“Hamparan langit maha sempurna, bertahta bintang-bintang angkasa, namun satu bintang yang berpijar, teruntai turun menyapaku…” “Cieee Rizki nyanyi yaaa….” celetuk Nabilah memotong senandungku. Aku melirik dia, kulihat senyumnya mengembang bercampur dengan irama angin lembut dan riak air danau. Dan aku pun membalas senyumnya. Lalu kembali kulanjutkan senandungku menyanyikan lagu mahadewi milik padi.
Sore itu kami berdua sedang berjalan-jalan di tepi sebuah danau yang tampak menghampar. Terlihat bagai menyentuh awan dengan guratan semburat warna jingga dan oranye menghiasi cakrawala. Aku benar-benar tak kuasa mengungkapkan semua keindahan kala itu. Aku hanya bisa bersenandung kecil yang gema suaranya segera hilang ditelan angin sore. Entah berapa kali sudah aku melakukan hal seperti ini, mungkin sudah ratusan kali, tapi aku tak pernah merasa bosan sedikit pun. Semua seperti sudah menjadi rutinitasku untuk pergi menikmati keadaan disini, setiap sore selalu kutunggu jingga matahari menyelimuti sang surya yang mulai terbenam di barat berganti dengan rembulan yang selalu hadir menemani hari-hari disini.
“Kamu belum hendak pulang Bilah?” Aku berkata sambil terus menikmati pemandangan tanpa melirik Nabilah. Dia menjawab. “Belum, aku masih betah berada disini. Jarang sekali aku bisa menikmati suasana seperti ini. Aku kan sehari-hari selalu beraktifitas di kota, kamu tahu kan kota sangat jauh dari hal-hal seperti ini. Inilah salah satu alasan kenapa aku setiap hari libur pasti menyempatkan diri untuk pergi kesini”.
Aku mengangguk mengerti. Aku sadar, Nabilah yang hidup di kota besar dimana sehari-hari yang terlihat di pandanganya hanyalah gedung-gedung tinggi. Tidak ada yang lain selain kendaraan yang memenuhi jalan dihiasi suara klakson yang berbunyi nyaring dan lampu yang berkerlip gemerlapan di malam hari. Tapi gemerlapnya lampu warna-warni itu sama sekali tidak bisa menandingi keindahan lentera alam disini.
Memang menurutku suatu hal yang wajar baginya jika akhirnya ia ingin terus berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Merasakan desau angin sore, riak air danau, pucuk ilalang yang bergoyang di tiup angin dan suara jengkerik sayup-sayup terdengar di kejauhan. Semua bercampur menjadi keindahan yang tak bisa diungkapkan. Bahkan, aku pun yang sudah sering melakukan hal seperti ini sama saja seperti Nabilah, masih terpukau dengan apa yang seringkali kulihat.
Aku mengangguk mengerti. Aku sadar, Nabilah yang hidup di kota besar dimana sehari-hari yang terlihat di pandanganya hanyalah gedung-gedung tinggi. Tidak ada yang lain selain kendaraan yang memenuhi jalan dihiasi suara klakson yang berbunyi nyaring dan lampu yang berkerlip gemerlapan di malam hari. Tapi gemerlapnya lampu warna-warni itu sama sekali tidak bisa menandingi keindahan lentera alam disini.
Memang menurutku suatu hal yang wajar baginya jika akhirnya ia ingin terus berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Merasakan desau angin sore, riak air danau, pucuk ilalang yang bergoyang di tiup angin dan suara jengkerik sayup-sayup terdengar di kejauhan. Semua bercampur menjadi keindahan yang tak bisa diungkapkan. Bahkan, aku pun yang sudah sering melakukan hal seperti ini sama saja seperti Nabilah, masih terpukau dengan apa yang seringkali kulihat.
Kami lalu duduk sejenak di sebuah batang kayu pohon besar yang telah lama mati dengan arah sedikit menjorok ke danau. Semua kembali hening, kami kembali terlarut dengan perasaan masing-masing. Hal seperti inilah yang paling aku suka. Duduk berdua dengannya tanpa ada hal-hal lain yang dibicarakan, merasakan helai rambutnya yang tertiup angin dan jatuh sedikit di permukaan kulit hingga tercium aroma khasnya. Aku benar-benar tak ingin suasana ini berlalu dengan cepat, andai kamu tahu Bilah…
“Sudah terlalu sore Bilah, sebaiknya aku antar kamu pulang ya, gak baik anak perempuan pulang malam-malam”. Ucapku memecah keheningan. Dia tidak menjawab, matanya menatap jauh penuh arti melihat sang surya yang sedang berangkat ke peraduannya, membuat suasana perlahan meredup. Akhirnya kugamit lengannya bermaksud untuk mengajaknya pulang. “Sampai ketemu besok ya!”. Aku berpamitan pulang setelah mengantar Nabilah sampai ke rumahnya. Suasana pedesaan malam hari berubah jadi sepi. Hanya jengkerik dan makhluk malam lainnya yang sesekali bersuara.
Malam ini aku benar-benar tak bisa tidur. Aku teringat pasti, sebentar lagi Nabilah ulang tahun. Kulihat tanggal di kalender yang menempel di dinding kayu. Sekarang tanggal 15, dua hari lagi hari ulang tahun Nabilah. Aku harus membuat hal spesial untuknya. Aku memikirkan apa yang harus aku berikan saat hari ulang tahunnya tersebut. “Aku harus memberikan sesuatu yang spesial yang sama sekali tak pernah dia bayangkan sebelumnya”. Suara jengkrik masih terdengar. Entah beberapa lama kemudian tanpa sadar aku pun terlelap.
Hari ini, seperti biasa aku mengerjakan kebiasaanku sebelum mandi. Saat itu waktu masih menunjukan pukul delapan pagi, embun pun terlihat belum sepenuhnya menguap. Aku masih menyirami bunga-bunga di kebun kecil halaman rumah. Tanpa kusadari, tiba tiba Nabilah datang dan menegurku dari belakang. Dia datang tidak seperti biasanya. Kali ini dia mengendarai sepeda lengkap dengan helm dan pelindung. Aku agak heran melihat penampilannya kali ini. Sebelum sempat ku bertanya, dia buru-buru menjelaskan. “Rizki, aku ingin sekali bersepeda di tepi danau, kamu temani aku ya, nanti kita balapan disana”. Serunya sambil tersenyum. “Oke kamu mandi dulu san gih” ujarnya lagi tanpa meminta persetujuan dariku terlebih dahulu. Aku mengangguk, Segera kuambil handuk dan bergegas mandi. Air pegunungan yang dingin terasa menyentuh kulit. Tak berapa lama, aku sudah siap dengan sepeda dan semua perlengkapan. Kami mengayuh sepeda menuju danau yang jaraknya hanya 1 km dari desa kami.
Menuju ke tepian danau dengan menaiki sepeda bukanlah suatu hal yang sulit. Hanya terdapat beberapa tanjakan tapi itu pun sama sekali tidak curam. Kami mengayuh dengan santai tanpa mengeluarkan banyak energi. Aku sengaja memperlambat sepedaku untuk bisa berkesempatan menatap Nabilah lebih lama. Rambutnya yang panjang terurai kembali tersibak oleh hembusan angin. Aku kembali terpesona. Ah, dejavu macam apa ini.
Entah beberapa puluh detik kami lalui dengan suasana seperti ini. Dia menoleh ke arahku. Aku masih memandanginya dan tanpa kusadari pandangan mata kami saling bertemu. Segera kualihkan perhatian agar dia tidak menyadari apa yang kulakukan. Tapi sepertinya dia terlanjur mengetahui, kulihat dia tersenyum dengan penuh arti. Aku belum membalas senyumnya. Dalam pikiranku bergejolak perasaan yang lain. Entah apa itu. Perasaan yang akhir-akhir ini menderaku dan mengganggu di setiap malam-malam tidurku. Berusaha menutup semua perasaan itu, kuajak dia mengobrol sedikit. Kayuhan sepeda kembali kuseimbangkan agar aku bisa menyamai laju gerak sepedanya.
“Bilah”, ucapku sambil terus mengayuh. “Lama tidak kamu liburan disini?”. “Lumayan, mungkin sekitar seminggu lagi”. Jawabnya dengan ekspresi wajah biasa-biasa saja. “Bagaimana dengan kamu sendiri Rizki?” Dia malah balik bertanya. “Aku juga masih ada waktu lebih dari seminggu. Masa liburanku disini masih ada sepuluh hari sebelum masuk asrama kembali. Jadi selesai libur sekolah aku akan kembali lagi ke Semarang” jawabku. Kami kembali terdiam. Mungkin pikiran kami sama, sama-sama tidak ingin segera pergi dari desa ini. Tapi selain itu, aku juga tidak ingin segera berpisah dengan Nabilah. “Bagaimana dengan karirmu di Jakarta? Bukankah meskipun libur semuanya harus tetap berjalan?” “Iya sih”, jawabnya. “Tapi saat ini member lain sedang punya acara tour ke Jepang, ada beberapa orang yang tidak ikut. Termasuk aku. Jadi mungkin aku disini sambil menunggu kedatangan mereka”. Ujarnya menjelaskan. Nabilah saat ini memang sudah memiliki karir yang bagus di Jakarta. Beberapa waktu lalu dia masuk ke sebuah ajang pencarian member sebuah idol grup yang cukup terkenal, dan dia akhirnya terpilih. Sehingga semua kehidupannya mulai berjalan disana. Sedangkan aku, saat ini sedang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah tinggi di Semarang. Jadi kami tidak begitu sering bisa bertemu dan menikmati suasana berdua seperti ini.
Setelah mendengar beberapa jawabanya, aku pun lega. Masih ada waktu untuk bisa ungkapkan semuanya. “Akan kupersiapkan semuanya baik-baik” gumamku dalam hati. Kami terus mengayuh sepeda melalui jalan kecil berbatu melewati perkebunan. Sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Segera kami turun dan beristirahat di atas batang pohon kayu yang sering kami lakukan seperti sebelumnya. Kulihat Nabilah mengayunkan kakinya di atas permukaan air danau. Aku pun meniru kelakuanya dan dengan sengaja kupercikan sedikit air sehingga membasahi kakinya. Dia melirik dan tersenyum, langsung dengan sigap membalas perbuatanku tadi. Kami saling memercikan air. Sampai mengenai baju. Aku tersenyum melihat Nabilah tertawa begitu lepas. Rambutnya kembali berderai ditiup angin. Ya tuhan aku pun terperangkap kembali dalam dejavu yang terus berulang-ulang.
Semakin siang, cuaca semakin terang. Meskipun begitu, udara masih tetap sesejuk seperti tadi. Nabilah beranjak menaiki sepedanya, “aku mau coba naik sepeda disini ah”, ucapnya. Dia menaiki sepeda mengitari tempat itu. Aku terus memandangi dia sambil bersandar di sebuah dahan pohon tanpa berniat untuk melakukan hal yang sama dengannya. Tapi tiba-tiba brukkkk… Nabilah terjatuh karena sepedanya tergelincir melindas sebuah batu berbentuk bulat. Alhasil, ia pun terpental jatuh dari sepedanya. Aku kaget dan dengan secepat mungkin segera kutolong Nabilah. Untungnya dia tidak apa-apa karena sudah menggunakan helm dan pelindung. Hanya ada beberapa memar kecil dan seberkas luka di lututnya yang mengeluarkan darah. Aku teringat, di sekitar sini ada beberapa jenis dedaunan yang bisa digunakan sebagai obat luka alami. Segera kuambil beberapa helai, kemudian kucuci dan kulumatkan menggunakan kedua telapak tangan. Daun yang telah lumat itu kutempelkan ke luka Nabilah. Dia menyeringai entah kenapa, mungkin lukanya terasa perih.
“Tahan sedikit”. ucapku menenangkan. “Efek perihnya memang ada, tapi cuma sebentar. Nanti juga gak terasa”. Jelasku. Dia mengangguk dengan masih meniup-niup lukanya yang belum kering. “Makannya hati-hati, disini kan tanahnya tidak rata, licin dan banyak batu bertebaran. Jadi rawan tergelincir”. Ucapku sedikit memarahinya karena cemas. Dia malah menertawakanku. “Rizki, seharusnya aku yang lebih cemas karena aku yang jatuh, bukan malah kamu yang sekhawatir itu”. ucapnya lagi masih dengan tawa yang tersisa. “Pantas saja aku cemas Bilah, aku gak mau kamu terluka karena aku…” aku hampir keceplosan. “Kamu kenapa Rizki?” Paksa nya. “Karena aku… karena aku yang harus bertanggung jawab atas kamu disini”. tukasku. “iya, tapi gak harus sampai segitunya kali”. Dia malah meledek.
“Ya sudah lah kalau begitu”, ucapku. “Kamu bawa makan siang kan?, kita makan dulu disana yuk” ucapku sambil menunjuk sebuah tempat di bawah pohon yang agak rindang. “Ide bagus” ucapnya. “Aku juga sudah mulai lapar”. Aku menuntunnya menuju ke bawah pohon. Hahaha kamu memang berlebihan sekali Rizki ucapnya. Tapi dia tidak menolak saat aku memapahnya. siang itu kami nikmati makan siang disertai dengan semilir angin. Makan siang disini terasa jauh lebih nikmat disertai dengan canda-tawa dan sesekali diwarnai suara kicau burung.
“Ya sudah lah kalau begitu”, ucapku. “Kamu bawa makan siang kan?, kita makan dulu disana yuk” ucapku sambil menunjuk sebuah tempat di bawah pohon yang agak rindang. “Ide bagus” ucapnya. “Aku juga sudah mulai lapar”. Aku menuntunnya menuju ke bawah pohon. Hahaha kamu memang berlebihan sekali Rizki ucapnya. Tapi dia tidak menolak saat aku memapahnya. siang itu kami nikmati makan siang disertai dengan semilir angin. Makan siang disini terasa jauh lebih nikmat disertai dengan canda-tawa dan sesekali diwarnai suara kicau burung.
Kami bermain sampai sore disini, semua seperti tak terasa. Sudah saatnya kami untuk pulang karena kulihat saat ini jam sudah menunjukan waktu pukul empat sore. “Yuk pulang” aku mengajak Nabilah. “Bisa kan kamu mengayuh sepeda sendiri? Apa harus aku bonceng?” Tanyaku lagi. “Gak perlu lah Rizki lagian ini juga cuma luka lecet”. Jawabnya. “Dengan luka ini, aku masih sanggup kok ngalahin kamu balapan sampai ke rumah” ucapnya sambil tertawa diikuti dengan dia mempercepat laju sepedanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuanya itu. Dia kadang seperti masih anak-anak, kelakuanya polos dan berani menghadapi apapun. tapi inilah yang paling aku sukai darinya.
Seperti biasa, aku memastikan dia sampai terlebih dahulu ke rumahnya. Baru aku pulang ke rumah. Rumah kami jaraknya memang tidak terlalu jauh, mungkin hanya beberapa ratus meter. Jadi aku sudah terbiasa melakukan hal seperti ini. Sesampainya di rumah, Aku segera membersihkan diri, dan duduk di depan televisi mencari-cari channel TV yang bagus, sampai kutemukan sebuah drama film jepang. Aku penasaran dan menontonya. Saat kubuka twitter di blackberry ku, ternyata Nabilah baru saja mengupdate statusnya yang langsung tertampil di timeline twitterku. Dia ternyata sedang menonton acara TV yang sama seperti sedang ku tonton juga. Aku pun me retweet statusnya.
Aku sudah mempersiapkan matang-matang semua rencanaku untuk memberi kejutan saat hari ulang tahunnya, malam itu, aku pun mengirim dia sebuah pesan singkat. “Bilah, besok kamu ulang tahun ya?¸ selamat ulang tahun Nabilah, hehe maaf ya aku malah ngucapinnya sekarang, soalnya takut keduluan sama fans-fans kamu. Aku nanti punya kejutan untuk kamu sebagai kado hari ulang tahun kamu. Jangan lupa ya kamu datang nanti sore pukul 3 tepat di bawah pohon dekat danau. Aku tunggu lho, jangan sampai gak dateng ya… see you tomorrow Nabilah, good night and Happy Birthday”.
Nabilah membaca pesan dari Rizki dengan perasaan yang senang, dia pun membalas pesan tersebut dan berjanji akan datang besok sesuai permintaan Rizki. “Kejutan apa ya”, ucap Nabilah penasaran sambil berbaring di tempat tidur. “Kok aku malah jadi deg-degan gini ya”, dia berkata sendiri sambil tersenyum. “Semoga hari cepat berganti” ucapnya lagi. Akhirnya dia pun terlelap membawa rasa penasaran ke dalam mimpinya.
Pagi tiba, terdengar suara-suara kokok ayam jantan dari kejauhan saling bersahut-sahutan. Aktivitas pagi itu berjalan sebagaimana hari-hari biasa, para petani pergi ke sawah dan kesibukan sehari-hari mulai terasa. Rizki terbangun dari tidur karena mendengar suara berisik dan kemudian pandangannya menatap silau ke arah jendela yang memantulkan bias cahaya mentari pagi. Di tempat lain, Nabilah pun terbangun dalam waktu yang hampir bersamaan. Perlahan-lahan, semua mulai bangun dan menjalani kegiatan sehari-hari.
Nabilah masih mengingat pesan Rizki yang memintanya untuk datang ke danau sore ini. Dia jadi bersemangat. Saat ini umurku tambah satu gumam Nabilah. Aku harus berubah jadi lebih baik dan lebih dewasa lagi ujarnya. Dia bersyukur karena masih memiliki kesempatan untuk menjalani hari-harinya dengan gembira.
Menjelang sore, Nabilah datang ke danau sesuai permintaan Rizki dalam pesan singkatnya kemarin. Dia menemukan Rizki sudah duduk disana sambil terdengar sesekali memetik gitar. Nabilah tidak segera menegurnya dia masih ingin mendengar nada-nada yang dilantunkan Rizki lewat gitarnya. Rizki menoleh dan menemukan Nabilah ada di belakangnya. “Oh ternyata kamu sudah datang bilah. Ayo duduk sini” ucapnya mempersilakan Nabilah. Rizki meletakkan gitarnya dan mengeluarkan sebuah kotak yang berisi kue ulang tahun dengan lilin berjumlah 15 sesuai usia Nabilah saat ini. Lalu semua lilin dinyalakan. “Selamat ulang tahun Nabilah. Semoga kamu makin pinter, dewasa dan sukses serta makin cantik” ucapnya. Nabilah tersenyum. “Ayo potong kue nya. Tapi jangan lupa kamu buat dulu permintaan ya”. Nabilah berdoa dan kemudian meniup lilin setelah itu dia memotong kue dan memberi satu suapan untuk Rizki. “Perasaan kamu deh yang ulang tahun” ucap Rizki sambil tertawa.
“Oh ya aku punya kado nih untuk kamu bilah” ucapku sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi sebuah liontin yang di dalamnya terukir namaku dan Nabilah. “Kalung itu sengaja aku buat sendiri selama beberapa hari ini. Aku ingin, dengan kamu memiliki ini, kamu akan selalu mengingat aku dan suasana seperti ini dimanapun kamu berada Bilah”, ucapku. Dia menerima dengan senang hati.
“Ada satu lagi kado untukmu bilah” ucapku lagi. “Lho ada lagi ya? Kok banyak banget ya. hehe apa tuh kadonya?” Nabilah penasaran. “Enggak, ini hanya sebuah kado kecil. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu untukmu bilah”. Dia kembali tersenyum. Kuambil gitar dan mulai memainkan sebuah lagu berjudul selamat ulang tahun
“Hari ini hari yang kau tunggu
Bertambah satu tahun usiamu bahagia rasanya
Yang kuberi bukan hanya cincin
Bukan seikat bunga atau puisi juga kalung hati…”
Bertambah satu tahun usiamu bahagia rasanya
Yang kuberi bukan hanya cincin
Bukan seikat bunga atau puisi juga kalung hati…”
Aku terus bernyanyi diikuti Nabilah yang dengan semangat pula mengikutiku bernyanyi. Pandangan mata kami kembali bertemu lebih lama dan kali ini aku tidak berusaha untuk mengalihkanya, begitupun juga dengan Nabilah. Kenangan seperti Inilah yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup bersamanya.
Tadinya aku bermaksud untuk mengungkapkan semua perasaanku yang lama terpendam padanya. Tapi semua yang telah kufikirkan matang-matang sirna sudah begitu kulihat senyuman di wajahnya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Dan kuputuskan untuk menyimpan saja perasaan ini padanya, hanya aku saja yang tahu, dengan hanya bisa bertemu dan berdua denganya seperti ini saja bagiku sudah jauh lebih dari cukup. Biarlah rasa sayangku padanya hanya terucap lewat senandung yang segera menghilang tertiup angin, dan biarlah aku hanya bisa mengungkapkan semua perasaanku melalui sang rembulan. Mungkin suatu saat nanti jika takdir mengijinkan kami bisa bersatu, maka kami akan dipersatukan dengan kehendak dan rencananya. Tapi cinta memang tak harus saling memiliki bukan?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar