“Anyyeong haseyo (Selamat pagi)?” katanya menyapaku. Aku hanya tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Anyyeong haseyo,” balasku hangat.
“Jung-Sin, kau masih suka latihan menyanyi?” tanyanya – Min-Ah – sambil menggenggam tanganku.
“Ne (Ya), aku masih mengikutinya. Aku paling suka jika Guru vokal kita memainkan biolanya. Aku sangat suka.” ucapku sambil tersenyum padanya.
“Kau masih sering bersama Byul-in, kan?” tanya Min-Ah cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Aku tak mau kehilanganmu, Jung-Sin,”
“Anyyeong haseyo,” balasku hangat.
“Jung-Sin, kau masih suka latihan menyanyi?” tanyanya – Min-Ah – sambil menggenggam tanganku.
“Ne (Ya), aku masih mengikutinya. Aku paling suka jika Guru vokal kita memainkan biolanya. Aku sangat suka.” ucapku sambil tersenyum padanya.
“Kau masih sering bersama Byul-in, kan?” tanya Min-Ah cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Aku tak mau kehilanganmu, Jung-Sin,”
—
Pagi ini aku berangkat terlalu pagi sepertinya. Tak biasanya, aku berangkat sepagi ini. Gedung sekolah terlihat begitu angker dan mencekam hari ini. Apalagi di lantai dua dan ujung koridor itu. Di sana selalu tampak wanita sedang berlari. Kakinya ramping. Rambutnya panjang. Gadis misterius itu selalu melintas jika keadaan sekolah sedang sepi.
“Jung-Sin -ah!”
“Hhah!”
Aku langsung berbalik ketika sebuah tangan menyapa pundakku. Di sana telah berdiri Byul-In dengan wajah heran melihatku begitu terkejut.
“Ah, ternyata kau Byul-In.” ucapku sedikit malu sekaligus gugup.
“Mianhae (Maaf), aku tadi mengejutkanmu, ya? Geundae (Omong-omong), bagaimana lagu ciptaan barumu? Aku belum menemukan inspirasi untuk membuatnya. Dan aku yakin, kau pasti sudah, kan?” tanya Byul-In. Aku tersenyum kecil padanya.
“Hahah, tentu saja. Murid sepandai kau selalu mengerjakan sesuatu dengan cepat. Aku ingin sepertimu. Kau pandai, cantik, rendah hati lagi.” pujinya padaku. Aku masih tersenyum saja. Byul-In membalas senyumanku semanis mungkin yang bisa dia berikan.
“Jung-Sin -ah, aku harap kita selalu bisa bersama.” kata Byul-In sambil berjalan masuk menuju kelasnya. Aku tersenyum lagi. Kulajukan kembali kakiku menuju ruang kelasku. Di sana kosong.
“Ahh, belum ada siapa-siapa.” ucapku sendirian sambil menyimpan buku dan menggantungkan headset di telingaku.
“Emmmm, your my only one way, ojing noreul wonhae… em!” ucapku sambil sedikit bersenandung mendengarkan nyanyian dari earphoneku. Sebenarnya, ini adalah earphone pemberian dari Byul-In, setiap hari aku selalu membawanya. Kami adalah teman dekat.
“Jung-Sin -ah!” panggil seorang gadis yang suaranya sudah tak asing di telingaku. Min-Ah.
“Anyyeong, Min-Ah.” ucapku sambil membuka headset. Min-Ah sedikit cemberut.
“Waeyo (Kenapa)?” tanyaku sedikit heran.
“Kau masih menyimpannya? Itu pemberian Byul-In, kan?” tanya Min-Ah sedikit berang.
“Ne (Ya), ini dari Byul-In. Waeyo (Kenapa)? Ada masalah?” tanyaku sedikit muak padanya.
“Ye (Ya), itu masalah untukku! Aku ingin kau satu-satunya yang menjadi sahabatmu! Aku sudah setia padamu! Kau tak tahukah itu?” geram Min-Ah. Aku pun berdiri.
“Min-Ah! Aku memang sahabatmu! Kau memang sahabatku! Tapi, bukan berarti hanya kau sahabatku! Siapa saja boleh jadi sahabatku!” teriakku sedikit menggema. Kebetulan, di kelas hanya ada aku dan Min-Ah.
“Baiklah! Kalau begitu kita putus!” teriak Min-Ah.
Air mataku mengalir. Min-Ah bilang putus? Apakah hanya karena aku bersahabat dengan Byul-In aku harus putus persahabatan dengannya?”
“Jung-Sin -ah!”
“Hhah!”
Aku langsung berbalik ketika sebuah tangan menyapa pundakku. Di sana telah berdiri Byul-In dengan wajah heran melihatku begitu terkejut.
“Ah, ternyata kau Byul-In.” ucapku sedikit malu sekaligus gugup.
“Mianhae (Maaf), aku tadi mengejutkanmu, ya? Geundae (Omong-omong), bagaimana lagu ciptaan barumu? Aku belum menemukan inspirasi untuk membuatnya. Dan aku yakin, kau pasti sudah, kan?” tanya Byul-In. Aku tersenyum kecil padanya.
“Hahah, tentu saja. Murid sepandai kau selalu mengerjakan sesuatu dengan cepat. Aku ingin sepertimu. Kau pandai, cantik, rendah hati lagi.” pujinya padaku. Aku masih tersenyum saja. Byul-In membalas senyumanku semanis mungkin yang bisa dia berikan.
“Jung-Sin -ah, aku harap kita selalu bisa bersama.” kata Byul-In sambil berjalan masuk menuju kelasnya. Aku tersenyum lagi. Kulajukan kembali kakiku menuju ruang kelasku. Di sana kosong.
“Ahh, belum ada siapa-siapa.” ucapku sendirian sambil menyimpan buku dan menggantungkan headset di telingaku.
“Emmmm, your my only one way, ojing noreul wonhae… em!” ucapku sambil sedikit bersenandung mendengarkan nyanyian dari earphoneku. Sebenarnya, ini adalah earphone pemberian dari Byul-In, setiap hari aku selalu membawanya. Kami adalah teman dekat.
“Jung-Sin -ah!” panggil seorang gadis yang suaranya sudah tak asing di telingaku. Min-Ah.
“Anyyeong, Min-Ah.” ucapku sambil membuka headset. Min-Ah sedikit cemberut.
“Waeyo (Kenapa)?” tanyaku sedikit heran.
“Kau masih menyimpannya? Itu pemberian Byul-In, kan?” tanya Min-Ah sedikit berang.
“Ne (Ya), ini dari Byul-In. Waeyo (Kenapa)? Ada masalah?” tanyaku sedikit muak padanya.
“Ye (Ya), itu masalah untukku! Aku ingin kau satu-satunya yang menjadi sahabatmu! Aku sudah setia padamu! Kau tak tahukah itu?” geram Min-Ah. Aku pun berdiri.
“Min-Ah! Aku memang sahabatmu! Kau memang sahabatku! Tapi, bukan berarti hanya kau sahabatku! Siapa saja boleh jadi sahabatku!” teriakku sedikit menggema. Kebetulan, di kelas hanya ada aku dan Min-Ah.
“Baiklah! Kalau begitu kita putus!” teriak Min-Ah.
Air mataku mengalir. Min-Ah bilang putus? Apakah hanya karena aku bersahabat dengan Byul-In aku harus putus persahabatan dengannya?”
—
Aku terduduk di kursi panjang sambil menatap secarik foto yang berisikan aku dan Min-Ah. Rambutku yang panjang dengan poninya yang panjang terurai. Dan rambut sebahu Min-Ah dengan poni sedikit di atas alis juga terurai. Di foto itu, wajah kami saling bahagia. Senyum kami jelas menampakan senyuman paling bahagia yang kami punya. Aku masih ingat. Sampai sedetail kisahnya juga masih ingat.
—
“Jung-Sin -ah!” teriak Min-Ah.
“Eh, Anyyeong Min-Ah.” balasku sambil melambai padanya.
“Jung-Sin -ah, kita sudah lama bersama, aku mau kita menjadi sahabat, mulai dari hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini.” ucap Min-Ah sambil menggenggam tanganku.
“Ayo kita buat perjanjian, bahwa kita akan terus dan selalu bersama selamanya. Kau sahabatku, dan aku sahabatmu.” ucap Min-Ah lagi. Aku menatapnya. Min-Ah adalah gadis yang cantik. Dia juga pandai dan baik. Dari awal bertemu, aku sudah menyukainya.
“Min-Ah -ssi, aku mungkin tak akan menyebutkannya lagi nanti. Kau akan jadi orang yang paling dekat denganku.” ucapku sambil menggenggam tangannya.
“Kau mau menjadi sahabatku, Jung-Sin -ah?” tanya Min-Ah terlihat sangat bahagia. Aku mengangguk.
“Jijja (Sungguh)?” tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi.
“Oh, Jung-Sin! Hari ini akan menjadi hari terindah!” ucapnya sambil memelukku.
“Kajja (Ayo) kita berfoto bersama!” pintanya.
“Eh, Anyyeong Min-Ah.” balasku sambil melambai padanya.
“Jung-Sin -ah, kita sudah lama bersama, aku mau kita menjadi sahabat, mulai dari hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini.” ucap Min-Ah sambil menggenggam tanganku.
“Ayo kita buat perjanjian, bahwa kita akan terus dan selalu bersama selamanya. Kau sahabatku, dan aku sahabatmu.” ucap Min-Ah lagi. Aku menatapnya. Min-Ah adalah gadis yang cantik. Dia juga pandai dan baik. Dari awal bertemu, aku sudah menyukainya.
“Min-Ah -ssi, aku mungkin tak akan menyebutkannya lagi nanti. Kau akan jadi orang yang paling dekat denganku.” ucapku sambil menggenggam tangannya.
“Kau mau menjadi sahabatku, Jung-Sin -ah?” tanya Min-Ah terlihat sangat bahagia. Aku mengangguk.
“Jijja (Sungguh)?” tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi.
“Oh, Jung-Sin! Hari ini akan menjadi hari terindah!” ucapnya sambil memelukku.
“Kajja (Ayo) kita berfoto bersama!” pintanya.
—
Ya, masa itu adalah masa satu tahun kebelakang. Sejak saat itu, aku dan Min-Ah menjadi sahabat baik. Min-Ah, aku sangat menyukainya. Dia adalah teman yang sangat baik. Harus kuakui, aku tak gampang berteman dengan sembarang orang. Dan aku yakin, Min-Ah adalah teman yang sangat baik. Dia pandai, cantik dan sangat baik hati. Tapi terkadang dia seperti ini, egois.
Srrrtt!
Aku mendongak. Suara itu tiba-tiba muncul dari ujung koridor tepat di depan lift. Bayangan gadis berkaki ramping itu melintas di depan lift sangat cepat. Aku segera berlari untuk menanyakan siapa dia. Siapa gadis itu.
“Hey! Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?!” teriakku ketika dia melintas. Namun, dia tak berhenti. Dia selalu begitu. Dia amat membuatku penasaran.
“Jung-Sin -ah!” seru seseorang. Aku mendongak.
“Songsaengnim (Ibu Guru)!”
“Jung-Sin, aku harap setelah ujian nanti kau bisa membuatkan aku lagu. Lagu dengan judul Biola Kematian.” ucap Bu. Gin-Ha, Guru vocalku.
“Geu-Geurae (Baiklah).” ucapku sedikit gugup. Bu. Gin-Ha sedikit tersenyum dan pergi meninggalkanku sendiri. Dia bilang Biola Kematian? Untuk apa dia menginginkan aku mengarang lagu itu?
Srrrtt!
Aku mendongak. Suara itu tiba-tiba muncul dari ujung koridor tepat di depan lift. Bayangan gadis berkaki ramping itu melintas di depan lift sangat cepat. Aku segera berlari untuk menanyakan siapa dia. Siapa gadis itu.
“Hey! Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?!” teriakku ketika dia melintas. Namun, dia tak berhenti. Dia selalu begitu. Dia amat membuatku penasaran.
“Jung-Sin -ah!” seru seseorang. Aku mendongak.
“Songsaengnim (Ibu Guru)!”
“Jung-Sin, aku harap setelah ujian nanti kau bisa membuatkan aku lagu. Lagu dengan judul Biola Kematian.” ucap Bu. Gin-Ha, Guru vocalku.
“Geu-Geurae (Baiklah).” ucapku sedikit gugup. Bu. Gin-Ha sedikit tersenyum dan pergi meninggalkanku sendiri. Dia bilang Biola Kematian? Untuk apa dia menginginkan aku mengarang lagu itu?
—
Biola kematian
Datanglah dan nyanyikan
Gesekan biolamu sesuai dengan keinginan
Bukan keinginan kita
Namun itu keinginan nyanyian
Biola kematian
Jangan coba-coba memainkan
Karena itu alat pemanggil setan
Siapa saja yang berani mendengarkan alunannya yang mengagumkan
Akan membangunkan sang seniman
Biola kematian
Hati-hati dalam mendengarkan alunan
Jika nyanyian tak memerintahkan
Maka nyanyian akan menjadi pedang
Biola kematian
Lanjutkan jika telah menyanyikan
Jika tidak akan membuatku berang
Membuat berang sang seniman
Biola kematian
Jangan hiraukan lirik yang mencekam
Jangan hiraukan gangguan yang akan datang
Tapi harukan kematian
Kematian yang akan datang
Pada saat menghadang sebuah pertanyaan
Jika kau ingin selamat maka harus ada jawaban
Jawaban kematian
Jika kau tak bisa menjawab
Maka lehermu akan jadi penggantinya
Biola kematian
Datanglah dan nyanyikan
Gesekan biolamu sesuai dengan keinginan
Bukan keinginan kita
Namun itu keinginan nyanyian
Biola kematian
Jangan coba-coba memainkan
Karena itu alat pemanggil setan
Siapa saja yang berani mendengarkan alunannya yang mengagumkan
Akan membangunkan sang seniman
Biola kematian
Hati-hati dalam mendengarkan alunan
Jika nyanyian tak memerintahkan
Maka nyanyian akan menjadi pedang
Biola kematian
Lanjutkan jika telah menyanyikan
Jika tidak akan membuatku berang
Membuat berang sang seniman
Biola kematian
Jangan hiraukan lirik yang mencekam
Jangan hiraukan gangguan yang akan datang
Tapi harukan kematian
Kematian yang akan datang
Pada saat menghadang sebuah pertanyaan
Jika kau ingin selamat maka harus ada jawaban
Jawaban kematian
Jika kau tak bisa menjawab
Maka lehermu akan jadi penggantinya
Biola kematian
Lanjutkan
Aku terdiam lagi, apakah lirik ini benar-benar mencekam? Apakah lirik ini benar-benar memiliki rahasia? Aku tak tahu. Aku yang membuat lirik ini. Aku juga yang pasti tahu apa maksudnya, tapi entahlah!
Aku terdiam lagi, apakah lirik ini benar-benar mencekam? Apakah lirik ini benar-benar memiliki rahasia? Aku tak tahu. Aku yang membuat lirik ini. Aku juga yang pasti tahu apa maksudnya, tapi entahlah!
—
“Byul-In, kemarin aku disuruh membuat lagu oleh Songsaengnim. Aku sudah membuat liriknya, tapi aku belum menemukan nada yang tepat. Aku harap kau bisa menyanyikannya dengan nada yang bagus.” ucapku sambil menyondorkan secarik kertas yang berisi tentang lirik lagu yang kemarin kubuat. Byul-In tampak membacanya. Dia kelihatan sangat serius dalam membacanya.
“Eottokhae (Bagaimana)? Kau sudah menemukannya?” tanyaku. Byul-In terdiam. Dia lalu mengeluarkan bolpoin dan bukunya dari tas.
“Aku salin ini.” ucapnya. Aku mengangguk.
“Eottokhae (Bagaimana)? Kau sudah menemukannya?” tanyaku. Byul-In terdiam. Dia lalu mengeluarkan bolpoin dan bukunya dari tas.
“Aku salin ini.” ucapnya. Aku mengangguk.
—
Hari ini ujian telah berakhir. Min-Ah kelihatannya sedikit cuek ketika aku berbicara dengannya. Dan aku juga mengerti, dia pasti masih marah padaku.
“Min-Ah,” desahku.
“Mwo (Apa)?” tanyanya sedikit mengabaikanku.
“Aku tak mau kita putus. Shireo (Tak mau)!” pintaku padanya sambil menggenggam tangan kanannya.
“Arraseo (Aku mengerti).” ucapnya lalu melepaskan tanganku perlahan.
“Kau harus memberikan earphonemu itu pada Byul-In!” perintah Min-Ah.
“Dan satu lagi, jangan pernah lagi berbicara dengannya!” teriak Min-Ah.
“Hajiman (Tapi)…” ucapku terpotong ketika Min-Ah pergi.
“Min-Ah,” desahku.
“Mwo (Apa)?” tanyanya sedikit mengabaikanku.
“Aku tak mau kita putus. Shireo (Tak mau)!” pintaku padanya sambil menggenggam tangan kanannya.
“Arraseo (Aku mengerti).” ucapnya lalu melepaskan tanganku perlahan.
“Kau harus memberikan earphonemu itu pada Byul-In!” perintah Min-Ah.
“Dan satu lagi, jangan pernah lagi berbicara dengannya!” teriak Min-Ah.
“Hajiman (Tapi)…” ucapku terpotong ketika Min-Ah pergi.
—
“Byul-In -ssi!” teriakku ketika Byul-In lewat di depan lift.
“Anyyeong, Jung-Sin.” sapanya hangat.
“Byul-In, mianhae (maaf)!” ucapku sambil memberikan earphone dan segera berlalu dengan berlinang air mata. Aku masih ingat, aku sangat ingat ketika dia memberikan earphonenya untukku.
“Anyyeong, Jung-Sin.” sapanya hangat.
“Byul-In, mianhae (maaf)!” ucapku sambil memberikan earphone dan segera berlalu dengan berlinang air mata. Aku masih ingat, aku sangat ingat ketika dia memberikan earphonenya untukku.
—
“Jung-Sin, aku sangat mengangumi suaramu. Kau memiliki suara yang amat bagus. Aku sangat ingin sekali mempunyai suara sepertimu. Ini, aku berikan padamu.” ucapnya sambil memberikan sebuah earphone padaku. Aku menatapnya.
“Aku baru membelinya sekitar seminggu yang lalu. Setiap aku mendengarkannya, aku selalu merasa tenang. Dan aku tahu, kau juga harus mencobanya, untuk suaramu. Kau bisa berlatih agar lebih bagus.” ucap Byul-In sambil memamerkan senyum terbaiknya.
“Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya.”
“Aku baru membelinya sekitar seminggu yang lalu. Setiap aku mendengarkannya, aku selalu merasa tenang. Dan aku tahu, kau juga harus mencobanya, untuk suaramu. Kau bisa berlatih agar lebih bagus.” ucap Byul-In sambil memamerkan senyum terbaiknya.
“Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya.”
—
“Jung-Sin -ah!” teriak Byul-In. Aku terhenti.
“Aku tak percaya kau masih menyimpannya. Ini kan sudah setahun yang lalu. Kau benar-benar merawat dan menyimpanya. Tak ada yang berubah dari benda ini, masih sama dan persis seperti waktu aku memberikannya padamu. Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya.” ucap Byul-In sambil berlalu. Aku menahan air mataku. Kugigit bibirku keras. Aku tak mau. Aku tak mau!
“Aku tak percaya kau masih menyimpannya. Ini kan sudah setahun yang lalu. Kau benar-benar merawat dan menyimpanya. Tak ada yang berubah dari benda ini, masih sama dan persis seperti waktu aku memberikannya padamu. Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya.” ucap Byul-In sambil berlalu. Aku menahan air mataku. Kugigit bibirku keras. Aku tak mau. Aku tak mau!
—
Hari ini adalah pembagian hasil ujian. Aku sudah mempersiapkan diri kalau-kalau nilai ujianku tak sesuai dengan yang aku inginkan. Hari ini aku sengaja berangkat lebih pagi. Dan seperti biasa, gadis misterius itu datang lagi.
“Anyyeong! Ireumi mwoyeyo (Siapa namamu)?” teriakku. Gadis itu terhenti.
“Datangi aku setelah hasil pembagian ujian. Dan datangi aku saat keadaan sekolah sepi.” ucapnya dingin. Aku menelan ludah.
“Satu lagi, jangan ingkari janjimu. Kau harus mendatangiku!” ucapnya sambil berlari dan berlalu.
“Anyyeong! Ireumi mwoyeyo (Siapa namamu)?” teriakku. Gadis itu terhenti.
“Datangi aku setelah hasil pembagian ujian. Dan datangi aku saat keadaan sekolah sepi.” ucapnya dingin. Aku menelan ludah.
“Satu lagi, jangan ingkari janjimu. Kau harus mendatangiku!” ucapnya sambil berlari dan berlalu.
—
“Min-Ah, lihat! Nilai ujianku nyaris sempurna!” ucapku sambil menyondorkan kertas hasil ujianku padanya.
“Chukae (Selamat).” ucap Min-Ah sedikit murung. Aku pun segera melihat hasil ujiannya. Hanya berbeda 0,1 denganku. Nilaiku lebih baik. Perbedaannya tidak besar.
“Min-Ah, hari ini kita pulang bersama, yuk!” ajakku padanya. Min-Ah sedikit menggeleng.
“Mianhae (Maaf), aku harus menjenguk Eommaku yang sedang sakit.” ucapnya.
“Aku ikut!” kataku.
“Andwae (Jangan)!” ucapnya sambil berjalan menjauhiku. Aku terdiam.
“Chukae (Selamat).” ucap Min-Ah sedikit murung. Aku pun segera melihat hasil ujiannya. Hanya berbeda 0,1 denganku. Nilaiku lebih baik. Perbedaannya tidak besar.
“Min-Ah, hari ini kita pulang bersama, yuk!” ajakku padanya. Min-Ah sedikit menggeleng.
“Mianhae (Maaf), aku harus menjenguk Eommaku yang sedang sakit.” ucapnya.
“Aku ikut!” kataku.
“Andwae (Jangan)!” ucapnya sambil berjalan menjauhiku. Aku terdiam.
—
Seperti yang dikatakan gadis tadi, aku harus menemuinya sepulang sekolah. Ya, turuti saja. Lagipula aku sangat penasaran terhadapnya. Siapa dia sebenarnya, dia tak pernah menampakan wajahnya. Aku pun berjalan sendirian di atas koridor ini. Di sekolah sudah sangat sepi. Mungkin hanya tinggal aku sendiri di sini.
Dan akhirnya seorang yang aku tunggu datang. Dia melintas cepat di depan lift dan berlari menuju ruang bawah sekolah. Aku mengejarnya. Dia sedang berdiri di ruang bawah. Dia tampak menggenggam kertas dan sedikit meremasnya.
“I-Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?” tanyaku sedikit gugup. Gadis itu berbalik. Seketika, darahku langsung naik dan tiba-tiba aku terhenti.
“Mi-Min-Ah!” ucapku gelagapan.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku sedikit mundur.
Dia melaju ke arahku. Matanya merah dan sedikit lebam. Dia mengarahkan kertas itu padaku. Kertas itu adalah kertas hasil ujian!
“Min-Ah, itu bukan kau, kan? Katakan bukan! Marhaebwa (Katakan)!” teriakku sambil terus berjalan mundur. Detak jantungku seakan terhenti. Nadiku seakan tak ada denyutan. Dan darahku seperti telah membeku dan terhenti.
“Jung-Sin -ah! Kau telah merebut segalanya!” teriaknya sambil melemparkan kertas ujian itu tepat di leherku.
Aku terpaku. Kutatap secarik kertas yang tertancap tajam di leherku itu. Perlahan, darah mengalir dan berjatuhan di baju dan seluruh tubuhku. Kulihat Min-Ah tersenyum sinis sambil berlalu dan tertawa licik. Sementara aku masih berdiri dengan pandangan berkunang-kunang. Rasa sakit menjalar dengan cepat. Rasanya seperti urat-urat tubuh ini tercabut dari tubuhku. Aku terjatuh. Aku tersungkur. Terakhir kali yang aku ingat adalah suasana GELAP!
“I-Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?” tanyaku sedikit gugup. Gadis itu berbalik. Seketika, darahku langsung naik dan tiba-tiba aku terhenti.
“Mi-Min-Ah!” ucapku gelagapan.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku sedikit mundur.
Dia melaju ke arahku. Matanya merah dan sedikit lebam. Dia mengarahkan kertas itu padaku. Kertas itu adalah kertas hasil ujian!
“Min-Ah, itu bukan kau, kan? Katakan bukan! Marhaebwa (Katakan)!” teriakku sambil terus berjalan mundur. Detak jantungku seakan terhenti. Nadiku seakan tak ada denyutan. Dan darahku seperti telah membeku dan terhenti.
“Jung-Sin -ah! Kau telah merebut segalanya!” teriaknya sambil melemparkan kertas ujian itu tepat di leherku.
Aku terpaku. Kutatap secarik kertas yang tertancap tajam di leherku itu. Perlahan, darah mengalir dan berjatuhan di baju dan seluruh tubuhku. Kulihat Min-Ah tersenyum sinis sambil berlalu dan tertawa licik. Sementara aku masih berdiri dengan pandangan berkunang-kunang. Rasa sakit menjalar dengan cepat. Rasanya seperti urat-urat tubuh ini tercabut dari tubuhku. Aku terjatuh. Aku tersungkur. Terakhir kali yang aku ingat adalah suasana GELAP!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar