Zahranomia. Sindrom itu sudah merebak di kalangan siswa dan siswi di sekolahku. Katanya sindrom tersebut diakibatkan oleh sebuah virus tak dikenal yang masih diselidiki jenisnya. Data terbaru yang diketahui menyebutkan sindrom tersebut mengakibatkan beberapa hal yang cukup fatal jika tidak segera diatasi. Penderitanya akan mengalami demam tinggi, pusing, mual, bahkan pingsan. Dan baru-baru ini ada seorang penderita yang sampai histeris. Anehnya, gejala yang terjadi jika terserang sindrom ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Gejala tadi akan dialami penderita laki-laki. Sedang penderita perempuan akan mengalami serangan jantung tiba-tiba, tekanan darah tinggi serta tidak bisa mengontrol emosi sehingga apabila sedang marah, maka sebagian besar dari mereka akan bertindak berlebihan.
Usut punya usut, sindrom tersebut disebarkan oleh seorang siswi baru yang bernama Zahra. Dia baru saja pindah ke sekolahku.
Aku masih saja berkutat dengan pekerjaanku sementara beberapa orang seniorku mencoba mengorek informasi tentang Zahra dariku. “Masa Lo sama sekali nggak punya info? Lo kan duduk di sampingnya.”
Aku tetap cuek dan masih mengerjakan pekerjaanku. “Angga! Lo denger nggak?!”
“Gue denger.” Jawabku. “Tapi gue sibuk. Lagian dia kan baru beberapa jam ada di sini, jadi gue nggak punya info apapun.”
“Yah, minimal Lo kan merhatiin dia dikit waktu dia di sebelah Lo.”
Aku berpikir sebentar. “Dia biasa aja. Sama kayak cewek-cewek lain.”
Aku tetap cuek dan masih mengerjakan pekerjaanku. “Angga! Lo denger nggak?!”
“Gue denger.” Jawabku. “Tapi gue sibuk. Lagian dia kan baru beberapa jam ada di sini, jadi gue nggak punya info apapun.”
“Yah, minimal Lo kan merhatiin dia dikit waktu dia di sebelah Lo.”
Aku berpikir sebentar. “Dia biasa aja. Sama kayak cewek-cewek lain.”
Aku cuma pura-pura tidak tertarik padahal ada rasa penasaran di benakku tentang siapa gadis itu sebenarnya. Sampai akhirnya aku teringat tentang gadis berambut panjang yang dibawa oleh Zaky malam sebelumnya. Mulanya aku berpikir itu cuma mimpi. Tapi setelah diingat-ingat lagi, ternyata itu kenyataan yang kulihat sebelum aku tertidur.
Aku mengamati Zahra lebih teliti. Dia memang sangat cantik jika dibandingkan dengan gadis pada umumnya. Rambutnya lurus, panjang, dan hitam berkilau indah. Postur tubuhnya juga tinggi dan proporsional. Wajahnya mulus dihiasi lesung pipit, menambah manis senyumnya. Pokoknya dia benar-benar cantik.
Karena itulah semua orang di sekolahku sekarang mengidolakannya. Apapun yang menyangkut Zahra pasti akan menjadi topik bahasan yang panjang. Semua pemuda ingin memperoleh perhatiannya. Sedangkan para wanita, berusaha menandingi pesonanya. Mereka menyebut dirinya ZAHRANOMIA.
Tapi aku menemukan sesuatu yang janggal pada diri Zahra yang bagi sebagian besar orang sempurna itu. Matanya menerawang. Tidak ada kilatan semangat yang terpancar di situ. Hal itu membuatku penasaran sehingga tanpa sadar sudah menyelidiki latar belakang gadis itu. Ternyata dia adalah adik Zaky, tetanggaku. Masa lalunya yang kelam membuatnya tertutup pada siapa saja. Bahkan kepada kakaknya sendiri. Dia menjelma menjadi seorang gadis pemurung yang setiap malam terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk.
Tanpa sadar aku selalu membantunya, menemaninya, membagi beberapa kebahagiaanku padanya. Dengan selalu berada di sisinya aku berharap akan muncul cahaya di matanya. Sangat menyakitkan bagiku melihat duka itu terus menerus menyelimuti matanya. Aku ingin membuatnya tersenyum. Membuatnya tertawa lepas seperti gadis-gadis lain yang hanya mengkhawatirkan jerawat di wajahnya. Aku ingin dia melupakan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang begitu rapat di simpannya. Masa lalunya itu berhubungan dengan seorang pria bernama Greno yang tiba-tiba ikut muncul.
“Za…!” Panggil Greno. Zahra tertegun mendengar panggilan itu. Dia kenal betul dengan suara itu. Kebetulan aku juga ada di dekat mereka sehingga tanpa sengaja menyaksikan pertemuan dua orang dari masa lalu itu.
“Greno?” Gumam Zahra sedikit tidak percaya. Aku melihat tangan Zahra gemetar namun cepat-cepat disembunyikannya.
“Gue datang buat nyari Lo, Za.”
“Ngapain Lo nyari gue?”
“Gue mau minta maaf. Gue juga mau ngejelasin semuanya sama Lo.”
“Gue nggak butuh penjelasan Lo. Sebaiknya Lo pergi dari sini. Gue nggak mau ngeliat Lo lagi.”
“Gue harus dapetin maaf dari Lo. Tanpa maaf dari Lo, gue nggak akan bisa hidup dengan tenang.”
Zahra menunduk. Wajahnya pucat pasi. Dengan pelan dia berkata. “Setelah kecelakaan yang bikin orang tua gue meninggal, terus perpisahan gue sama kakak gue, cuma Lo satu-satunya orang yang gue harap jadi sandaran gue, Gren. Tapi apa yang Lo lakuin ke gue? Lo malah mutusin gue dan jalan sama Vara, sepupu gue sendiri. Dan sekarang Lo mau minta maaf?”
“Gue nggak punya pilihan selain ngikutin kemauan Vara. Dia pegang semua rahasia gue. Sebenarnya gue juga sakit ngeliat Lo dijahatin terus sama Vara, tapi gue nggak punya kekuatan buat bantu Lo. Kalaupun gue ngelawan, dia akan lebih nyakitin Lo.”
“Itu cuma alasan Lo doang. Yang gue liat, Lo lebih bahagia menikmati kebersamaan kalian. Selamat untuk kebahagiaan Lo. Dan terima kasih untuk setiap rasa sakit yang Lo beri.” Zahra berlari. Aku menatap Greno yang tertegun memandangi kepergian Zahra. Aku sangat muak melihat orang itu. Jadi itulah yang terjadi sehingga membuat Zahra berubah menjadi seorang gadis pemurung seperti itu. Merasa khawatir dengan keadaan Zahra, aku kemudian menyusulnya.
“Greno?” Gumam Zahra sedikit tidak percaya. Aku melihat tangan Zahra gemetar namun cepat-cepat disembunyikannya.
“Gue datang buat nyari Lo, Za.”
“Ngapain Lo nyari gue?”
“Gue mau minta maaf. Gue juga mau ngejelasin semuanya sama Lo.”
“Gue nggak butuh penjelasan Lo. Sebaiknya Lo pergi dari sini. Gue nggak mau ngeliat Lo lagi.”
“Gue harus dapetin maaf dari Lo. Tanpa maaf dari Lo, gue nggak akan bisa hidup dengan tenang.”
Zahra menunduk. Wajahnya pucat pasi. Dengan pelan dia berkata. “Setelah kecelakaan yang bikin orang tua gue meninggal, terus perpisahan gue sama kakak gue, cuma Lo satu-satunya orang yang gue harap jadi sandaran gue, Gren. Tapi apa yang Lo lakuin ke gue? Lo malah mutusin gue dan jalan sama Vara, sepupu gue sendiri. Dan sekarang Lo mau minta maaf?”
“Gue nggak punya pilihan selain ngikutin kemauan Vara. Dia pegang semua rahasia gue. Sebenarnya gue juga sakit ngeliat Lo dijahatin terus sama Vara, tapi gue nggak punya kekuatan buat bantu Lo. Kalaupun gue ngelawan, dia akan lebih nyakitin Lo.”
“Itu cuma alasan Lo doang. Yang gue liat, Lo lebih bahagia menikmati kebersamaan kalian. Selamat untuk kebahagiaan Lo. Dan terima kasih untuk setiap rasa sakit yang Lo beri.” Zahra berlari. Aku menatap Greno yang tertegun memandangi kepergian Zahra. Aku sangat muak melihat orang itu. Jadi itulah yang terjadi sehingga membuat Zahra berubah menjadi seorang gadis pemurung seperti itu. Merasa khawatir dengan keadaan Zahra, aku kemudian menyusulnya.
Zahra menangis. Wajahnya masih pucat. Aku memberikan selembar tisu. Zahra menerimanya dengan tangan yang masih gemetar. “Lo dengar semuanya?”
Aku mengangguk. “Maaf. Gue nggak sengaja dengar.”
Zahra menggeleng. “Bukan salah Lo. Gue aja yang terlalu bodoh.”
Aku menatapnya bingung. Kemudian Zahra melanjutkan. “Gue harap orang itu bisa gue lupain, tapi sampai saat ini gue nggak biasa lupain dia.”
“Lo mau maafin dia?” Tanyaku hati-hati. “Eh, bukan maksud gue nyampurin urusan Lo, Za. Gue cuma khawatir sama Lo.”
“Gue udah maafin dia dari dulu.” Jawab Zahra sambil tersenyum kecut.”
“Lo masih berharap bisa bersamanya?”
Zahra menggeleng. “Nggak akan ada ruang lagi buat gue di hatinya. Jadi gue cuma bisa mendoakan kebahagiaannya dan mencoba mencari kebahagiaan gue sendiri. Gue bodoh kan?”
Aku menggeleng. “Lo nggak bodoh. Dia lah yang bodoh karena sudah melepaskan gadis sebaik Lo.”
Zahra menunduk kemudian tersenyum padaku walaupun airmatanya masih deras mengalir. “Makasih, Angga.”
“Buat apa?”
“Buat jadi tempat gue bersandar sekarang.”
“Kayak baru kenal aja bilang makasih segala.” Jawabku sambil tersenyum. Pelan-pelan aku menghapus air matanya. Tak kusangka Zahra malah terisak. Aku jadi panik. “Lo kenapa Za?”
“Jangan bersikap terlalu baik sama gue. Gue nggak bisa terus bergantung sama Lo.”
“Lo takut gue akan ninggalin Lo? Sama seperti Greno ninggalin Lo?”
“Gue takut akan terbiasa nantinya. Jika itu terjadi, gue nggak akan biasa jauh dari Lo. “Jawab Zahra.”
“Lo pantas buat bahagia. Kenapa harus menghindarinya?” Jawabku.
Zahra tersenyum. Aku yakin dia mengerti maksudku. Tiba-tiba dia mengalihkan topik pembicaraan sambil menghapus airmatnya. “Artikel itu Lo yang bikin kan?”
“Apa?”
“Zahranomia.”
Aku tertawa. “Lo baca?”
“Zahranomia itu apa?”
“Zahranomia adalah nama ‘sindrom’ bagi para penggemar Zahra. Orang-orang yang mengidolakan Zahra. Jadi para penggemar Lo itulah Zahranomia.”
“Apa sekarang Lo juga ikut-ikutan jadi zahranomia?”
“Salah.” Jawabku.
Zahra memandangiku bingung. “Apa?”
“Gue lah zahranomia pertama. Gue zahranomia pertama yang sudah menularkannya pada semua orang.” Kataku sambil menatap matanya. Pelan-pelan kabut yang menyelimuti matanya hilang. Kini air matanya kembali mengalir. Namun di bibirnya tersungging senyum indah yang baru kali ini kulihat. Senyum indah seorang Zahra yang untuk pertama kalinya kulihat, matanya juga ikut tersenyum.
“Angga…” Zahra terisak.
Aku memeluknya. “Gue harap Lo bisa terus menangis seperti ini. Tersenyum seperti ini. Bahagia untuk diri Lo.”
“Angga…..” Zahra semakin terisak sambil membenamkan wajahnya lebih dalam di pelukanku.
“Gue harap Lo bisa terus manggil gue seperti ini. Dan gue meluk Lo seperti ini.”
Aku mengangguk. “Maaf. Gue nggak sengaja dengar.”
Zahra menggeleng. “Bukan salah Lo. Gue aja yang terlalu bodoh.”
Aku menatapnya bingung. Kemudian Zahra melanjutkan. “Gue harap orang itu bisa gue lupain, tapi sampai saat ini gue nggak biasa lupain dia.”
“Lo mau maafin dia?” Tanyaku hati-hati. “Eh, bukan maksud gue nyampurin urusan Lo, Za. Gue cuma khawatir sama Lo.”
“Gue udah maafin dia dari dulu.” Jawab Zahra sambil tersenyum kecut.”
“Lo masih berharap bisa bersamanya?”
Zahra menggeleng. “Nggak akan ada ruang lagi buat gue di hatinya. Jadi gue cuma bisa mendoakan kebahagiaannya dan mencoba mencari kebahagiaan gue sendiri. Gue bodoh kan?”
Aku menggeleng. “Lo nggak bodoh. Dia lah yang bodoh karena sudah melepaskan gadis sebaik Lo.”
Zahra menunduk kemudian tersenyum padaku walaupun airmatanya masih deras mengalir. “Makasih, Angga.”
“Buat apa?”
“Buat jadi tempat gue bersandar sekarang.”
“Kayak baru kenal aja bilang makasih segala.” Jawabku sambil tersenyum. Pelan-pelan aku menghapus air matanya. Tak kusangka Zahra malah terisak. Aku jadi panik. “Lo kenapa Za?”
“Jangan bersikap terlalu baik sama gue. Gue nggak bisa terus bergantung sama Lo.”
“Lo takut gue akan ninggalin Lo? Sama seperti Greno ninggalin Lo?”
“Gue takut akan terbiasa nantinya. Jika itu terjadi, gue nggak akan biasa jauh dari Lo. “Jawab Zahra.”
“Lo pantas buat bahagia. Kenapa harus menghindarinya?” Jawabku.
Zahra tersenyum. Aku yakin dia mengerti maksudku. Tiba-tiba dia mengalihkan topik pembicaraan sambil menghapus airmatnya. “Artikel itu Lo yang bikin kan?”
“Apa?”
“Zahranomia.”
Aku tertawa. “Lo baca?”
“Zahranomia itu apa?”
“Zahranomia adalah nama ‘sindrom’ bagi para penggemar Zahra. Orang-orang yang mengidolakan Zahra. Jadi para penggemar Lo itulah Zahranomia.”
“Apa sekarang Lo juga ikut-ikutan jadi zahranomia?”
“Salah.” Jawabku.
Zahra memandangiku bingung. “Apa?”
“Gue lah zahranomia pertama. Gue zahranomia pertama yang sudah menularkannya pada semua orang.” Kataku sambil menatap matanya. Pelan-pelan kabut yang menyelimuti matanya hilang. Kini air matanya kembali mengalir. Namun di bibirnya tersungging senyum indah yang baru kali ini kulihat. Senyum indah seorang Zahra yang untuk pertama kalinya kulihat, matanya juga ikut tersenyum.
“Angga…” Zahra terisak.
Aku memeluknya. “Gue harap Lo bisa terus menangis seperti ini. Tersenyum seperti ini. Bahagia untuk diri Lo.”
“Angga…..” Zahra semakin terisak sambil membenamkan wajahnya lebih dalam di pelukanku.
“Gue harap Lo bisa terus manggil gue seperti ini. Dan gue meluk Lo seperti ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar