Jumat, 01 November 2013



“Bang difiiiin… keluarin nggak tikusnya!” teriak seorang gadis. Ia sekarang sedang terduduk lemas sembari memeluk kedua kakinya di pojokan kamar. Di dalam tasnya terdapat seekor tikus, salah satu hewan pengerat yang membuatnya sangat ketakutan dan merupakan salah satu kelemahannya
“Keluarin aja sendiri” teriak seseorang dari luar kamar yang tak lain adalah Difin, sang kakak
“Aaah abang… loe tau gue takut tikus” teriak gadis ini lagi, nada suaranya mulai meninggi. Kakaknya itu mengetahui jelas bahwa tikus adalah kelemahannya tapi masih saja melakukan hal seperti ini padanya
“Ogah… loe sama tikus aja takut, nah… kalau sama preman, malah loe lawan” difin berdiri di depan pintu kamar gadis itu tapi ia sama sekali tak berniat untuk masuk dan mengambil kembali tikus itu
“Aaah bodo amat, keluarin nggak tikusnya! Gue mau sekolah!” teriak gadis itu putus asa
Tak ada suara teriakan lagi, melainkan hanya langkah kaki yang berjalan menjauh. Gadis itu berusaha menahan tangisnya. Ia terus berdoa di dalam hatinya agar tikus itu cepat enyah dari dalam tas sekolahnya. Perlahan ia mendengar suara deru motor di luar
“Abaaang… jangan kabur loe” teriak gadis itu namun nihil, motor itu bukannya berhenti malah berjalan pergi meninggalkannya begitu saja. Gadis itu semakin kesal, tak tahu harus berbuat apa, ditambah lagi dengan adanya waktu yang tak pernah bisa menunggu.
“Gimana nih? Haduh… eh tikus, keluar napa dari dalam tas gue. Gue mau sekolah nih… awas aja ya kalau gue sampe telat cuma gara-gara loe! nggak lucu tahu nggak” gadis itu menggerutu sendiri di dalam kamar, di tangannya kini sudah ada sapu yang siap memukul tikus itu jikalau tikus itu keluar nantinya
“Ya allah… kenapa sih engkau memberikanku kakak yang begitu jahil, yang selalu mengerjai hamba dengan tingkah-tingkahnya yang aneh itu, cukup bang amec saja ya allah… kenapa harus ada dia, nggak sanggup ya allah” gadis itu berdoa dalam hati sambil terus siap siaga dengan sapu nya
Waktu terus berjalan, namun gadis itu masih berada di dalam kamarnya. Meratapi nasibnya bersama sang tikus. Gadis itu diam terpaku, kini butiran air mata itu telah mengalir begitu saja. Meski ia telah berusaha menyeka nya tapi air mata itu terus saja mengalir tanpa berhenti. Sayup-sayup terdengar suara kaki yang melangkah mendekati kamarnya, tapi gadis itu tak menyadari kehadiran seseorang itu, ia masih sibuk dengan air mata dan rasa takutnya.
“Bener kan feeling gue, loe masih disini” suara itu menyadarkan gadis yang sibuk menyeka air matanya
“Balik juga kan loe, udah buruan buang jauh-jauh tuh tikus, gue mau sekolah!” gadis itu menatap kakaknya dengan tatapan tajam
“Loe nangis?” difin menatap mata sang adik yang berair kemudian beralih kepada tikus yang masih setia berada di dalam tas sang adik. Diambilnya tikus itu dan segera ia jauhkan dari sang adik, ada rasa bersalah pada dirinya melihat sang adik menangis seperti itu
“Udah gue buang”
Gadis itu beranjak berdiri, mengambil tasnya dan berjalan melewati sang kakak tanpa berucap sedikit pun. Gadis itu marah, yah… marah karena sikap kakaknya itu. Langkah gadis itu menjadi sangat cepat jika sedang marah, kini ia sudah berada di luar rumahnya. Sang kakak mencoba mengejarnya keluar namun gadis itu sudah tak terlihat. Ia berlari menuju motor kesayangannya dan segera mencari keberadaan sang adik
“Ayo naik” ucap difin ketika ia sudah menemukan sang adik
“Enggak!” singkat, padat dan jelas. Sang adik menolak mentah-mentah permintaan sang kakak, tanpa menoleh sedikit pun ke arah sang kakak. Ia terus mempercepat langkahnya
“Ayolah… maafin gue” difin terus mengimbangi motornya dengan langkah sang adik. Gadis itu masih berkeras diri, ia terus melangkahkan kakinya
“Naik nggak!” kali ini difin berkata sedikit menghentak karena kesal sang adik yang tak mau mengucapkan kata sedikit pun padanya dan memilih untuk terus berjalan tanpa menghiraukan dirinya
“Enggak! Loe maksa banget sih bang!” akhirnya gadis itu mengeluarkan suaranya meskipun kata-katanya begitu tajam
“Loe mau naik sendiri atau gue gendong!” tantang difin
“Apaan sih!”
“Gue hitung sampe tiga kalau loe nggak mau naik, gue gendong loe dari sini sampe sekolah! Pilihan loe cuma dua! Naik atau gue gendong”
“Argh… loe rese banget sih bang! Iya iya gue naik!” gadis itu mendengus kesal dan akhirnya memutuskan untuk naik ke atas motor sang kakak. Difin bukan orang yang suka bermain-main dengan kata-katanya, jika ia sudah berkata seperti itu maka itulah yang akan ia lakukan. Difin termasuk orang yang nekat
Gadis itu melangkahkan kakinya tak semangat menuju kelasnya, memang gadis itu tak jadi dihukum karena nyaris terlambat namun perbuatan sang kakak kali ini benar-benar menjatuhkan mood-nya. Seharian ia hanya diam, mengikuti pelajaran tidak konsen, beberapa kali ia salah menuliskan kata di atas bukunya, beberapa kali juga ia merobek bukunya dan membuangnya ke kotak sampah, begitu seterusnya hingga bel istirahat berbunyi.
“Loe kenapa sih vira? Dari tadi gue perhatiin kerjaan loe nggak pernah beres deh, udah berapa kertas coba yang loe buang sia-sia, kasihan gue sama tuh kertas” ucap citra yang tak lain adalah sahabat dari gadis itu, gadis yang bernama Ilvira Anggraini Aris
“Loe lebih kasihan sama kertas itu daripada gue?” ilvira menatap mata sahabatnya dengan tatapan tajam
“Ampun-ampun vir, lagian loe sih dari tadi dieeem aja, bengooong aja, loe kalo ada masalah cerita dong, buat apa gue jadi sahabat loe kalau nggak loe manfaatin buat cerita semua masalah loe? kali aja kan, gue bisa bantuin loe keluar dari masalah loe” citra tak menatap mata sahabatnya itu karena sangat menyeramkan baginya, ia sibuk dengan novel yang ia baca, sesekali ia menyeruput minuman yang ia pesan dari bibi kantin
“Masalah yang sama dan orang yang sama” ilvira akhirnya mau bercerita
“Abang ganteng loe?” kali ini citra amat bersemangat mendengarkan, ia memang menyukai kakak dari sahabatnya itu. Citra menutup sejenak novel yang ia baca dan memandang sahabatnya itu dengan penasaran. Hari ini cerita apalagi yang dibawa oleh sahabatnya itu tentang kakaknya
“Siapa lagi? Eh… apa loe bilang tadi? ganteng? Idih… jangan sampe orangnya denger, bisa kegeeran tuh orang” ilvira geli sendiri mendengar perkataan sahabatnya itu mengenai abangnya
“Emang kenapa kalau orangnya denger?” sebuah suara terdengar, suara yang sudah tak asing lagi bagi ilvira. Suara yang tak lain adalah suara milik sang kakak. Wajah citra berubah senang dan bersemangat sementara ilvira mendadak mual
“Eh… mau kemana?” tanya difin ketika melihat sang adik yang beranjak berdiri dari tempatnya
“Mual karena lihat wajah orang yang jahilnya nggak ketulungan” ilvira sengaja berkata seperti itu, berharap sang kakak segera enyah dari tempatnya duduk
“Nyindir nih ceritanya?” ilvira tersenyum tipis mendengar perkataan sang kakak
“Ngerasa kesindir? Hah… baguslah”
“Sorry deh… ya udah gue pergi, bye citra… makin cantik aja nih” difin tersenyum manis pada citra, senyum yang tak pernah didapatkan oleh ilvira
“Udah pergi sana” ilvira kembali duduk di tempatnya
“Huuh… adik gue galak banget yah” difin beranjak dari tempatnya berdiri, ia melambaikan tangannya pada citra. Ilvira semakin malas melihat pemandangan di hadapannya
Malam tanpa bintang, menambah kegelapan malam. Hujan seharian tadi membuat bintang-bintang tak mau menampakkan dirinya, mereka bersembunyi di balik awan. Bulan pun bersinar seadanya, cahaya nya tak begitu terang karena tertutup awan hitam. Ilvira duduk sendirian di taman belakang rumahnya, duduk di atas ayunan tempat biasa ia bermain jika sedang suntuk atau sedang ada masalah. Difin belum pulang sampai jam segini, sepertinya ia sedikit tersinggung dengan perlakuan ilvira tadi tapi ilvira tak mau ambil pusing, bukankah semua itu terjadi karena ulah kakaknya juga?
“Bang amec kapan pulang yah?” gadis itu berbicara sembari menatap awan hitam, ia mengenakan jaket tebal sehingga dinginnya angin malam tak terlalu terasa
Ilvira merogoh saku celanyanya, mengambil handphone nya dan menekan salah satu kontak. Ia menunggu jawaban dengan tak sabar
“Hallo” suara itu tersengar dari seberang hingga membuat senyuman itu pun hadir di wajah cantik ilvira
“Abang…” ilvira senang sekaligus sedih
“Kangen yah… kamu pasti sekarang lagi di taman deh, nangis sambil lihat bintang. Eh… tapi sepertinya malam ini bintangnya lagi sembunyi deh, kan habis hujan” suara itu membangkitkan semangat ilvira, mengembangkan senyumannya
“Abang kapan pulang?” ilvira langsung bertanya to the point pada kakak kesayangannya itu. ini sudah seminggu kakaknya itu tidak pulang karena urusan pekerjaan
“Secepatnya, masih ada beberapa kota lagi dalam rangkaian tour Lyla kali ini. Kamu sabar yah… oh iya, gimana difin? masih suka gangguin kamu?” wajah ilvira berubah murung ketika mendengar nama difin
“Masih, abang cepat pulang. Ilvira ngantuk bang, tidur duluan yah” ilvira tak berniat melanjutkan pembicaraan itu meski hatinya masih merindukan suara itu, sudah seminggu ia tak menelfon, hanya memberikan sebuah pesan singkat yang mengabarkan dimana dirinya dan bagaimana kondisinya
“Ya sudah… mimpi indah ya sayang” ilvira menutup telfonnya ketika kata terakhir itu terdengar. Amec mengerti, pasti kedua adiknya itu sekarang saling berdiam diri satu sama lain, tanpa tegur sapa, tanpa senyuman, dengan kata lain mereka sedang berantem.
Difin pulang tengah malam, masih dengan seragamnya. Ia memang sengaja pulang malam, ia tahu sang adik sangat marah padanya sehingga ia berfikir untuk menghindar untuk sementara waktu. Tangisan sang adik pagi tadi telah menyadarkannya bahwa ia sudah keterlaluan dan ia pun memutuskan untuk menghentikan semuanya. Meski berat karena itu artinya ia tak lagi bisa dekat dengan sang adik. Yah… semua kejahilan yang ia lakukan selama ini pada adiknya semata-mata karena ia hanya ingin mendekatkan diri pada sang adik. Ia tak bisa seperti amec yang dengan mudahnya dapat membuat sang adik tersenyum, merasakan kenyamanan, bahkan tak segan untuk memeluk tubuh sang kakak.
“Jam berapa ini, baru pulang?” suara itu mengagetkan difin, adiknya ternyata belum tidur dan mau berbicara padanya, padahal dalam fikirannya mustahil ia mendengar suara itu lagi
Difin masih diam di tempatnya berdiri, menatap adiknya lirih, ia sangat senang karena sang adik masih mau menegurnya. Namun seketika itu juga difin teringat dengan perbuatannya tadi pagi, ia hanya menundukkan kepalanya dan berjalan gontai menuju kamarnya tanpa memperdulikan sang adik yang masih menatapnya. Ilvira hanya menggelengkan kepalanya menatap sikap sang kakak, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya.
“Dia menegurku” ucap difin lirih
Difin berjalan menuju tempat tidurnya, merebahkan dirinya sejenak. Seharian ini ia berjalan tanpa tujuan, menghindari rumah. Ia hampir saja kehilangan nyawa nya karena berjalan tak di pinggir, sebuah motor yang sedang melaju sempat menyenggol tubuhnya sehingga ia terjatuh di jalanan, pengendara motor itu langsung kabur ketika melihat difin tergeletak. Difin masih dalam keadaan sadar ketika seorang pedagang asongan menghampirinya dan memberikan pertolongan untuknya. Lengan kanannya terluka, kakinya sedikit terkilir namun berkat pertolongan pedagang asongan yang ternyata berjiwa besar bersedia menolongnya bahkan tak segan memijit kaki difin yang terkilir hingga difin kembali dapat berjalan meski masih tergopoh
Mentari pagi telah menyapa, ilvira bangkit membuka jendela kamarnya, tak ada suara dari kamar di sebelahnya. Apakah difin belum bangun? Ilvira khawatir juga pada kakaknya, semalam kakaknya seperti sedang menyembunyikan tangannya dan langkah kakinya seperti ia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia kembali teringat pada pesan sang kakak (amec) “kalian bersaudara, tidak baik jika kalian terus bertengkar, cobalah untuk saling menyayangi selayaknya saudara lainnya”
Setelah membereskan tempat tidurnya, ilvira memberanikan diri berjalan menuju kamar sang kakak. Pintunya masih tertutup rapat, lampu di kamarnya masih menyala tertanda pemikirannya benar bahwa sang kakak belum bangun. Perlahan, ilvira membuka pintu itu, dilihatnya penghuni kamar yang masih setia di dalam selimutnya. Matanya mengedar ke sekeliling kamar, ia sadar bahwa disana terdapat banyak foto dirinya. Air mata itu mengalir lagi…
“Vir… ngapain loe disini?” difin membuka matanya dan kaget ketika melihat sang adik yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Pakaian difin belum diganti, ia tidur masih dengan memakai seragam sekolahnya
“Gu… gue…”
“Maaf… maaf atas kejadian kemarin, maaf juga udah bikin loe nangis. Gue nggak ada niat buat loe nangis, gue… gue nggak tahu gimana caranya bisa deket sama loe, jadi… gue terpaksa ngerjain loe biar gue bisa deket-deket terus sama loe” difin berkata ragu namun akhirnya ia bisa berbicara yang sesungguhnya
“Maaf sekali lagi, gue janji nggak akan pernah ngerjain loe, ngejahilin loe atau apapun itu, gue janji nggak akan ganggu hidup loe lagi, loe bebas sekarang karena gue nggak akan ikut campur sama urusan loe, gue janji nggak akan bikin loe nangis lagi meski gue nggak tahu gimana caranya untuk ngebuat loe tersenyum seperti yang bang amec lakuin buat loe” difin semakin yakin bahwa inilah saatnya ia mengatakan yang sejujur-jujurnya, ia tak mau melihat sang adik menangis tapi sekarang justru air mata itu kembali mengalir dari wajah sang adik
“Please… jangan nangis, gue nggak mau lihat air mata itu, gue nggak mau loe nangis hanya karena kakak macam gue ini, gue nggak pantes buat ditangisin, please… hapus air mata itu, air mata loe bikin gue semakin terlihat lemah”
“Enggak bang, gue mau loe tetep ngerjain gue, tetep ngejahilin gue, tetep ganggu hidup gue, gue nggak mau loe berhenti ngelakuin itu, tetep urusin semua urusan gue, terus aja ikut campur sama ururan gue karena itu kewajiban loe, loe masih kakak gue kan?” ilvira berkata dan diikuti sebuah anggukan dari difin
“Gue sayang bang, sama loe” kata itu begitu tulus
“Gu… gue juga sayang sama loe dek” ucap difin
Ilvira berlari menuju kakaknya, difin membuka selimut yang masih setia melindunginya dari dinginnya udara malam, ia kemudian beranjak berdiri. Ilvira menghambur kepelukan kakaknya
“Maafin gue” ucap difin sembari mengelus lembut rambut sang adik
“Enggak bang, gue juga salah. Gue juga minta maaf ya bang” ilvira memeluk erat tubuh sang kakak, namun tak sengaja ia menyentuh lengan kanan difin yang terluka
“Aw…” difin merintih kesakitan. Ilvira segera melepas pelukannya dan melihat difin merintih sembari memegang lengan kanannya
“Loe luka bang? Kenapa? Gue obatin yah” ilvira segera berlari menuju kotak P3K yang ada di sudut kamar difin
“Eh… nggak usah dek, gue nggak apa-apa kok” ucap difin
“Nggak apa-apa gimana, udah jelas lengan loe luka gitu” ilvira kembali dengan peralatan obat luka yang ia ambil. Ilvira segera menyuruh difin untuk duduk kembali di atas tempat tidurnya, tangannya sudah siap untuk mengobati luka sang kakak. Ia menarik perlahan tangan difin dan tangannya menari-nari lincah mengobati luka itu, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat difin kesakitan. Dengan telaten ia menuangkan obat merah itu ke atas luka itu dan segera membalutnya dengan perban
“Loe kenapa sih? Kok bisa luka kayak gini?” tanya ilvira tanpa memandang sang kakak sedikitpun, ia masih disibukkan dengan luka sang kakak
“Nggak apa-apa” jawab difin
“Bohong! Loe kenapa? Cerita atau gue marah sama loe” ancam ilvira
“Gue keserempet motor” difin benar-benar takut dengan ancaman ilvira dan akhirnya memilih untuk membuka suara
“Kok bisa? Emangnya loe jalannya gimana? Di pinggir atau di tengah? Kok bisa sampe keserempet motor gitu sih? Terus… siapa yang nolongin loe? yang nabrak loe tanggung jawab nggak? atau malah kabur gitu aja?” ilvira terus bertanya tanpa memberikan kesempatan pada difin untuk menjawabnya
“Gue baru sadar ternyata loe cerewet juga yah” difin tak pernah mengetahui sifat sang adik yang ternyata cerewet abis
“Udah sih jawab aja”
“Hmm… gue jalan dipinggir, eh… nggak dipinggir-pinggir amat sih, rada ke tengah. Gue ditolongin sama pedagang asongan yang lagi jualan di pinggir jalan, yang nabrak gue kabur” ucap difin yang langsung mendapat tatapan tajam dari sang adik
“Loe mau mati atau gimana sih bang? Jalan nggak hati-hati gitu bisa ngilangin nyawa loe tahu nggak, emang loe mau mati muda? Belum ngerasain indahnya dunia ini? iih… kalau gue sih ogah bang” ilvira berjalan kembali menuju kotak P3K dan mengembalikan obat-obatan yang ia pakai untuk mengobati sang kakak
“Ye… siapa juga yang mau mati muda, gue tuh galau gara-gara loe” difin tak terima dibilang ingin mati muda, dia kan belum punya pacar, belum ngerasain cinta itu gimana, belum lagi cita-citanya yang masih jauh dari pandangan yang akan dia kejar gimanapun caranya
“Idih… kok gara-gara gue sih? apa urusannya sama gue?” ilvira menatap lagi wajah sang kakak
“Yah gara-gara loe marah sama gue, sempet nangis lagi. Gue kan khawatir, gue takut loe nggak mau maafin gue dan loe nggak mau jadi adik gue lagi”
“Emang gue nggak mau jadi adik loe lagi”
“What? Apa loe bilang? loe serius?” difin panik sendiri mendengar pernyataan sang adik
“Ya enggaklah… mau gimanapun loe, loe tetep abang gue. Udah sana mandi, udah siang nih… gue nggak mau ye kalau sampe telat dan dihukum, malu-maluin tau nggak dihukum hormat bendera pake kalung tulisan ‘Saya berjanji tidak akan terlambat lagi’ idih… ogah banget deh”
“Aah loe bikin panik gue aja, yaudah sono pergi gue mau mandi, loe juga tuh… mandi biar wangi”
“Yeee… loe kira gue bau apa? loe tuh yang bau, dari kemarin loe nggak mandi kan” ilvira keluar dari kamar sang kakak dengan sebuah jebilan khasnya
“Argh… sialan loe, awas aja loe ya”
Pemandangan yang tak biasa terjadi di sekolah, menggemparkan seisi sekolah dengan pemandangan yang nyaris mustahil dapat dilihat. Difin dan ilvira berjalan bergandengan tangan, saling merangkul dengan canda tawa yang tak pernah hilang. Pemandangan yang sangat langka terjadi karena selama ini yang seisi sekolah tahu adalah mereka tak pernah bisa akur. Meski mereka adalah saudara kandung. Difin dan ilvira berjalan santai melewati setiap mata yang menatap mereka heran.
“Dilihatin tuh bang” ilvira berkata pelan
“Biarin, biar ini menjadi pemandangan langka yang bakal mereka saksikan dalam sejarah kita sekolah disini” difin berkata membuatnya mendapat pukulan kecil dari sang adik
“Emang kita segitu parahnya ya, sampe mereka merhatiin kita nya gitu banget” ilvira masih merasa risih karena setiap mata sekarang tertuju pada mereka
“Udah nggak usah difikirin, yang penting sekarang mereka nggak akan ngerasa pusing ngedenger kita berantem” ucap difin yang disertai anggukan dari ilvira
“Ilviraaaa” teriak seseorang yang hanya mendengar dari suaranya saja ilvira sudah tahu orangnya
“Kenapa sih? gue nggak budek ya” ucap ilvira
“Loe berdua…”
“Kenapa citra, aneh ya ngelihat kita saling merangkul kayak gini? Tenang aja cit, kamu bakalan sering melihat pemandangan ini kok, dan kamu nggak perlu pusing-pusing buat belain salah satu di antara kami karena kami udah nggak akan berantem lagi” ucap difin
“Kok bisa?” tanya citra masih tak percaya dengan pemandangan di hadapannya itu
“Karena kita berdua udah sadar kalau…” kedua kakak beradik ini menggantung kata-katanya, membuat citra semakin penasaran
“Kalaaaau… ayo ah jangan bikin anak orang penasaran kenapa” keluh citra membuat kakak beradik itu terkekeh sendiri
“Kalau kita… kalau kita itu… kalau kita…”
“Aaaah buruaaaan”
“Kalau kita itu saling sayang citra” ucap difin dan ilvira
“Yah… gue kira apaan… loe berdua rese ah”
“Cie cie… gitu aja ngambek, kalau ngambek nggak disuka bang difin loh” ilvira merangkul sahabatnya itu
“Hah?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar