Darah mengalir dengan perlahan dari luka yang terbuka. Kau tersenyum padaku seakan menjahit mili demi mili luka ini. Perih menjalar ke urat sarafku menyadarkan otakku, aku mulai memutar lagi rekaman tadi, apa yang terjadi dan mengapa bisa? aku mencari tahu di wajahmu apakah kau menyimpan sesuatu yang tak kuingat. Coba katakan dan jujurlah. Walau aku akan lebih menderita pun tak apa karena hal ini akan lebih baik kurasakan daripada kau sembunyikan belati di belakang punggungmu, wow, aku mulai menduga kau terlibat dalam masalah besar ini, kasih.
Terserah bila terus kau bermain petak umpet dengan pikiranku, aku menyapamu tapi suaramu seperti lirih angin meniup kelambu abu abu bercorak angsa, kau seperti putri angsa berdiri di dekat jendela. Kau tersenyum pada seorang perempuan berbaju putih putih dengan topi kecil di atas rambut bersanggul yang tiba tiba saja menyembunyikan wajah mungilmu dan tubuh pendatang ini benar benar kelebihan ukuran tidak hanya wajahmu yang ingin selalu kulihat lagi tapi juga seluruh tubuhmu menghilang begitu saja entah kau kini beringsut kemana?
Entah apa yang dikatakan perempuan itu dia memakai bahasa yang tak kumengerti. Aku mulai memanggil namamu, tak ada sahutan. Ahk, rupanya kau sudah tak di kotak kubus putih dengan sedikit garis biru selang seling di tengah horizontalnya. Punggung berseragam itu memenuhi lebar pintu, sebelum menghilang dia memalingkan muka dan melempar senyum sinis, kepalanya terangkat dan lenyap. Oh, apa aku sekarang selalu berpraduga apakah benar perempuan itu tersenyum sinis atau justru tersenyum manis. Hei! di mana dirimu? jangan tinggalkan aku dengan selimut belang belang ini.
Bahkan aku hampir memekik tapi senyummu tak hadir di mataku. Kasiih…apakah aku bersuara?
Aku masih berkutat dengan detil, tak kusangka kau akan membanting semua isi rak piring kita. Berhambur memenuhi lantai bersemen. Mataku menangkap matamu. Kau beringas menghibas semua uluranku. Aku terdesak ke dinding dan terpeleset ketika tumpuanku pada selembar kertas detail terakhirku, ironis selembar kertas yang kucari sedari tadi telah membuatku celaka, tubuhku terbanting di atas serpihan gelas dan piring di atas lantai bersemen. Kau tak menjerit bahkan kau tidak meminta pertolongan seperti biasa saat kita bertengkar, kau hanya mematung dan gerai rambutmu melukiskan kekuasaanmu.
Pagi itu rencanaku menyerahkan tulisan terakhirku dan itu memang sudah kutekadkan menjadi tulisan terakhir demi janjiku padamu mengapa kau tak memberi kesempatan sekali ini bukankah dengan selesai berkas terakhirku maka kau akan memilikiku seutuhnya dan kau akan membawaku ke tengah ladang kentang di tempat ketinggian di tanah pelantaran candi para pandawa, Dieng.
Kau mengeluh malam malammu penuh dengan kebosananan dan kau tak berani untuk sedikit bermain main seperti yang kau tuduhkan padaku jika aku berhari hari tak hadir di dekatmu, kau bergumam dengan suara sengau bahwa aku telah terlalu lelah dengan beberapa wanita. Kau berbisik kepada dinding, bahwa kebahagiaanmu telah kurampas sejak aku melamarmu. Bila terjadi mengapa kau bersedia di bawah sumpah dengan ijab qobul di depan para wali dan saksi, kau dengar gemuruh itu ketika penghulu baru selesai mengucap pertanyaan, sah? sah !!! gemuruh memenuhi ruangan rumahmu hingga ke lorong lorong desamu mungkin juga ke tebing dan jurang Kejajar. Kau menulis di setiap perabot rumah tangga kita tentang prilakuku yang tidak dekat dengan sempurna bahkan kau mulai berani membandingkan dengan panutan yang kau dapat di luar sana. kau menyanyi di seluruh ruangan rumah kita dengan seribu bait lirik keresahanmu. Api api yang kau nyalakan di setiap tungku seperti rasa di dadamu.
Menulis sudah terlanjur menjadi jembatanku. Tulisan untuk memenuhi dahaga para editor tabloib murahan itu juga memenuhi dahagaku. Sebelum kukenal gadis desa yang datang mengganti tugas bibinya sebagai pembantu di tempat aku kost yang ternyata adalah Ayu Ningrum, aku telah makan dari tulisanku jadi mengapa? Memang kaya jauh dari tanganku, bukankah aku telah jujur sejak semula dan kau telah kuberi pilihan untuk menikah dengan pemuda gagah Atmo yang katamu seperti rambo. Aku adalah pilihanmu dan aku memilihmu dengan semua alasan dan pertimbangan. Ketika kau bertanya tentang cinta aku pertamanya menyembunyikan di balik tutur kataku, sesungguhnya aku tidak mencintaimu. Hanya waktu dan kebutuhanlah yang meyeret hatiku untuk kemudian aku mengakui bahwa aku telah benar larut dalam mencintaimu, Kasih.
Kau ingin aku bekerja seperti Atmo yang jelas kedudukannya sebagai tukang aduk semen sehingga setiap sabtu sore kau bilang dapat bersama dengan Titin dan Wati pergi shoping ke mini market. Kau berseru mengapa aku tidak ikut kakakmu yang seharian duduk membungkuk menyambung lembar lembar kain untuk sebuah baju. Untuk seperti Atmo jelas aku tidak punya otot otot sepertinya dan mengaduk seharian bisa bisa aku tidak berdiri dengan lurus lagi sedang mengikut kakak ipar berarti aku harus bertarung dengan lubang kecil dan seutas benang bagaimana bisa aku menuntaskan untuk selembar baju pun bila benang tak masuk juga ke lubang jarumnya. Untuk semua alasanku kau bilang preeeet.
Aku memang tidak selalu menulis waktuku habis untuk mengadu nasib, ke utara selatan memperdagangkan ijasahku, beberapa pekerjaan pada mulanya sempat membuat senyum manismu terbit kembali tapi hanya sesaat setelah aku lunglai dengan pekerjaanku dan bosan menyergap kau mulai menunjukkan taringmu. Kemudian kau mulai ambil keputusan untuk mencekalku dengan tidak lagi berbagi tempat tidur. Tidur sendiri tanpa dengkurmu aku masih bisa bermimpi. Lalu kau mengambil keputusan menunda mempunyai anak kupikir kau akan dingin setelah beberapa hari namun sudah berbilang bulan kau masih dengan tulisan dengan tinta merah di pintui kamar kita yang kini hanya menjadi kamarmu dengan tulisan “Dilarang Masuk BAgi Yang Tidak Berkepentingan” yang kau pungut dari tempat kerja barumu di toko sepatu di bilangan pasar baru. Aku mempunyai kepentingan karena aku masih pejantanmu, Kasih.
Ya pagi itu aku ingat sekarang. Setelah sarapan dan meminum teh racikanmu yang daunnya kau dapatkan dari kerbatmu di desa kau menagih janji bahwa kita akan segera berkemas meninggalkan kota serakah ini, meninggalkan tempat remahan seperti tong sampah. Katamu kita ini sepansang anjing buduk yang berjatah remah yang bau. Ya, kujawab. Ya kita akan pergi setelah tulisanku ini terbayar dan tiba tiba saja kau histeris dan mulai mengamuk. piring piring meluncur begitu saja menghantam lantai semen, pecah seperti hati kita, gelas beradu denting lalu menyusul berkeping hancur seperti hati kita. Kita.
Aku memekik lagi kurasakan otot leherku menonjol, jemariku tergetar kaku hanya putaran kipas di langit langit yang kujumpa tidak wajahmu. Putaran baling baling itu senyap.
Entah aku bermimpi atau tidak kini aku melihat Atmo berdiri menyerengai di samping tubuhku yang terbujur di tempat tidur besi disebelahnya Titin, Wati, kakak iparku dan kau Kasih. Wajah Titin, Wati, kakak iparku penuh keharuan dan wajahmu penuh misteri.
Kasih aku mau mencangkul di ladang kita. Kasih aku mau berotot seperti Atmo. Aku akan membungkuk seharian menyambung kain bila kau mau seperti kakakmu. Aku akan selalu di belakangmu. Katamu dingin dieng akan membuat peranakanmu subur dan aku akan mempunyai keturunan berkecambah. Kasih dengarkan suara hatiku. Bacalah tulisan mataku di matamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar