Di salah satu sekolah swasta Yogyakarta, ada 2 anak yang menjalin persahabatan sejak mereka bertemu saat kelas X di SMA-nya. Nina dan Nana. Mereka bersekolah di sekolah islami. Tidak salah jika mereka selalu rajin beribadah. Nana selalu mengingatkan Nina sahabatnya untuk mengerjakan sholat 5 waktu. “Nin, ayo sholat. main hape terus aja!” Nana menyeret tangan Nina untuk masuk ke musholla. Ketika Nana sedang sakit, Nina selalu memberi semangat untuk Nana. Dan saat Nina sedang sedih, Nana akan berusaha selalu ada untuknya. Sampai barang-barang yang mereka punya pun banyak yang sama. Seperti tempat makan, sepatu, jam tangan, dan masa lalunya saja hampir mirip.
Orang bilang, persahabatan tidak mengenal namanya perbedaan, waktu, jarak, maupun harta. Apapun itu, sahabat akan tetap ada. Sahabat sejati tidak akan pergi walaupun dia telah disia-siakan bahkan tidak dianggap akan arti perbuatan dan kehadirannya. Dalam benak seorang sahabat adalah selalu bisa dan selalu ada untuk orang yang ada di dekatnya. Kita sering berdebat saat berbeda pendapat. Semakin besar perbedaan itu, kita bisa belajar banyak hal. Sahabat akan selalu memotivasi kita agar selalu tegar menghadapi cobaan hidup yang seringkali datang di saat yang tak terduga. Tanpa hadirnya seorang sahabat dalam hidup kita, pasti tak akan ada yang mampu mengerti. Meskipun memiliki teman yang sangat banyak, namun satu orang sahabat akan jauh lebih berarti ketimbang seribu teman biasa. Ketulusan merupakan faktor utama yang harus kita depankan dalam menjalin persahabatan.
“Nana, Nanaaa” seorang gadis yang tingginya kira-kira 169 cm itu berlari memanggil sahabatnya. Nana menoleh ke belakang. “Kenapa Nin? Kok lari-lari gitu? Sambil nangis lagi”. Nina mengusap air matanya.
“Aku nggakpapa, Nana”
“Beneran, Nin?”
“Iya bener! Udah ayo pulang aja”
“Tapi kan aku nggak tenang kalau kamu lagi sedih gitu kamunya nggak cerita”
“Entar aja deh Nan, aku certain di rumahku”
“Aku nggakpapa, Nana”
“Beneran, Nin?”
“Iya bener! Udah ayo pulang aja”
“Tapi kan aku nggak tenang kalau kamu lagi sedih gitu kamunya nggak cerita”
“Entar aja deh Nan, aku certain di rumahku”
Mereka berjalan menuju rumah Nina. Di sepanjang perjalanan, mereka cuma diam-diaman. Sesampai di rumah Nina, mereka berdua duduk di teras. “Jadi, gimana ceritanya Nin?” Nana menyuruhnya untuk bercerita.
“Ehmm, gimana ya? Bingung”.
“Loh? Gimana Sih?” Tanya Nana keheranan.
Nina menghembuskan nafas secara perlahan-lahan. Mencoba untuk menenangkan diri agar bisa lancar bercerita dengan sahabatnya itu. “Aku habis putus Nan. Sama Wahyu”. Wahyu adalah pacarnya Nina. Mereka menjalin hubungan itu selama 14 bulan. Cukup lama juga sih.
“Kenapa putus nin?”
“Yaah, mungkin karena kita udah nggak sejalan. Udahlah Nan, nggak usah ngomongin itu lagi. Makan yuk sambil nunggu waktu sholat”.
“Ehmm, gimana ya? Bingung”.
“Loh? Gimana Sih?” Tanya Nana keheranan.
Nina menghembuskan nafas secara perlahan-lahan. Mencoba untuk menenangkan diri agar bisa lancar bercerita dengan sahabatnya itu. “Aku habis putus Nan. Sama Wahyu”. Wahyu adalah pacarnya Nina. Mereka menjalin hubungan itu selama 14 bulan. Cukup lama juga sih.
“Kenapa putus nin?”
“Yaah, mungkin karena kita udah nggak sejalan. Udahlah Nan, nggak usah ngomongin itu lagi. Makan yuk sambil nunggu waktu sholat”.
Pagi harinya.
“Dia benci aku, dia suka aku, dia benci aku…” lirih Nina sambil memetik satu persatu bunga mawar yang ada di tangannya. Nana hanya bisa tertawa dalam hati melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Bagaimana tidak? Dia selalu melakukan ini hampir setiap hari setelah pelajaran seni musik. Nana cuma bisa prihatin. Apakah yang dilakukan seorang laki-laki itu kepada sahabatku? Nana selalu bertanya-tanya dalam hatinya. Karena Nana tak tega, ia langsung menghampiri Nina.
Ku lihat sekeliling rumput tersebut telah penuh dengan serpihan kelopak bunga berwarna merah dan pink. Sepertinya Nina sudah benar-benar putus asa. “Kenapa Nin? Kok mukamu ditekuk gitu?” tanya Nana sambil memberikan permen lollipop untuk Nina. Nina hanya menggeleng dan menerima lollipop itu. Tampak bulir-bulir air keluar dari sudut matanya.
“Aduuh kacang deh. Di diemin muluk gue. Kenapa sih Nin? Wahyu lagi? Nyakitin kamu lagi? Wahyu punya pacar lagi? Apa kamu yang belum bisa move on?”
“Aku baru belajar move on nih Nan. Kok susah ya”.
“Perlahan kamu pasti bisa”. Nana mensupportnya. Nina pun membalas senyumnya.
“Dia benci aku, dia suka aku, dia benci aku…” lirih Nina sambil memetik satu persatu bunga mawar yang ada di tangannya. Nana hanya bisa tertawa dalam hati melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Bagaimana tidak? Dia selalu melakukan ini hampir setiap hari setelah pelajaran seni musik. Nana cuma bisa prihatin. Apakah yang dilakukan seorang laki-laki itu kepada sahabatku? Nana selalu bertanya-tanya dalam hatinya. Karena Nana tak tega, ia langsung menghampiri Nina.
Ku lihat sekeliling rumput tersebut telah penuh dengan serpihan kelopak bunga berwarna merah dan pink. Sepertinya Nina sudah benar-benar putus asa. “Kenapa Nin? Kok mukamu ditekuk gitu?” tanya Nana sambil memberikan permen lollipop untuk Nina. Nina hanya menggeleng dan menerima lollipop itu. Tampak bulir-bulir air keluar dari sudut matanya.
“Aduuh kacang deh. Di diemin muluk gue. Kenapa sih Nin? Wahyu lagi? Nyakitin kamu lagi? Wahyu punya pacar lagi? Apa kamu yang belum bisa move on?”
“Aku baru belajar move on nih Nan. Kok susah ya”.
“Perlahan kamu pasti bisa”. Nana mensupportnya. Nina pun membalas senyumnya.
“Kak Nana, bangun dong! Gimana sih, udah siang tau!” teriak Yosfin, adik tirinya yang baru masuk SD dan super bawel itu.
“Hmm… ntar dong. Bentar lagi ya,” kata Nana sambil menutup bantal ke wajahnya.
Yosfin emang kelewatan. Dia nggak tahu apa kalau tadi gue lagi asyik mimpi ngedate bareng Vino G. Bastian? Awas aja ntar kalau gue udah bangun. Gue pecat tuh anak jadi adik. Biar tahu rasa!
“Astaga kak Nanaa. Katanya kemarin Kak Nana hari ini ada ulangan? Gimana sih ini kakak?”
“Yosfiiiiin… Kenapa nggak bangunin Kakak dari tadi?!” teriak Nana kelabakan menuju kamar mandi.
“Hmm… ntar dong. Bentar lagi ya,” kata Nana sambil menutup bantal ke wajahnya.
Yosfin emang kelewatan. Dia nggak tahu apa kalau tadi gue lagi asyik mimpi ngedate bareng Vino G. Bastian? Awas aja ntar kalau gue udah bangun. Gue pecat tuh anak jadi adik. Biar tahu rasa!
“Astaga kak Nanaa. Katanya kemarin Kak Nana hari ini ada ulangan? Gimana sih ini kakak?”
“Yosfiiiiin… Kenapa nggak bangunin Kakak dari tadi?!” teriak Nana kelabakan menuju kamar mandi.
Selamat Pagi…
“Pak, tunggu dong!” teriak Nana dari pelataran sekolahnya. Dari jauh Pak Bejo geleng-geleng kepala melihat Nana yang berlari kencang.
“Makasih bapaak…” katanya sambil nyengir, begitu sukses menerobos masuk melewati pintu yang nyaris terkunci. Dengan santai dia menuju kelasnya di lantai dua, ruang XI IPS.
“Eh, morning Non…” sapa Nina dengan senyum manisnya. “Begadang ya semalem? Kayaknya siap tempur nih”, ledek Nina sambil nenteng-nenteng buku Geografi di tangannya.
“Boro-boro. Semalem aku diajakin nonton film horor Thailand sama kak Icha. Ih sumpah, nggak ngeri sih. Malah romantis banget tuh film”, terang Nina berapi-api.
Tiba-tiba saja situasi mendadak tenang. Kode yang satu ini memang ampuh. Anak-anak yang masih asyik bikin contekan, kontan langsung berhenti dan menyelamatkan catatan yang sudah mereka buat. Begitu pun Nana dan Nina. Mereka duduk di tempatnya masing-masing. Saat-saat seperti inilah yang menentukan prestasi. Tapi tampaknya hal itu tidak berlaku bagi Nana yang mati kutu lantaran dapat tempat persis di depan guru pengawasnya. Jadi sebelum mulai mengerjakan soal, dia hanya bisa berdoa selama dan sehikmat mungkin. Semoga Allah memberinya kelancaran.
“Pak, tunggu dong!” teriak Nana dari pelataran sekolahnya. Dari jauh Pak Bejo geleng-geleng kepala melihat Nana yang berlari kencang.
“Makasih bapaak…” katanya sambil nyengir, begitu sukses menerobos masuk melewati pintu yang nyaris terkunci. Dengan santai dia menuju kelasnya di lantai dua, ruang XI IPS.
“Eh, morning Non…” sapa Nina dengan senyum manisnya. “Begadang ya semalem? Kayaknya siap tempur nih”, ledek Nina sambil nenteng-nenteng buku Geografi di tangannya.
“Boro-boro. Semalem aku diajakin nonton film horor Thailand sama kak Icha. Ih sumpah, nggak ngeri sih. Malah romantis banget tuh film”, terang Nina berapi-api.
Tiba-tiba saja situasi mendadak tenang. Kode yang satu ini memang ampuh. Anak-anak yang masih asyik bikin contekan, kontan langsung berhenti dan menyelamatkan catatan yang sudah mereka buat. Begitu pun Nana dan Nina. Mereka duduk di tempatnya masing-masing. Saat-saat seperti inilah yang menentukan prestasi. Tapi tampaknya hal itu tidak berlaku bagi Nana yang mati kutu lantaran dapat tempat persis di depan guru pengawasnya. Jadi sebelum mulai mengerjakan soal, dia hanya bisa berdoa selama dan sehikmat mungkin. Semoga Allah memberinya kelancaran.
Satu setengah jam sudah berlalu dan baru setengahnya mampu ia jawab. Matanya dengan cekatan menoleh ke arah Nina yang duduk di seberangnya. Aaa gimana ini? Soalnya yang susah atau jangan-jangan gue yang lemot, pikir Nana. Baru saja ingin bertanya, kawannya malah keburu ngasih kode 4, dengan jari dan gerak bibrnya. Sial, itu kan yang mau aku tanyain ke dia. Pasrah aja deh. Kerjain sendiri. Lagian nyontek apa nggak nyontek nilainya sama aja.
Dua jam yang menyiksa pun berlalu. Suasana kelas menjadi gaduh kembali. Kebanyakan dari mereka membahas soal yang susahnya minta ampun. Apalagi pengawasan yang dilakukan guru itu. Guru yang terkenal paling killer seantero sekolahnya. Nana hanya bisa menaruh tangan dan kepalanya di atas meja, membiarkan matanya terpejam untuk tidur sebentar.
“Nana cantiik, capek ya? Ini aku bawain jus alpukat kesukaan kamu deh”, terdengar suara sahabatnya Nana langsung membuka matanya.
“Eh, Nina, baik banget kamu. Makasih ya. Tau aja kalau aku lagi stress”, Nana memeluk Nina dan meneguk gelas yang berisi jus alpukat. “Emm, ngomong-ngomong udah bisa move on nih Nin? Kok kamu sumringah begitu sekarang?” lanjut Nana.
“Udah dong Nan. Udah ada cowok yang bisa ngehibur aku tuh sekarang. Seseorang dari masa lalu”,
“Wadaw, ciyeciye Nina. Siapa sih? Kok nggak cerita?”
“Itu tuh Dhefry. Orangnya baik banget eh Nan. Haha. Seneng banget” Nina tersenyum riang.
Sudah satu pekan belakangan ini Nina berubah. Tak ada lagi air mata yang mengalir dari sudut mata ke pipinya. Dia tampak terlihat begitu ceria, lebih baik daripada yang kemarin. Sosok Dhefry yang selalu menjadi heronya. Bisa membuat Nina ceria kembali. Pantes aja, keren banget, batin Nana.
“Nana cantiik, capek ya? Ini aku bawain jus alpukat kesukaan kamu deh”, terdengar suara sahabatnya Nana langsung membuka matanya.
“Eh, Nina, baik banget kamu. Makasih ya. Tau aja kalau aku lagi stress”, Nana memeluk Nina dan meneguk gelas yang berisi jus alpukat. “Emm, ngomong-ngomong udah bisa move on nih Nin? Kok kamu sumringah begitu sekarang?” lanjut Nana.
“Udah dong Nan. Udah ada cowok yang bisa ngehibur aku tuh sekarang. Seseorang dari masa lalu”,
“Wadaw, ciyeciye Nina. Siapa sih? Kok nggak cerita?”
“Itu tuh Dhefry. Orangnya baik banget eh Nan. Haha. Seneng banget” Nina tersenyum riang.
Sudah satu pekan belakangan ini Nina berubah. Tak ada lagi air mata yang mengalir dari sudut mata ke pipinya. Dia tampak terlihat begitu ceria, lebih baik daripada yang kemarin. Sosok Dhefry yang selalu menjadi heronya. Bisa membuat Nina ceria kembali. Pantes aja, keren banget, batin Nana.
Nana tengah membolak-balik album fotonya yang hampir bertahun-tahun tidak pernah lagi disentuhnya. Di setiap halaman, Nana mengamati betul wajah ibundanya. Ingatan Nana kembali ke beberapa tahun yang lalu, ketika menghabiskan hari-harinya bersama bunda, yang kini tidak lagi bersamanya. Ingatan barusan membuatnya sedih, tapi begitu Nana mengamati lagi wajah ibundanya di foto yang sedang tertawa geli gara-gara di cium lumba-lumba saat nonton sirkus dahulu, kesedihan Nana berangsur hilang. Senyumannya kini terkembang menghiasi wajahnya.
Tanpa sadar Nana sudah menghabiskan waktunya berjam-jam untuk melihat album fotonya sejak pulang sekolah tadi. “Oh iya, ada janjian nih ngerjain tugas kelompok di rumah Nina”. Nana merapikan album-album foto itu dan ia kembalikan pada rak buku di depan kamarnya.
“Ayah, Nana pergi dulu ya”
“Ayah antar ya?”
“Nggak usah Yah”
“Ayah antar aja.”
“Nggak usah Ayah”
“Iya aja Nana.”
“Ayah!!”
“Ya udah, hati-hati ya. Jangan pulang kemaleman. Jangan nongkrong di pinggir jalan. Jangan dekat sama laki-laki yang Ayah belum kenal.”
Ini bukan yang pertama kalinya Ayah memaksa Nana untuk mengantar ke rumah Nina. Padahal rumah Nina tidak begitu jauh dengan rumah Nana. Tapi Ayahnya tipe orang yang gampang cemas setelah Nana tak bersama ibundanya. Tiap malam Minggu, bahkan nonton sekalipun tidak akan pernah diizinkan. Itu karena tidak ada lagi yang mampu membujuk Ayah sejitu ibundanya Nana.
Alasan selalu ada. Nonton itu pemborosan lah! Harga tiketnya aja udah mahal, belum lagi makanannya. Tapi sekali nonton juga nggak bakal bikin bangkrut, orang yang bayar pakai uang Nana sendiri. Hasil Nana kerja!
Tapi emang dasarnya Nana yang badung, sekali-sekali dilanggarnya. Kadang-kadang Ayahnya telepon kakaknya untuk ngecek bahwa Nana sudah pulang atau belum. Untuk urusan belajar dan tugas kelompok juga sama. Meskipun diizinkan, tetapi tetap saja diberi batasan soal kapan Nana harus pulang dan berapa lama ia boleh ada di rumah temannya.
“Ayah, Nana pergi dulu ya”
“Ayah antar ya?”
“Nggak usah Yah”
“Ayah antar aja.”
“Nggak usah Ayah”
“Iya aja Nana.”
“Ayah!!”
“Ya udah, hati-hati ya. Jangan pulang kemaleman. Jangan nongkrong di pinggir jalan. Jangan dekat sama laki-laki yang Ayah belum kenal.”
Ini bukan yang pertama kalinya Ayah memaksa Nana untuk mengantar ke rumah Nina. Padahal rumah Nina tidak begitu jauh dengan rumah Nana. Tapi Ayahnya tipe orang yang gampang cemas setelah Nana tak bersama ibundanya. Tiap malam Minggu, bahkan nonton sekalipun tidak akan pernah diizinkan. Itu karena tidak ada lagi yang mampu membujuk Ayah sejitu ibundanya Nana.
Alasan selalu ada. Nonton itu pemborosan lah! Harga tiketnya aja udah mahal, belum lagi makanannya. Tapi sekali nonton juga nggak bakal bikin bangkrut, orang yang bayar pakai uang Nana sendiri. Hasil Nana kerja!
Tapi emang dasarnya Nana yang badung, sekali-sekali dilanggarnya. Kadang-kadang Ayahnya telepon kakaknya untuk ngecek bahwa Nana sudah pulang atau belum. Untuk urusan belajar dan tugas kelompok juga sama. Meskipun diizinkan, tetapi tetap saja diberi batasan soal kapan Nana harus pulang dan berapa lama ia boleh ada di rumah temannya.
Seperti biasa, setelah jam sekolah berakhir, Nana menemukan Ayahnya yang berada dalam mobil yang terpakir di depan sekolahnya. “Nana, kok cemberut sih? Orang habis dapet ilmu kok gitu? Harusnya seneng dong”.
“Yeee, seneng apanya? Di sekolah sama sekali nggak ada yang bikin happy. Tuh kalau mereka pasti niat ke sekolah orang ada penyemangat”. Nana membalas sekenanya sambil menunjuk dua sejoli yang sedang asyik berduaan.
“Jadi kamu pengen pacaran? Kenapa gak semangat? kan kamu punya sahabat, tuh Nina. Yang setia sama kamu.”
“Nina kan sahabat Nana, Yah. Masak Nana besok nikahin Nina? Nina kan cewek, Yah. Dia juga udah punya pacar tau! Pas pergi, terus kalau dia berdua, Nana sama siapa dong? Satpam yang jaga di Mal?” ujar Nana kesal.
“Ya ampun, tapi kan kamu nggak jadi gembel. Kasian juga kamu, belum laku”. Sindir Ayahnya.
“Ayah ini apa-apaan sih? Nana juga banyak yang naksir, tapi kebetulan aja pas Nana nggak selera. Nggak usah ngehina gitu deh. Nana kan cantik masa nggak laku”. jawab Nana ketus.
“Lagian Ayah juga nggak ngizinin kamu pacaran kok”. Ayah Nana terbahak-bahak.
Bagai disambar petir. Nana bengong. Bagai teriris-iris lengkap sudah penderitaannya.
Nana bercerita panik kepada sahabatnya, Nina. “Masa, Nin, bokap gue ngomong kayak gitu! Nggak ngerti bakal gimana nasibku kalau nanti aku benar-benar jatuh cinta sama cowok. Masa perasaanku mesti ditahan-tahan? Keburu hilang dong”.
“Nan, kamu jatuh cinta? Bakalan apa dong ya?” tanya Nina sangsi.
“Ninaaa. Kok nanyanya gitu sih? Nyebelin ah!”
“Haha. Bercanda Nana. Udah deh tenang aja. Sebentar lagi kan kamu 17 tahun. Kamu inget nggak yang Ayah kamu bilang? Katanya kamu bakal di bebasin? Gimana sih nih Nana.”
“Iya juga sih Nin. Tapi kalau itu beneran. Coba kalau enggak.”
“Yeee, seneng apanya? Di sekolah sama sekali nggak ada yang bikin happy. Tuh kalau mereka pasti niat ke sekolah orang ada penyemangat”. Nana membalas sekenanya sambil menunjuk dua sejoli yang sedang asyik berduaan.
“Jadi kamu pengen pacaran? Kenapa gak semangat? kan kamu punya sahabat, tuh Nina. Yang setia sama kamu.”
“Nina kan sahabat Nana, Yah. Masak Nana besok nikahin Nina? Nina kan cewek, Yah. Dia juga udah punya pacar tau! Pas pergi, terus kalau dia berdua, Nana sama siapa dong? Satpam yang jaga di Mal?” ujar Nana kesal.
“Ya ampun, tapi kan kamu nggak jadi gembel. Kasian juga kamu, belum laku”. Sindir Ayahnya.
“Ayah ini apa-apaan sih? Nana juga banyak yang naksir, tapi kebetulan aja pas Nana nggak selera. Nggak usah ngehina gitu deh. Nana kan cantik masa nggak laku”. jawab Nana ketus.
“Lagian Ayah juga nggak ngizinin kamu pacaran kok”. Ayah Nana terbahak-bahak.
Bagai disambar petir. Nana bengong. Bagai teriris-iris lengkap sudah penderitaannya.
Nana bercerita panik kepada sahabatnya, Nina. “Masa, Nin, bokap gue ngomong kayak gitu! Nggak ngerti bakal gimana nasibku kalau nanti aku benar-benar jatuh cinta sama cowok. Masa perasaanku mesti ditahan-tahan? Keburu hilang dong”.
“Nan, kamu jatuh cinta? Bakalan apa dong ya?” tanya Nina sangsi.
“Ninaaa. Kok nanyanya gitu sih? Nyebelin ah!”
“Haha. Bercanda Nana. Udah deh tenang aja. Sebentar lagi kan kamu 17 tahun. Kamu inget nggak yang Ayah kamu bilang? Katanya kamu bakal di bebasin? Gimana sih nih Nana.”
“Iya juga sih Nin. Tapi kalau itu beneran. Coba kalau enggak.”
—
“Nanaaaaaa, ikut aku yuk. Nonton pertandingan futsal. Sekalian cuci mata, nonton Dhefry.”
“Ayooo, cepet Na!”, Nina menyeret tangan Nana yang sedang berdiri terbengong-bengong itu.
Mereka nebeng di mobilnya Candra supaya bisa nonton pertandingan futsal. Candra adalah salah satu teman cowok yang paling baik dan dekat dengan mereka.
Karena takut terjebak macet di jalan raya, Candra memilih untuk melewati jalan alternatif, yaitu jalan kampong. Nana dan Nina yang agak-agak tidak tahu jalan itu nurut aja.
“Kamu tau nggak sih, Ndra? Tempat futsalnya dimana?” tanya Nana kesal pada Candra karena lama dalam perjalanan.
“Setauku ya sekitar sini sih, ada belokannya”.
“Buruan dong, Candra! Pertandingan udah mau dimulai nih! Aku nggak mau ketinggalan. Ntar nggak dapet tempat duduk yang enak lagi. Sia-sia kan aku begadang nyiapin tulisan segede bagong gini kalau enggak kepakai” Nina mencerocos.
“Ah, bawel deh nih dua anak. Masih mending aku mau nganterin kalian. Coba kalau enggak. Jalan kaki mana sampai. Emang kalian mau?.” Candra tak mau mengalah.
“Nah tuh Nin, Ndra, kita udah sampai. Udah dong ributnya” Nana menengahi pertengkarannya.
Seorang tukang parkir berlari menuju mereka berada. “Terus, terus, terus, terus, Yak! Hop!”. tiba-tiba… JEDUUUG!!
“Astaghfirullah, jangan-jangan mobil kamu njedukin tembok tuh Ndra. Keluar yuk liat” Nana panik.
“Gilaa Ndra, mobil kamu. Beneran kejeduk tembok!” teriak Nina.
Tukang parkir itu datang dan berkata “Ada yang bisa saya bantu mas, mbak?”
“Iya mas, ada banget. Gini ya mas, udah berapa lama sih Mas jadi tukang parkir? Kok mobil teman saya sampai parah begini ya penyoknya?” tanya Nana dengan nada menyindir.
“Tau nggak sih Mas? Mobil saya tuh beli pakai duit. Bukan pakai gado-gado. Gado-gado aja belinya pakai duit, kecuali kalau saya penjualnya. Saya nggak usah beli, tinggal bikin aja. Ini kan mobil mas, bukan punya saya lagi” kata Candra ngotot.
“Ih apaan sih nih Candra, makin ngelantur aja ngomongnya. Protes atau ngebahas tukang gado-gado? Udah yuk itu urusan entar aja. Nonton dulu. Tuh udah banyak yang masuk.” Nina kesal.
“Ayooo, cepet Na!”, Nina menyeret tangan Nana yang sedang berdiri terbengong-bengong itu.
Mereka nebeng di mobilnya Candra supaya bisa nonton pertandingan futsal. Candra adalah salah satu teman cowok yang paling baik dan dekat dengan mereka.
Karena takut terjebak macet di jalan raya, Candra memilih untuk melewati jalan alternatif, yaitu jalan kampong. Nana dan Nina yang agak-agak tidak tahu jalan itu nurut aja.
“Kamu tau nggak sih, Ndra? Tempat futsalnya dimana?” tanya Nana kesal pada Candra karena lama dalam perjalanan.
“Setauku ya sekitar sini sih, ada belokannya”.
“Buruan dong, Candra! Pertandingan udah mau dimulai nih! Aku nggak mau ketinggalan. Ntar nggak dapet tempat duduk yang enak lagi. Sia-sia kan aku begadang nyiapin tulisan segede bagong gini kalau enggak kepakai” Nina mencerocos.
“Ah, bawel deh nih dua anak. Masih mending aku mau nganterin kalian. Coba kalau enggak. Jalan kaki mana sampai. Emang kalian mau?.” Candra tak mau mengalah.
“Nah tuh Nin, Ndra, kita udah sampai. Udah dong ributnya” Nana menengahi pertengkarannya.
Seorang tukang parkir berlari menuju mereka berada. “Terus, terus, terus, terus, Yak! Hop!”. tiba-tiba… JEDUUUG!!
“Astaghfirullah, jangan-jangan mobil kamu njedukin tembok tuh Ndra. Keluar yuk liat” Nana panik.
“Gilaa Ndra, mobil kamu. Beneran kejeduk tembok!” teriak Nina.
Tukang parkir itu datang dan berkata “Ada yang bisa saya bantu mas, mbak?”
“Iya mas, ada banget. Gini ya mas, udah berapa lama sih Mas jadi tukang parkir? Kok mobil teman saya sampai parah begini ya penyoknya?” tanya Nana dengan nada menyindir.
“Tau nggak sih Mas? Mobil saya tuh beli pakai duit. Bukan pakai gado-gado. Gado-gado aja belinya pakai duit, kecuali kalau saya penjualnya. Saya nggak usah beli, tinggal bikin aja. Ini kan mobil mas, bukan punya saya lagi” kata Candra ngotot.
“Ih apaan sih nih Candra, makin ngelantur aja ngomongnya. Protes atau ngebahas tukang gado-gado? Udah yuk itu urusan entar aja. Nonton dulu. Tuh udah banyak yang masuk.” Nina kesal.
4 jam berlalu, akhirnya 3 – 0 dapat di menangkan oleh tim Dhefry. Nina yang sedang kegirangan itu sampai lupa bahwa dia sedang berada dengan kedua temannya. “Heh, Nina, pulang kagak?” Candra membuyarkan lamunannya.
“iya Ndra, pulang. Tapi bentar dulu dong nunggu Dhefry ganti baju dulu”.
“Ini jam berapa Nin? Udah mau maghrib keburu tuh mobil dipakai ibuku!” rengek Candra.
“Ah ya udah deh Ndra, aku pulang sama Dhefry aja. Kamu anterin Nana sampai rumah ya. Awas lho kalau Nana sampai lecet!” ancam Nina pada Candra
“Kamu pikir Nana apa’an? Mobil aku yang lecet kok bukan Nana!”
“Hahaha. Makasih banyak ya Ndra. Aku doain deh semoga mobil kamu kembali seperti semula. Amin”. Nina menepuk pundak Candra.
“Heeey, Nina” Dhefry datang dengan menenteng tasnya.
“Eh, Hai Dhef, kenalin ini sahabat aku. Nana. terus yang cowok ini Candra.” Nina menyeret mereka untuk berkenalan dahulu.
“Hai Nana, Candra. Salam kenal ya” kata Dhefry tersenyum.
“Iya, salam kenal juga ya Dhefry” balas Nana dan Candra serentak.
“Nina, ini buat kamu…” Dhefry menyerahkan sekitar 7 tangkai bunga mawar cantik berwarna-warni.
“Oh, iya… iya,” jawab Nina salah tingkah.
Nina buru-buru menerima bunga itu. Soalnya Nina agak grogi sekaligus salah tingkah waktu Dhefry member bunga mawar itu.
“Ini karena kamu udah mensupport aku Nin. Makasih ya udah ngeluangin waktu cuma buat aku. Mau teriak-teriak demi aku. Haus nggak Nin? Nih aku bawain minum juga,” Dhefry berkata-kata sampai Nina tak bisa menjawabnya.
“Ciyeciye, so sweet banget nih. Bakalan dapet pajak nih kita Ndra,” ujar Nana dengan menyenggol Candra.
“Siap-siap aja deh kalian. Bakal aku buat heboh di sekolah besok.” Candra histeris.
Nina, Dhefry, Nana, dan Candra tertawa bersama dan jalan menuju parkiran.
“iya Ndra, pulang. Tapi bentar dulu dong nunggu Dhefry ganti baju dulu”.
“Ini jam berapa Nin? Udah mau maghrib keburu tuh mobil dipakai ibuku!” rengek Candra.
“Ah ya udah deh Ndra, aku pulang sama Dhefry aja. Kamu anterin Nana sampai rumah ya. Awas lho kalau Nana sampai lecet!” ancam Nina pada Candra
“Kamu pikir Nana apa’an? Mobil aku yang lecet kok bukan Nana!”
“Hahaha. Makasih banyak ya Ndra. Aku doain deh semoga mobil kamu kembali seperti semula. Amin”. Nina menepuk pundak Candra.
“Heeey, Nina” Dhefry datang dengan menenteng tasnya.
“Eh, Hai Dhef, kenalin ini sahabat aku. Nana. terus yang cowok ini Candra.” Nina menyeret mereka untuk berkenalan dahulu.
“Hai Nana, Candra. Salam kenal ya” kata Dhefry tersenyum.
“Iya, salam kenal juga ya Dhefry” balas Nana dan Candra serentak.
“Nina, ini buat kamu…” Dhefry menyerahkan sekitar 7 tangkai bunga mawar cantik berwarna-warni.
“Oh, iya… iya,” jawab Nina salah tingkah.
Nina buru-buru menerima bunga itu. Soalnya Nina agak grogi sekaligus salah tingkah waktu Dhefry member bunga mawar itu.
“Ini karena kamu udah mensupport aku Nin. Makasih ya udah ngeluangin waktu cuma buat aku. Mau teriak-teriak demi aku. Haus nggak Nin? Nih aku bawain minum juga,” Dhefry berkata-kata sampai Nina tak bisa menjawabnya.
“Ciyeciye, so sweet banget nih. Bakalan dapet pajak nih kita Ndra,” ujar Nana dengan menyenggol Candra.
“Siap-siap aja deh kalian. Bakal aku buat heboh di sekolah besok.” Candra histeris.
Nina, Dhefry, Nana, dan Candra tertawa bersama dan jalan menuju parkiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar