Aku melirik pemuda yang duduk tepat di sebelah bangkuku. Begitu tampan dan mempesona. Sesuai dengan namanya, Dimas Anandara. Seragam abu-abunya melekat sempurna di tubuhnya yang bidang dan tegap. Pemuda inilah yang berhasil mencuri perhatian seluruh gadis di sekolahku. Termaksud Diana, sahabatku.
Dan aku mengutuk keberuntunganku untuk duduk sebangku dengan pemuda ini. Aku tidak membenci pemuda itu. Justru sebaliknya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi “sahabat” adalah satu-satunya hal yang menghalangiku untuk jatuh cinta lebih dalam padanya.
Dan aku mengutuk keberuntunganku untuk duduk sebangku dengan pemuda ini. Aku tidak membenci pemuda itu. Justru sebaliknya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi “sahabat” adalah satu-satunya hal yang menghalangiku untuk jatuh cinta lebih dalam padanya.
“Ah, Maaf.” Ucapku saat tanpa sengaja tanganku bersentuhan dengan tangannya ketika akan mengambil penghapusku yang terjatuh.
“Tidak apa.” Suaranya yang merdu dan senyumnya yang memukau membuatku terpana. Tapi sedetik kemudian aku berusaha mengusir perasaan itu. Inilah yang aku takutkan, duduk di sampingnya membuatku terpesona padanya.
“Tukeran tempat duduk ya.” Ucap Diana. Dan aku hanya bisa mengangguk seperti robot. Bagaimanapun, aku tidak mungkin mengkhianati maupun menyaingi Diana yang seorang primadona sekolah.
“Tidak apa.” Suaranya yang merdu dan senyumnya yang memukau membuatku terpana. Tapi sedetik kemudian aku berusaha mengusir perasaan itu. Inilah yang aku takutkan, duduk di sampingnya membuatku terpesona padanya.
“Tukeran tempat duduk ya.” Ucap Diana. Dan aku hanya bisa mengangguk seperti robot. Bagaimanapun, aku tidak mungkin mengkhianati maupun menyaingi Diana yang seorang primadona sekolah.
Aku berjalan menuju tempat duduk Diana yang terletak hanya 2 baris setelah bangkuku. Romeo, teman sebangku Diana, hanya menatapku dengan pandangan heran tapi tak berani banyak bertanya.
Aku menatap nanar pada sosok Diana yang berusaha mempengaruhi Dimas dengan pesonanya. Melihat mereka berdua aku merasa mereka pasangan yang benar-benar serasi. Dimas yang tampan dan Diana yang sangat cantik. Seperti seorang pangeran dan putri yang ditakdirkan untuk bersama. Sedangkan aku dayangnya. Aku memang harus melupakannya dan lebih realistis. Aku harus mencari lelaki yang biasa-biasa saja, bukan mengharapkan seorang pangeran seperti Dimas.
Apakah ini mimpi? Apakah penglihatanku salah? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun orang yang bisa aku jadikan alasan, agar aku tidak menjadi besar kepala. Tapi tidak ada seorangpun yang berada disitu selain aku.
Apakah ini mimpi? Apakah penglihatanku salah? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun orang yang bisa aku jadikan alasan, agar aku tidak menjadi besar kepala. Tapi tidak ada seorangpun yang berada disitu selain aku.
Meja sebelah kiriku kosong, sedangkan sebelah kanan dan belakangku tembok, depanku kawanan para murid kelas 1 yang berisikan para lelaki. Mungkinkah ia berjalan ke arah mereka? Tidak, jelas-jelas matanya terarah padaku. Tubuhku serasa menjadi kaku, dan kakiku mati rasa. Aku tidak tahu, apa tujuannya datang menghampiriku. Sekali lagi aku merutuki nasibku. Seandainya saja tadi aku menunggu Diana rapat Osis bersamanya, bukannya memilih untuk duduk sendirian di pojokkan kantin demi mengisi lambungku yang sudah bermetalan ria. Aku tidak ingin mengkhianati Diana dan merusak persahabatanku. Jadi, akan lebih baik bila aku menyingkir dari sini.
Dengan tergesa, aku berdiri dan berjalan menuju pintu belakang secepat mungkin. Untunglah suasana saat itu ramai, sehingga aku yakin ia pasti tidak akan mengejarku. Dan ternyata dugaanku salah besar. Begitu keluar dari pintu belakang suasana begitu sepi, sungguh berbeda dengan di dalam kantin. Saat akan melangkah pergi menuju kelas. Tiba-tiba, sebuah tangan mencekal lenganku. Mataku melebar saat melihat pelakunya.
“Ada apa?” tanyaku tergagap.
“Kenapa kau menghindariku?” suaranya lembut namun tegas. Raut wajahnya mengeras.
“Aku tidak menghindarimu.” Suaraku bergetar menyadari tangan besarnya tetap berada di lenganku.
“Kau menghindariku. Tadi, kau pergi begitu melihatku datang. Dan kau pindah ke bangku Nadia.”
“Aku tidak menghindarimu. Lagi pula itu hak-ku. Kita tidak ada apa-apa.” Aku terkejut mendengar ketegasan dalam suaraku. Ucapanku membuatnya melepaskan tangannya dan anehnya aku merasakan kehilangan.
“Aku hanya ingin duduk denganmu.” Kata-kata itu hampir membuat aku melayang.
Dengan susah payah aku menggerakkan bibirku, “Mengapa?”
“Karena, aku menyukaimu.” Sekarang aku benar-benar melayang. Tapi sesosok gadis cantik menghampiri benakku dan membuatku jatuh ke bumi.
“Aku tidak menyukaimu.” Lidahku terasa kelu ketika mengucapkannya.
“Kau berbohong.” Ya, itu benar. Aku berbohong tapi aku tidak ingin mengakuinya,
“Aku tidak berbohong.”
“Kau tidak berbohong. Hanya tidak jujur. Apa ini karena Diana?” ucapannya menusuk tepat di jantungku. Aku terdiam tidak bisa membalas. Tangannya terangkat dan mengusap pipiku sekilas.
“Aku akan mendapatkanmu.” Setelah mengucapkannya, ia melangkah pergi menghilang dari pandanganku.
“Ada apa?” tanyaku tergagap.
“Kenapa kau menghindariku?” suaranya lembut namun tegas. Raut wajahnya mengeras.
“Aku tidak menghindarimu.” Suaraku bergetar menyadari tangan besarnya tetap berada di lenganku.
“Kau menghindariku. Tadi, kau pergi begitu melihatku datang. Dan kau pindah ke bangku Nadia.”
“Aku tidak menghindarimu. Lagi pula itu hak-ku. Kita tidak ada apa-apa.” Aku terkejut mendengar ketegasan dalam suaraku. Ucapanku membuatnya melepaskan tangannya dan anehnya aku merasakan kehilangan.
“Aku hanya ingin duduk denganmu.” Kata-kata itu hampir membuat aku melayang.
Dengan susah payah aku menggerakkan bibirku, “Mengapa?”
“Karena, aku menyukaimu.” Sekarang aku benar-benar melayang. Tapi sesosok gadis cantik menghampiri benakku dan membuatku jatuh ke bumi.
“Aku tidak menyukaimu.” Lidahku terasa kelu ketika mengucapkannya.
“Kau berbohong.” Ya, itu benar. Aku berbohong tapi aku tidak ingin mengakuinya,
“Aku tidak berbohong.”
“Kau tidak berbohong. Hanya tidak jujur. Apa ini karena Diana?” ucapannya menusuk tepat di jantungku. Aku terdiam tidak bisa membalas. Tangannya terangkat dan mengusap pipiku sekilas.
“Aku akan mendapatkanmu.” Setelah mengucapkannya, ia melangkah pergi menghilang dari pandanganku.
Aku termagu. Kehangatan jemarinya masih membekas. Dan kata-katanya terngiang di kepalaku. Mendadak, kepala terasa begitu penuh dan dunia seakan berputar. Kakiku seakan tak kuat menahan beban tubuhku. Aku berjongkok dan menyerukkan kepalaku di atas lututku. Bayangan Diana dan ucapan pemuda itu terus berputar memenuhi kepalaku. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat ucapan kakak sepupuku beberapa waktu lalu “Masa SMA adalah masa terumit dan masa dimana kamu harus bisa belajar untuk mengambil keputusan sendiri.” Ya, itu benar. Aku bukan masih SMA tapi aku sudah SMA. Mau tak mau, aku harus belajar mengambil keputusan dan menghadapinya. Diana atau Dimas, Pemuda bangku sebelah yang sanggup mencuri hatiku sejak lama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar