Aku masih tidak mengerti mengapa aku bisa tertarik pada gadis itu. Gadis yang duduk di bangku sebelahku. Ia tidak istimewa, ia tidak memiliki wajah seperti malaikat, ia tidak berpakaian trendi dan ia tidak banyak bicara. Namun ia memiliki daya tarik tersendiri di mataku. Kulitnya berwarna kuning. Wajahnya begitu teduh dan menyenangkan. Ia selalu berpakaian sederhana. Ia hanya memoleskan bedak tipis di wajahnya, tidak seperti kebanyakan gadis yang aku kenal dengan berlomba-lomba menggunakan bedak dan make-up hingga terlihat mengerikan di mataku. Gadis itu juga tidak berusaha menarik perhatianku seperti gadis-gadis yang berada di sekelilingku, termaksud sahabat gadis itu yang aku tahu namanya Diana.
“Ah, maaf.” Ucap gadis itu saat kulit kami bersentuhan ketika ia meraih penghapusnya yang jatuh di sebelahku dan aku bermaksud mengambilkannya. Aku bisa melihat rona wajahnya yang terlihat menggemaskan dan kegugupan yang terpancar jelas di matanya.
Aku tersenyum, “Tidak apa.” ucapku pelan. Aku bisa melihatnya tersenyum gugup kemudian dengan cepat mengalihkan wajahnya dan menyembunyikannya dibalik helaian rambut panjangnya yang indah. Aku berusaha menahan diriku untuk menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahnya ke belakang telinganya hanya untuk melihat wajahnya yang terlihat begitu cantik di mataku.
“Halo, Dimas.” Sapa Diana, sahabat dari gadis itu, Putri Anandyana. Aku mengangkat sebelah alisku saat melihatnya menjatuhkan pantatnya di kursi milik Putri. Gadis yang bernama Diana tersenyum menggoda melihatku menatapnya. Mungkin ia berpikir bahwa aku tertarik pada dirinya. Padahal aku hanya tertarik pada sahabatnya saja. Gadis seperti Diana selalu bisa aku temukan dimana saja, tapi tidak untuk gadis itu. Aku hanya membalas senyum Diana dengan kaku, kemudian mengalihkan wajahku ke atas buku fisika dan berusaha berkonsentrasi pada pelajaran.
Aku tersenyum, “Tidak apa.” ucapku pelan. Aku bisa melihatnya tersenyum gugup kemudian dengan cepat mengalihkan wajahnya dan menyembunyikannya dibalik helaian rambut panjangnya yang indah. Aku berusaha menahan diriku untuk menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahnya ke belakang telinganya hanya untuk melihat wajahnya yang terlihat begitu cantik di mataku.
“Halo, Dimas.” Sapa Diana, sahabat dari gadis itu, Putri Anandyana. Aku mengangkat sebelah alisku saat melihatnya menjatuhkan pantatnya di kursi milik Putri. Gadis yang bernama Diana tersenyum menggoda melihatku menatapnya. Mungkin ia berpikir bahwa aku tertarik pada dirinya. Padahal aku hanya tertarik pada sahabatnya saja. Gadis seperti Diana selalu bisa aku temukan dimana saja, tapi tidak untuk gadis itu. Aku hanya membalas senyum Diana dengan kaku, kemudian mengalihkan wajahku ke atas buku fisika dan berusaha berkonsentrasi pada pelajaran.
Sudah beberapa hari ini aku tidak duduk bersebelahan dengan gadis itu. Diana terus saja duduk di bangku itu. Sedangkan gadis itu duduk di bangku milik Diana, di sebelah Romeo, pemuda paling cupu dan kaku menurutku. Betapa beruntungnya Romeo, duduk bersebelahan dengan gadis itu. Awas saja jika dia berani menggoda gadis itu. Aku tidak akan segan-segan untuk menghajarnya. Sekalipun hal itu akan membuat reputasiku buruk.
Mataku terus menjelajah, mencari sosok gadis yang telah membawa hatiku. Tapi aku tidak melihatnya dimanapun. Dia tidak berada di kelas, tidak juga di perpustakaan, taman dan lapangan basket pun aku tidak melihat sosoknya. Padahal aku benar-benar berniat untuk menanyakan alasan sesungguhnya mengapa ia menghindari diriku. Jika aku berbuat salah padanya, aku akan meminta maaf padanya dan memintanya untuk duduk kembali di sebelahku. Aku sudah muak duduk di samping gadis bernama Diana itu. Ia sama saja dengan gadis-gadis lainnya yang penuh dengan kepalsuan. Berusaha menarik perhatianku dengan cerita-ceritanya yang terlalu dibuat-buat. Misalnya saja tadi pagi. Ketika pelajaran sosiologi berlangsung. Ia bercerita bahwa ia sangat suka bersosialisasi dengan cara mengunjungi pasar-pasar tradisional dan berbelanja di sana. Jelas saja aku hanya bisa mengerutkan kening. Bagian mana yang menjadi ‘sosialisasi’? Aku langsung menangkap bahwa gadis ini adalah gadis yang manja, bodoh dan suka seenaknya. Ia bahkan tidak mengerti apa itu sosialisasi. Aku benar-benar heran. Bagaimana bisa ia memiliki sahabat yang berbeda 180° dengannya? Entahlah, dunia ini memang penuh misteri.
Aku menghela nafas panjang saat tidak menemukan gadis itu dimanapun. Aku melirik jam yang melingkar di tangan kiriku. Waktu istirahat tinggal 10 menit lagi. Tinggal satu tempat yang belum aku cari. Kantin. Apakah ia berada di sana? Tapi biasanya gadis itu sangat jarang makan di kantin bila tanpa Diana. Aku tahu bahwa Diana salah seorang pengurus OSIS dan ia ada rapat pengurus saat itu. Aku bukan tahu karena aku mencari tahu. Aku mengetahuinya karena Diana sendiri yang memberitahukanku. Tapi tak ada salahnya bukan mencari gadis itu di kantin? Dengan langkah mantap aku berjalan menuju kantin yang terletak di belakang gedung sekolahku.
Sesampainya di kantin aku mengernyitkan dahiku melihat lautan para siswa yang membuatku pusing dengan hanya melihatnya. Para siswa sedang berlomba untuk mendapatkan makan siang yang mereka inginkan. Apakah gadis itu ada di sini? Bagaimana mencarinya di tengah keramaian seperti ini. Mataku terus menjelajah, mencari sosoknya. Namun sekian menit aku mencarinya, tetap saja aku tidak dapat menemukannya.
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu yang tadi aku masuki. Tiba-tiba saja mataku menangkap sosok gadis itu sedang duduk sendiri di meja kantin yang berada di sudut kantin. Sepertinya gadis itu telah menyelesaikan makan siangnya karena di hadapannya terdapat piring kosong dan gelas yang berisi chocolate milk, minuman favoritnya, yang masih tersisa setengah gelas. Aku tersenyum lega melihat gadis itu. Perlahan aku melangkahkan kakiku ke arahnya. Pandangan kami bertemu. Ia tampak kebingungan melihatku berjalan menuju meja tempat ia berada. Ia menolehkan kepalanya beberapa kali. Setelah menyadari bahwa aku benar-benar berjalan ke arahnya, dengan cepat ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar kantin.
Suasana yang ramai saat itu benar-benar sangat menguntungkan gadis itu. Aku benar-benar kesulitan untuk mengikutinya. Tapi aku tidak ingin melepaskannya. Mencari gadis itu benar-benar membutuhkan usaha keras dan aku tidak mau menyiakan kesempatan ini. Dan akhirnya aku bisa keluar dari kantin itu melalui pintu belakang. Aku menolehkan kepalaku mencari sosoknya. Tampaknya usahaku tidak sia-sia saat melihat punggungnya yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Dengan cepat aku segera meraih pergelangan tangannya. Gadis itu tampak terkejut saat melihat aku berhasil menyusulnya.
“Ada apa?” tanyanya tergagap.
“Mengapa kau menghindariku?” aku balik bertanya padanya dengan suara selembut mungkin. Aku tidak ingin membuatnya lari dariku.
“Aku tidak menghindarimu.” Jawabnya dengan suara paling merdu yang pernah aku dengar. Aku mengangkat sebelah alisku menatapnya yang tidak berani menatapku. Aku bisa merasakan ia berbohong. Entah dari mana, dugaan itu melintas begitu saja di kepalaku. Gadis ini menyukaiku.
“Kau menghindariku. Tadi kau pergi saat melihat aku datang. Kau juga pindah ke bangku Diana.”
“Aku tidak menghindarimu. Lagi pula itu hak-ku. Kita tidak ada apa-apa” aku sedikit terkejut mendengar ketegasan dalam nada bicaranya. Namun aku bisa melihat, matanya mengkhianati suara dan perasaannya. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku dan seketika aku merasa kekosongan.
“Aku hanya ingin duduk denganmu.” Kata-kata itu meluncur keluar begitu saja dari bibirku. Ia tampak terpaku mendengar ucapanku.
“Mengapa?” tanyanya lirih.
Aku terdiam sejenak kemudian tersenyum, “Karena aku menyukaimu.” Aku memutuskan untuk jujur padanya, agar ia tidak dapat lari lagi dariku.
“Aku tidak menyukaimu.” Ucapannya membuat tubuhku membeku. Tapi melihat sinar matanya yang seperti ingin menangis membuatku langsung menyadarinya.
“Kau berbohong.” Kataku lirih.
“Aku tidak berbohong.”
“Kau tidak berbohong. Hanya tidak jujur. Apa ini karena Diana?” tubuhnya menegang saat mendengarku menyebut nama sahabatnya. Sepertinya dugaanku tepat. Perlahan tanganku terulur ke arahnya. Dengan lembut aku mengusap pipinya, berusaha sekeras mungkin untuk tidak meraihnya ke dalam pelukanku.
“Aku akan mendapatkanmu.” ucapku dengan sepenuh hati dan penuh tekad. Aku bisa melihat ia terpaku mendengar ucapanku. Aku tersenyum padanya kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi meninggalkannya.
“Ada apa?” tanyanya tergagap.
“Mengapa kau menghindariku?” aku balik bertanya padanya dengan suara selembut mungkin. Aku tidak ingin membuatnya lari dariku.
“Aku tidak menghindarimu.” Jawabnya dengan suara paling merdu yang pernah aku dengar. Aku mengangkat sebelah alisku menatapnya yang tidak berani menatapku. Aku bisa merasakan ia berbohong. Entah dari mana, dugaan itu melintas begitu saja di kepalaku. Gadis ini menyukaiku.
“Kau menghindariku. Tadi kau pergi saat melihat aku datang. Kau juga pindah ke bangku Diana.”
“Aku tidak menghindarimu. Lagi pula itu hak-ku. Kita tidak ada apa-apa” aku sedikit terkejut mendengar ketegasan dalam nada bicaranya. Namun aku bisa melihat, matanya mengkhianati suara dan perasaannya. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku dan seketika aku merasa kekosongan.
“Aku hanya ingin duduk denganmu.” Kata-kata itu meluncur keluar begitu saja dari bibirku. Ia tampak terpaku mendengar ucapanku.
“Mengapa?” tanyanya lirih.
Aku terdiam sejenak kemudian tersenyum, “Karena aku menyukaimu.” Aku memutuskan untuk jujur padanya, agar ia tidak dapat lari lagi dariku.
“Aku tidak menyukaimu.” Ucapannya membuat tubuhku membeku. Tapi melihat sinar matanya yang seperti ingin menangis membuatku langsung menyadarinya.
“Kau berbohong.” Kataku lirih.
“Aku tidak berbohong.”
“Kau tidak berbohong. Hanya tidak jujur. Apa ini karena Diana?” tubuhnya menegang saat mendengarku menyebut nama sahabatnya. Sepertinya dugaanku tepat. Perlahan tanganku terulur ke arahnya. Dengan lembut aku mengusap pipinya, berusaha sekeras mungkin untuk tidak meraihnya ke dalam pelukanku.
“Aku akan mendapatkanmu.” ucapku dengan sepenuh hati dan penuh tekad. Aku bisa melihat ia terpaku mendengar ucapanku. Aku tersenyum padanya kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi meninggalkannya.
Aku tidak akan pernah melepaskan gadis ini. Gadis yang sanggup mencuri hatiku. Seperti kata ayahku, “Kau sudah SMA. Jika kau menyukai seseorang dan merasa ia tepat untukmu. Berjuanglah sekeras mungkin sebagai lelaki.” Itu benar! Aku bukan lelaki yang baru menjejaki bangku SMA tetapi aku lelaki yang sudah menjejaki bangku SMA. Aku pasti akan mendapatkanya, Putri Annandyana, gadis penghuni bangku sebelah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar