmu sendiri? Padahal kalau seandainya waktu kita di taman kamu memberikan kesempatan kepadaku untuk menjawab pertanyaanmu, pasti aku akan menerimamu.” Ungkap Lina dengan pertanyaan
“Lalu apa bedanya sekarang ataupun dulu? Toh, aku sama-sama mengungkapkan.
“Kamu mau aku jawab sekarang?” Lina bertanya.
“Iya, aku mau kamu jawab sekarang !” Tukas Arlan perintah Lina.
“Aku tidak ingin jawab melalui telepon. Bagaimana besok kita bertemu lagi di taman tempat dua tahun lalu kita bertemu. Di sana akan ku berikan jawabanku kepadamu.
“Baik, besok kita bertemu di sana jam 04.00 sore ya?”
“Oke.” Lina mengiyakan.
Esok pun tiba. Saat sore hari menjelang pukul 04.00 sore mereka bertemu tepat di bangku yang pernah mereka duduki dua tahun lalu.
“Keadaan taman ini belum berubah ya, Lin. Masih seperti yang dulu. Cintaku padamu juga masih seperti yang dulu. Hehehe” Rayu Arlan dengan candaan.
“Ah gombal kamu !” Jawab Lina sinis.
“Hahahaha, serius Lina. Oh iya katanya kamu ingin menjawab. Mana?” Tanya Arlan.
Lina terdiam tanpa sepatah kata pun. Ia hanya termenung sambil menatap Arlan tajam. Seiring dengan suasana taman yang sejuk, Lina serta merta memeluk Arlan sambil menangis.
“Aku juga sangat mencintamu, Lan. Namun, takdir tidak memungkinkan kita untuk bersatu. Maafkan aku. “ Ungkap Lina menangis.
“Kenapa tidak memungkinkan? Aku mencintai kamu dan kamu mencintaiku. Apalagi yang kurang?” Arlan menegaskan dengan pertanyaan.
“Jawabannya ada di undangan ini” Jawab Lina dengan simbol undangan yang diberikan kepada Arlan.
Arlan tersentak kaget. Ternyata itu adalah undangan pernikahan Lina yang akan dilaksanakan minggu depan. Perlahan Arlan pun meneteskan air mata. Berteriak dan berlari menuju tepi jurang taman. Di sisi lain Lina yang masih meneteskan air mata pun mencoba mengejar Arlan dan menenangkan dia.
“Kenapa ini harus terjadi ?!!!” Arlan berteriak di tepi jurang taman.
“Arlan…Arlan, maafkan aku yang tidak bisa menjaga hati untukmu. Tapi memang Tuhan tidak menginjinkan kita bersama, Lan. Aku harap kamu memahami ini. Masih banyak wanita di luar sana yang lebih dari aku.” Lina menenangkan Arlan dengan tegas.
“Aku sangat mencintaimu, Lin !”
“Aku juga, Lan. Tapi mau gimana lagi. Aku sudah terlanjur dipinang oleh lelaki lain dan keadaan ini mengharuskan kita tidak bersama lagi. Aku harap kamu, Rio, Panji, Krisna, dan Doni datang ya ke acara pernikahanku minggu depan.”
Setelah Lina memberikan undangan kepada Arlan, ia langsung memeluk Arlan dengan erat. Sebagai hadiah perpisahan Lina kepada Arlan. Dan itu adalah pelukan terakhir yang mereka lakukan. Karena biar bagaimanapun Arlan dituntut untuk ikhlas menerima kenyataan ini. Bahwa Lina sudah milik orang lain. Dan seharusnya Arlan juga menginstropeksi dirinya. Sebab, kalau seandainya dua tahun lalu Arlan memberi kesempatan kepada Lina untuk mejawab pertanyaannya, mungkin sekarang Arlanlah yang menjadi pangeran di pelaminan bersama Lina.
****
“Lan, cepat kita keluar. Acaranya keburu selesai nanti. Anak-anak udah pada nungguin tuh di bawah” Ajak Panji yang melihat Arlan termenung di depan cermin.
“Iya iya gue keluar.” Jawab Arlan.
Mereka berlima berangkat bersama menuju ke acara pernikahan Lina. Arlan mencoba tegar dan besar hati menerima kenyataan ini, walaupun berat terasa. Saat mereka sampai di acara pernikahan Lina, mereka pun langsung duduk bersama di dalam acara tersebut sambil bercerita aktifitas masing-masing.
“Gue sekarang lagi ngambil kuliah di Jepang, sob. Jurusan Manajemen.”Ujar Panji
“Wah cita-cita lo tercapai dong? Kalau gue sekarang jadi pimpinan di perusahaan makanan ringan. Yah, lumayanlah penghasilannya.” Ungkap Doni
“Kalau gue sih sekarang lagi nulis komik gue yang kedua. Komik gue yang pertama udah abis di pasaran dan diminta bikin lagi.” Tukas Krisna.
“Pada udah kerja enak ya. Kalau gue masih gini-gini aja. Cita-cita gue untuk menjadi direktur bank belum tercapai. Gue sekarang jadi penjaga perpustakaan, sob. Lo gimana, Lan?” Ungkap Rio lanjut bertanya kepada Arlan.
“Gue lagi nyoba-nyoba nulis novel aja.”
“Novel tentang apa?” Krisna bertanya.
“Tentang perjalanan hidup gue dari sekolah sampai sekarang.”
“Oh, berarti di novel itu ada kitanya dong?” Rio kembali bertanya.
“Iyalah.” Jawab Arlan.
“Awas aja aib kita sampai ditulis di novel itu. hahahaha” Ancam Panji sambil tertawa.
Dengan gaun yang indah, Lina yang berjalan menuju pelaminan sangat terlihat cantik. Yang tadinya lima pemuda ini bergurau satu dengan yang lainnya, tiba-tiba mereka terdiam menatap pengantin yang sedang berjalan. Lina yang terlihat begitu indah kembali mengingatkan Arlan kepada masa lalunya. Namun, Arlan tetap berbesar hati menerima kenyataan pahit ini.
Ketika prosesi foto-foto dan besalaman dengan pengantin dimulai. Pas bagian Arlan dan kawan-kawan foto dan besalaman dengan kedua mempelai. Ternyata Arlan menyisipkan secarik kertas kepada Lina saat bersalaman. Secarik kertas itu Lina simpan baik-baik sampai acara resepsi selesai. Tanpa diketahui oleh suaminya, Lina membaca isi secarik kertas itu secara diam-diam.
Dan ternyata secarik kertas itu bertuliskan “Selamat Menempuh Hidup Baru Wanita yang Ku Cintai.” Membaca tulisan itu, Lina kembali meneteskan air mata. Kesedihannya tak dapat terbendung lagi. Karena jauh di lubuk hatinya masih terukir nama Arlan. Namun, itulah kehidupan. Sekuat dan sehebat apapun kita, tetap saja Tuhan yang Maha berkehendak. Dan kita hanya menjalankan kehidupan sesuai dengan skenario yang ditentukan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar