Aku duduk bersama dengan capucino buatan ibu di teras rumah sambil memperhatikan keluarga yang baru pindah tepat di depan rumahku. Aku melihat anak perempuan yang air mukanya begitu pucat di penglihatanku. Aku terus memperhatikannya, dia begitu cantik menurutku. Kulitnya putih susu, rambutnya panjang agak kecoklatan, dia memakai baju lengan panjang berwarna biru polos, celana sampai betis dan dia memegang sebuah buku yang tidak begitu jelas kulihat karena agak jauh dariku. Mereka sangat sibuk menurunkan barang dari mobil openkap, sedangkan anak perempuan itu hanya duduk di teras sambil membaca buku. Nampaknya ibunya melarangnya bekerja. Aku terus memperhatikan tanpa sadar kalau capucinoku habis. Aku merasa sedikit kesal karena aku tidak begitu menikmati capucino buatan ibu yang amat lezat itu karena memperhatikan tetangga baru di depan rumah. Aku masuk dalam rumah dan membawa gelas bekas capucinoku tanpa ekspresi.
Esok harinya saat aku pulang sekolah aku melihat anak perempuan itu duduk sendiri di depan rumahnya, nampaknya dia kesepian. Kemarin kulihat dia satu-satunya anak cewek, soalnya kemarin aku melihat dua cowok yang lebih tua darinya mungkin kakaknya. Dia duduk sambil memegang buku yang kemarin kulihat. Dia menyapaku, “hai, kamu anak perempuan yang tinggal di depan rumahku kan?” dia menyapa dan bertanya padaku sambil tersenyum lebar seperti ingin berteman denganku. Aku menjawabnya dengan senyuman yang tak kalah lebar, “iya, aku Cika, kamu?” aku berkata tanpa mengulurkan tanganku. Dia menjawab sambil mengulurkan tangannya, “aku Dea, aku baru pindah kemarin”.
Aku pun meninggalkannya dan pulang ke rumah karena ibu melihatku dan memanggilku makan. itulah ibu, selalu menghawatirkanku terutama makananku. Aku sempat melihat buku yang dipegang Dea, judulnya Pintu Harmonika. Nampaknya itu adalah novel, aku suka sampul bukunya, warnanya biru muda cerah dan itu adalah warna kesukaanku. Saat aku menutup pintu pagar dan aku sengaja menoleh ke arahnya ternyata dia sudah masuk ke dalam rumahnya. Mungkin dia sengaja duduk di depan rumahnya karena ingin mencari teman. Nampaknya aku orang pertama yang menjadi temannya.
Hari ini Dea masuk ke sekolah kami, aku tidak terkejut sih, malah aku sudah meramalkan kalau dia pasti masuk ke sekolah ini. Alasannya sih karena sekolah ini dekat rumah, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, dan juga memang sekolah ini adalah sekolah favorit dan unggulan. Jadi yah otomatis dia pasti sekolah disini. Dan ramalanku tepat. Hahahah, kayanya aku cocok jadi peramal deh, pikirku melucu sendiri sampai-sampai aku tidak memperhatikan dia memperkenalkan diri. Dia tersenyum manis melihatku, aku pun membalas senyumnya dengan senyuman yang paling manis yang kupunya. Bu Hera pun menyuruhnya duduk di kursi deretan ke tiga dari depan di sebelah kanan, karena di tempat itu kosong. Bukannya kosong sih, Tari namanya, dia malas ke sekolah, kabar-kabarnya sih dia sudah tidak sekolah lagi karena orangtuanya tidak mampu menyekolahkan lagi. Kasian sih, tapi itu kabar-kabarnya, masalah benar atau tidaknya aku sih tidak tau, itulah mengapa kursi itu kosong.
Dea duduk dengan Fira. Air mukanya begitu berbinar-binar walaupun mukanya nampak pucat saat itu, sepertinya dia suka sekolah disini. Sepulang sekolah aku mengajaknya pulang sama-sama, dan dia tidak menolaknya padahal dia sudah dijemput sopirnya, namun dia menyuruhnya pulang karena ingin berjalan kaki denganku. Tapi saat dia menyuruh sopirnya pulang, terlihat air muka si sopir berat untuk mengizinkan Dea jalan kaki. Aku tidak mendengar percakapan mereka, soalnya jarak aku dengan Dea saat dia izin ke sopirnya agak jauh. Tapi Dea berhasil membuat sopirnya pulang, dan dia pun pulang denganku. Fira juga ikut pulang bersama kami, soalnya rumah Fira juga tidak jauh dari rumah kami berdua. Dan memang selama ini aku selalu pulang sekolah bersama Fira, bukan cuma pulang, pergi sekolah juga bersama Fira setiap hari.
Sepanjang jalan kami sibuk berbincang-bincang, kami anak SMP yang begitu gembira. Tidak terasa kalau Fira sudah sampai di rumahnya, entah apa yang membuat kami tidak merasa kelelahan saat berjalan kaki. Apakah karena sekolah kami dekat ataukah karena kami asik sibuk bicara. Entahlah, menurutku keduanya adalah benar adanya. Dan akhirnya sampailah kami di rumah masing-masing. Aku buka pintu pagar dan munutupnya sambil melambaikan tanganku ke Dea. Deapun melambaikan tangannya membalas lambaian tanganku. Lagi lagi aku melihat mukanya yang begitu pucat. Kelihatannya dia kecapean, ataukah dia tidak biasa berjalan kaki, pikirku sendiri bertanya-tanya.
Sore itu ibu membuatkanku capucino kesukaanku. Capucino buatan ibu memang is the best deh, tapi aku heran, kok ibu membuatkanku dua cangkir capucino di gelas bergambar malaikat yang ada di lemari piring. Gelas itu adalah gelas favoritku, jarang aku pakai karena aku sangat menyukai gelas itu. Aku heran, padahal sesuka apapun aku dengan capucino ini, tapi ibu selalu membuatkanku satu cangkir saja. Kadang aku bete sih. Ibu menaruh dua cangkir capucino itu di atas meja yang ada di teras. Ibu tersenyum sambil berkata, “ayo panggil teman baru kamu merasakan lezatnya capucino buatan ibu ini”. Ternyata itulah jawabannya, aku pun segera ke rumah Dea. Aku mengetuk pintu rumahnya, ibu Dea membukakan pintunya untukku. “sore tante, aku Cika yang tinggal tepat di depan rumah tante”, aku memperkenalkan diri dengan suara lembut yang kupunya. “oh, iya, cari Dea yah?”, langsung menebak kedatanganku. “iya tante, ibuku membuatkan capucino untuk aku dan Dea”. “sayang sekali, Dea lagi tidur”, mendengarnya aku nampak sedikit kecewa. Namun mau bagaimana lagi kalau memang Dea lagi tidur. Saat aku izin pulang, tiba-tiba Dea muncul, “ibu, kok aku tidak dikasih tau sih kalau ada temanku yang datang”, ibunya tak menjawab. Saat itu aku melihat air mukanya agak sedikit lebih segar dibandingkan saat tadi siang. Sepertinya memang tadi dia kecapean saja, nampaknya dia sudah istirahat makanya dia terlihat lebih mendingan walaupun agak sedikit pucat. tanpa membuang waktu lebih banyak lagi karena memikirkan itu, aku pun mengajaknya ke rumahku. Dia meminta izin ke ibunya, tanpa pikir lama, ibunya mengizinkannya.
Sesampainya di teras rumah aku melihat setoples cookies coklat menemani dua cangkir capucino buatan ibu. Padahal tadi aku tidak melihat toples cookies itu, aku juga tidak melihat ibu membuat cookies hari ini ataupun hari sebelumnya. Tanpa bertanya hal tersebut sama ibu aku langsung mengajak Dea untuk mencicipi capucino buatan ibu dan cookies coklat yang nampaknya lezat itu yang aku belum tahu darimana cookies coklat itu berasal. Aku melihat Dea yang mencicipi capucino buatan ibu dan dengan air muka penasaran yang aku tampakkan ke Dea karena ingin mengetahui pendapat Dea tentang capucino buatan ibuku. Dua teguk Dea meminum capucino buatan ibu dan air mukanya dengan sangat jelas berbicara kalau capucino buatan ibuku amat lezat walaupun tidak diutarakannya dengan kata-kata. Aku pun juga meminumnya sampai habis. Ternyata Dea yang deluan menghabiskan capucinonya, dia tersenyum melihatku. Dengan senyumnya yang selalu manis dia berkata, “enak sekali”. Akupun dengan refleks menjawab, “ibuku memang selalu jago membuat capucino seenak ini”.
Sore itu kami habiskan waktu dengan meminum capucino, memakan cookies coklat lezat, dan bercerita-cerita di teras rumahku. Saat azan maghrib berkumandang, disaat itulah apa yang kami lakukan sore itu terhenti. Dea pulang di rumahnya dan aku pun masuk dalam rumah. Selesai shalat isya, seperti biasa aku mengerjakan pekerjaan rumahku. Tetapi saat itu pikiranku tidak di pekerjaan rumahku, tapi lagi-lagi aku memikirkan Dea. Aku bertanya-tanya sendiri. Mungkinkah Dea mengidap suatu penyakit yang ganas? Tadi sore dia begitu pucat, walaupun awalnya dia kelihatan baik-baik saja tetapi saat kami bercanda-canda tadi dia begitu terlihat kelelahan. Tetapi saat aku menanyakan apakah dia sakit atau tidak, dia hanya menjawab kalau dia hanya kecapean saja. Aku tidak percaya saat dia menjawabku begitu. Aku yakin kalau dia pasti terkena penyakit yang berbahaya. Banyak yang mendukung hipotesisku ini, salah satunya aku selalu melihat mukanya pucat dan itu bukan sekali. Saking sibuknya aku memikirkan Dea tanpa sadar ternyata jam menunjukkan pukul 21.05. aku kaget, pekerjaan rumahku belum kukerjakan biar satu. Aku panik dicampur mengantuk. Tetapi aku putuskan untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku ini karena besok harus dikumpul. Aku memutuskan pikiranku tentang Dea dan segera mengerjakan kembali pekerjaan rumahku. Aku menyelesaikannya selama tiga jam. Kali ini aku mengerjakan pekerjaan rumahku dengan memakan waktu sangat lama, karena aku mengerjakannya dengan melawan rasa ngantukku.
Syukurlah aku tidak terlambat bangun hari ini, aku segera siap-siap ke sekolah. Hari itu aku tidak terlambat tiba di sekolah. Itu karena tadi aku diantar ayah, biasanya sih aku jalan kaki dengan Fira. Di kelas aku belum melihat Fira, mungkin dia lagi menungguku di rumahnya, karena biasanya aku menjemputnya untuk jalan kaki bersama ke sekolah. Aku langsung bbm Fira,
“Fir, aku sudah di sekolah nih tadi ayah mengantarku, sorry yah aku telat kasih kabar”.
Sekitar 1 menit kemudian Fira membalas pesan bbmku
“oh, iya Cik, aku nggak ke sekolah nih hari. Kepalaku pusing banget, aku sudah kirim surat kok”.
Aku membalas pesan bbm Fira, “oh, GWS yah fir”. Fira tidak membalas pesan bbmku lagi.
“Fir, aku sudah di sekolah nih tadi ayah mengantarku, sorry yah aku telat kasih kabar”.
Sekitar 1 menit kemudian Fira membalas pesan bbmku
“oh, iya Cik, aku nggak ke sekolah nih hari. Kepalaku pusing banget, aku sudah kirim surat kok”.
Aku membalas pesan bbm Fira, “oh, GWS yah fir”. Fira tidak membalas pesan bbmku lagi.
Aku duduk di bangku depan kelas. Dea belum juga datang padahal bel pelajaran pertama lagi lima menit akan berbunyi. Aku mulai resah dan terdengarlah bel berbunyi. Aku masuk ke kelas, belum ada tanda-tanda kedatangan Dea. Pesan bbm yang aku kirimkan ke Dea tidak dibalasnya. Aku sibuk ngePING Dea sampai terhenti saat ibu guru Aya masuk, aku pun mulai fokus kepelajaran dan memutuskan pikiranku ke Dea.
Bel pun berbunyi menandakan berakhirnya pelajaran hari ini. Aku langsung memeriksa handphoneku, tapi gak ada pesan bbm dari Dea ataupun Fira. Aku pulang sendiri dan berencana singgah di rumah Fira untuk melihat keadaannya. Ternyata Fira tidak ada di rumanya, kata pembantunya Fira baru saja ke dokter, aku di suruh pulang dan datang lagi sebentar sore. Aku pun pulang seakan-akan menuruti perkataan pembantu Fira, padahal sebenarnya gak seperti itu, aku memang mau pulang kalau memang Fira tidak ada di rumah karena tujuanku datang kan untuk bertemu Fira. Kalau Firanya tidak ada otomatis aku pulanglah. Aku juga berencana menjenguknya sebentar sore kalau memang dia tidak ada di rumah. Itu semua memang sudah kupikirkan sepanjang jalan menuju rumah Fira.
Aku pun melanjutkan rencanaku selanjutnya untuk pergi ke rumah Dea. Aku sudah siapkan pertanyaan untuk ku lontarkan ke Dea. Tetapi pagar rumah Dea tergembok. Aku baru sadar, ternyata memang dari tadi pagi rumah Dea kosong, tetapi aku tidak mempermasalahkan hal ini tadi pagi. Mobil ayah Dea gak ada, lagi-lagi timbul berbagai pertanyaan di benakku yang belum pernah terjawab selama ini. Aku segera pulang dan merencanakan menanyakan hal ini ke Ibu.
Sesampainya di rumah ternyata ibu gak ada. Aku menunggu ibu sambil menonton tv, tanpa sadar akupun tertidur. Aku terbangun karena mencium aroma cookies coklat yang lezat, aku mengikuti arah aroma cookies itu berasal. Ternyata aroma cookies itu berasal dari dapur rumahku. Ibu sedang membuat cookies coklat yang aromanya menggambarkan kelezatannya. Aku mengambil satu biji cookies coklat yang ada di atas meja. Aku memakannya dengan menutup mata dan menjiwai kelezatannya. Rasanya beda dengan cookies coklat kemarin. Cookies buatan ibu lebih enak dari kemarin, sepertinya kemarin bukan ibu yang membuat cookies coklat itu. Aku melanjutkan menjiwai rasa cookies buatan ibu dengan mengambil sebiji lagi, aku di kagetkan dengan pertanyaan ibu. “bagaimana, sekarang lebih enakkan?”. Aku mengangguk dan mengiyakan pertanyaan ibu. Tiba-tiba aku sadar, dan melontarkan pertanyaan ke ibu dengan nada kaget, “cookies coklat kemarin itu buatan ibu juga yah?”. Ibu tersenyum dan mengangguk membalasku. Aku minta penjelasan ibu, ibu pun menjelaskan dengan panjang lebar kepadaku. Sekarang masalah cookies coklat sudah terjawab.
Jam di dinding rumahku yang terletak di dinding ruang tengah mengarah ke televisi menunjukkan pukul 16.55. aku lupa kalau sore ini aku berencana untuk menjenguk Fira, tetapi ternyata tidak sesuai rencanaku. Aku pun membatalkan rencana sore ini. Aku mengirimkan pesan bbm ke Dea dan Fira. “bagaimana keadaan kalian?”. Baru sekitar 5 detik aku mengirim pesan tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku berharap itu dari Dea atau Fira. Dengan semangat aku membuka pesan bbm itu, semangatku pudar saat melihat pesan bbm itu, bukan dari Dea ataupun Fira. Aku tidak putus asa. Berkali-kali aku PING Dea dan Fira walaupun tidak ada balasan. Aku sangat cemas terhadap mereka berdua. Aku juga marah karena merasa kalau mereka tidak memikirkan aku, mereka tidak memikirkan betapa cemasnya aku terhadap mereka.
Dengan hati yang kecewa aku menaruh handphoneku di atas tempat tidur dan aku segera mengambil buku pelajaran besok. Aku tidak mempunyai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan malam ini, jadi aku hanya membaca buku saja dan berusaha memutuskan pikiranku terhadap kedua sahabatku itu. Sekitar satu jam lebih aku membaca buku, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku langsung loncat menuju tempat tidur dan dengan secepat kilat aku mengambil handphoneku. Aku begitu gembira, ternyata Fira membalas pesan bbm aku. “sorry yah Cik, tadi siang aku ke dokter, pas pulang aku minum obat terus ketiduran tanpa sempat membaca pesan bbm kamu. Sorry yah, ini aja aku baru bangun tidur”. Aku senang banget karena Fira membalas pesanku. Aku membalas Fira, “aku cemas banget tau dengan keadaan kamu dan Dea, ditambah lagi kalian gak balas-balas pesanku, tapi syukurlah kecemasanku terobati dengan balasan pesanmu, jadi sekarang bagaimana keadaanmu?”. Tidak cukup satu menit Fira membalas pesan bbmku. “alhamdulillah udah mendingan, besok sepertinya aku sudah bisa ke sekolah”.
Malam itu aku senang banget karena Fira ternyata sudah baikan. Sekarang yang aku pikirkan tinggal Dea. Dari tadi tidak ada pesan masuk dari Dea. Aku sangat cemas, Fira pun ikut cemas saat aku menceritakan kecemasanku tentang Dea. “aku udah kirim pesan ke Dea tapi tidak dibalas”, pesan bbm dari Fira. “yaelah, dari tadi aku udah kirim pesan, mungkin udah ratusan kali tapi tidak dibalas”, aku membalas pesan bbm Fira. “besok kita ke rumahnya aja”, bbm dari Fira. Aku melihat rumah Dea dari jendela kamarku. Masih sama seperti tadi siang. Mobil ayah Dea tidak terparkir di halaman rumahnya. Pintu gerbangnya juga masih tergembok, sepertinya Dea lagi keluar kota. “boleh deh, tapi aku lihat rumahnya masih tergembok nih, mobil ayahnya juga gak ada. Tapi kita coba ke rumahnya aja besok”, aku membalas pesan bbm Fira. Aku menunggu balasan dari Fira dan ternyata aku langsung tertidur.
Adzan subuh membangunkanku, aku ambil hpku untuk melihat jam sekaligus melihat pesan masuk bbmku. Ada pesan dari Fira, “Besok kamu gak usah singgahi aku yah, soalnya ayahku akan mengantarkanku ke sekolah besok”. Aku membalas dengan singkat, “oke”. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat. Selesai shalat aku siap-siap ke sekolah.
Hari ini aku jalan kaki sendiri pergi ke sekolah. Saat tiba di rumah Fira, nampaknya Fira sudah pergi deluan karena mobil ayahnya sudah tidak ada di halaman rumahnya. Sesampainya di sekolah, aku ketemu Fira. Aku sangat senang bertemu dengannya, aku mencubit pipinya dengan gemas dan melepas semua kecemasanku kemarin ke dia. Aku legah, tetapi saat aku memandangi kursi Dea yang duduk di samping Fira. Kecemasanku kembali timbul walaupun tidak sekuat kemarin. Fira memegang bahu aku. Aku tidak melihatnya. Pandanganku masih tetap pada bangku Dea. “Dea Cik, Dea Cik”, rintih Fira. Aku menghadap ke Fira. Aku melihat air mata Fira jatuh, perasaanku tidak enak sekarang. Nampaknya ada kabar yang tidak membahagiakan tentang Dea. Aku memaksa Fira melanjutkan ucapannya. “Dea kenapa Fir? Ngomong dong jangan nangis gini!. Aku memaksa Fira. Dina yang menjawab pertanyaanku, “Dea udah meninggal Cik, tadi ibu guru datang memberitahu kabar duka ini”. Air mataku jatuh setelah mendengar itu, cairan di hidungku juga turun mengiringi air mataku. Aku langsung duduk seolah tidak percaya. Aku terus berpikir apakah ini benar-benar terjadi. Aku berharap ini adalah mimpi buruk dan aku berharap aku bisa segera bangun dan meinggalkan mimpi buruk ini. Tidak mungkin Dea pergi secepat ini, rasanya aku baru menjalin persahabatan yang indah kemarin, pikirku. Fira memegang bahuku lagi, aku tidak melihatnya.
Pandanganku kosong, pikiranku melayang kesana kemari. Aku megingat kembali kejadian-kejadian sebelumnya. Muka pucat yang sering kali kulihat di muka Dea. Aku sudah menduganya, ada yang tidak beres dengan Dea. Aku menyalahkan diriku, mengapa aku tidak menanyakan keadaan sahabatku? Mengapa aku biarkan Dea menanggung semua rasa sakitnya sendiri. Sahabat macam apa aku ini yang tidak memperhatikan sahabatnya sendiri. Yang tidak mengetahui kondisi sahabatnya sendiri. Aku menyalahkan diriku dan tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih ini. Air mataku semakin deras. Fira juga begitu, dia tampak sedih sekali.
Hari itu kami tidak melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Kami beramai-ramai ke rumah Dea. Jenazah Dea belum sampai di rumah. Ternyata Dea dirawat di rumah sakit di Singapura, sore baru jenazah Dea tiba. Aku dan Fira sudah berada di rumah Dea sejak pagi tadi. Aku dan Fira masuk ke kamar Dea. Kamar yang rapi dengan cat dinding biru muda, sepreinya pun biru muda. Dea memang suka warna biru muda. Di kamar Dea memasang attention board di dinding depan tempat tidurnya. Attention board yang besar itu dipenuhi foto-foto kami bertiga. Dea juga menulis setiap peristiwa yang menarik yang kami alami bersama. Termaksud saat Dea mencicipi capucino buatan ibu. Dia menulis jam, hari, tanggal, tahun, dan keterangannya. Dia menulis jam lima sore, hari kamis, 12 mei 2010, dan menulis keterangannya: capucino buatan ibunya Cika enak banget, aku harap itu bukan terakhir kalinya aku mencicipi capucino yang super enak itu, aku berharap aku bisa mencicipinya lagi bersama Cika sayang. Air mataku tidak pernah berhenti turun, aku mengingat kembali masa itu. Aku ingat Dea lagi, aku sedih harapan Dea tidak terwujud. Ternyata capucino buatan ibu dia cicipi untuk pertama dan terakhir kalinya. Kasihan Dea, orangnya yang selalu menebar senyum yang sangat manis yang hanya dimilikinya itu telah tiada. Aku tidak akan bisa melihat senyum manis Dea lagi. Aku tidak bisa menahan rasa sedih ini.
Aku terduduk di tempat tidur Dea dan membanting diri. Fira terduduk di kursi belajar Dea, aku melihatnya. Tatapannya kosong, aku berdiri dan menghampiri Fira. Aku memegang pundaknya dan berkata dengan nada terputus-putus, “sekarang kita harus merelakannya, satu-satunya cara dan terakhir kalinya harus kita lakukan untuk kebahagiaan Dea adalah mendoakannya, ayo kita keluar dan menjemput jenazah Dea di bandara”. Aku menguatkan Fira dan diriku sendiri. Sekitar jam 14.30 kami menuju bandara. Aku dan Fira menumpang di mobil ayah. Bu guru Aya juga menjemput jenazah Dea di bandara, dia menaiki sedan hitamnya yang dibelinya bulan lalu. Ayah Fira juga ikut, ia menaiki mobilnya sendiri. Fira sengaja gak ikut dengan ayahnya karena dia ingin bersamaku. Sekitar lima mobil yang menjemput jenazah Dea, satu mobil keluarga Dea, dan satunya lagi aku tidak mengetahuinya, sepertinya teman kerja ayah Dea.
Perjalanan ke bandara memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai. Sesampainya di bandara kami harus menunggu di ruang tunggu karena pesawat yang membawa jenazah Dea belum tiba. Fira menyandarkan kepalanya di bahuku. Tidak cukup sepuluh menit kami menunggu, pesawat pun tiba. Hanya keluarga Dea yang diizinkan turun ke lapangan udara dan yang lainnya tetap menunggu di ruang tunggu. Kami pun pulang ke rumah Dea mengiringi jenazah Dea. Sirine ambulance yang aku dengar seperti sirine yang ada di jantungku. Begitu cepat berdetak, jari-jariku gemetaran dan aku merinding.
Semua pertanyaan yang selama ini ada di pikiranku terjawab sudah. Ibu yang menceritakan semuanya kepadaku. Dea sakit leukimia, maka dari itu setiap hari dia terlihat pucat. penyakit itu sudah lama di deritanya sekitar tiga tahun lalu. Mereka pergi ke singapura hari jumat subuh. Pantas saja aku mendengar bunyi mobil ayah Dea jumat subuh lalu, aku kira aku bermimpi, soalnya malam itu aku begadang mengerjakan pekerjaan rumahku setelah selesai memikirkan dan bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang Dea. Pertanyaan yang aku tanya ke diriku sendiri selama ini sudah terjawab.
Sesampainya di rumah duka, jenazah Dea langsung di shalatkan. Aku melihat ibu Dea yang sangat terpukul atas kepergian Dea, dia memanggil-manggil nama Dea. Ada dua orang yang memegang ibu Dea seakan menguatkannya. Aku juga melihat ayah dan kedua saudara laki-laki Dea, air muka mereka begitu tegar. Nampaknya mereka sudah merelakan kepergian Dea, mereka terlihat sangat tegar di banding ibu Dea. Jenazah Dea dikuburkan setelah dishalatkan, kami tidak bisa melihat wajah Dea untuk yang terakhir kalinya karena jenazah Dea sudah dikafani dari singapura. Aku melihat wajah Dea untuk terakhir kalinya saat kami meminum capucino buatan ibu, saat itu juga adalah untuk terakhir kalinya aku melihat senyum manis Dea yang tersenyum karena merasakan kelezatan capucino buatan ibu. Aku tak kuasa menahan air mataku jatuh mengingat kejadian itu. Ibu tiba-tiba memelukku dan membisikku, “yang tabah yah sayang, jangan nangis lagi, kamu harus merelakan sahabatmu supaya dia bisa tenang di alamnya”. Aku pun menghapus air mataku setelah mendengar bisikan ibu. Aku tersenyum kecil untuk Dea, semoga Dea melihat senyumku ini agar dia bisa tenang di sana.
Dea sudah dikuburkan, aku melihat nisan Dea dan membayangkan senyumnya. Sekarang dia sudah lebih baik karena telah bebas dari penyakit yang dideritanya selama ini. Aku berpikir positif sekaligus untuk menguatkan diri. Aku berdiri dan pulang setelah sekitar sepuluh menit aku duduk di samping kuburan Dea. “selamat jalan kawan, semoga kau senang dan tenang disana, aku akan selalu mendoakanmu disini”. Aku berdoa dan membalikkan kepalaku ke arah kuburan Dea dan memandanginya.
Sesampainya di rumah aku langsung terbaring di kamarku. Aku capek sekali hari ini, tenagaku terkuras dan hatiku menangis. Tatapanku kosong, tiba-tiba ibu datang menghampiriku dan mengajakku ke teras. Aku menuruti ajakan ibu. Dengan badan lemas aku berjalan menuju teras rumah. Aku kaget melihat dua cangkir capucino di atas meja. Kekagatenku ini sama dengan saat ibu membuatkan dua cangkir capucino untuk aku dan Dea. Selama ini ibu selalu membuatkanku secangkir capucino walaupun aku selalu ingin meminum lebih dari secangkir karena kelezatan capucino ibu, tetapi ibu tetap membuatkanku secangkir saja. Aku menatap kedua cangkir capucino itu dan teringat akan Dea, suara ibu mengagetkanku. “kenapa hanya diliatin, ayo minum bersama”, ajak ibu. Ternyata ibu membuat dua cangkir untuk aku minum bersama ibu. Untuk pertama kalinya aku minum capucino buatan ibu. Aku curiga ini pertama kalinya ibu merasakan capucino buatannya sendiri.
Aku menatap mata ibu, nampaknya ibu sangat mengerti apa yang dirasakan anaknya saat ini. Ibu tersenyum manis dan menurutku itu untuk aku. Ajaib, hatiku menjadi tenang, mungkin karena meminum capucino buatan ibu atau melihat senyum manis ibu. Mungkin karena keduanya, ibu berhasil menentramkan hatiku. Sepertinya ibu adalah malaikat tanpa sayap yang diberikan Tuhan untuk aku. Aku menaruh cangkir capucinoku di atas meja dan memeluk ibu dengan erat. Ibu mengelus-elus rambutku, aku merasakan kasih sayang ibu yang lebih. “dia telah tenang sayang”, bisik ibu. Aku menutup mata dan berdoa, “semoga kau bahagia di sana”. Air mataku jatuh saat itu, tetapi dengan cepat aku menghapus air mataku dan tersenyum lebar. “aku bahagia menjadi sahabatmu walaupun hanya sebentar saja”, dalam hatiku. Akupun melanjutkan meminum capucino buatan ibu, aku sudah lebih baik sekarang. Aku sudah lebih tegar sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar