Clara berjalan mondar mandir di ruang tamu rumahnya. Dia menggerak-gerakkan jari tangannya dengan gelisah, lalu duduk di sofa yang empuk. Clara memandang keluar lewat jendela, wajahnya murung, matanya memancarkan kecemasan. Sekali-sekali dia menghela napas. “Ayo, surut. Aduh… lama sekali…. Mengapa tidak surut-surut?” gumamnya.
Teng… teng… teng…. Jam dinding berbunyi. “Oh, sudah pukul 3 sore. Bagaimana ini?” Clara mengeluh dan melirik ke jam dinding.
Clara memandang keluar lagi. Tampak air masih tinggi. Pohon-pohon yang ada di rumah seberang hanya terlihat setengah bagian ke atas. Hujan deras yang turun sejak kemarin malam sampai siang hari ini telah membuat kompleks perumahan tempat Clara tinggal dilanda banjir. Clara cukup beruntung karena rumahnya tidak kemasukkan air banjir . Banjir telah membuat jalan-jalan sulit untuk dilalui.
Tadi pagi air belum naik sampai setinggi ini. Clara masih dengan gembira mempersiapkan pestanya. Dia yakin pesta ulang tahunnya masih bisa dirayakan dengan meriah. Teman-temannya akan datang dan memuji pestanya yang hebat. Tetapi sekarang…? Clara kembali menghela napas dan dia teringat akan kejadian minggu lalu di sekolah.
“Ini! Datang, ya… hari itu hari libur, lo” ajak Clara sambil membagikan amplop-amplop yang bertuliskan “UNDANGAN”.
Beberapa anak langsung membuka amplop yang mereka dapat dari Clara itu. Di dalamnya ada undangan dengan tulisan: Undangan Ulang Tahun Clara ke 11. Minggu, 5 Juni. Mulai pukul 16.00 sampai selesai. Ada sulap, artis cilik, dan badut… seru!
“Wah, hebat sekali. Aku suka sekali sulap. Aku pasti datang,” kata Darwin dengan gembira.
“Luar biasa, ada artis cilik! Siapa namanya? Jangan-jangan idolaku. Aku harus datang, mau minta tanda tangan,” timpal Susi.
“Rahasia, dong. Itu bagian dari kejutan. Pokoknya kalian datang saja. Dijamin kalian semua senang. Pesta ulang tahun ‘kan harus selalu dirayakan dengan meriah, baru bisa senang. Benar tidak, teman-teman?” tanya Clara dengan senyum lebar.
Seorang anak menyahut, “Ya, tentu saja. Kamu memang beruntung. Pestamu pasti meriah sekali.”
Clara melihat sahabatnya, Hana, sedang duduk membaca buku. Matanya tidak lepas-lepas dari buku itu dan sekali-sekali dia tersenyum kecil.
“Hei, Hana!” sapa Clara. “Bagaimana pendapatmu? Kamu pasti datang, ‘kan?”
Hana mengangkat wajahnya dan memandang Clara. “Dengar-dengar pestamu bakal meriah, ya? Aku sih akan usahakan untuk datang, tapi aku tidak biasa merayakan ulang tahun seperti itu,” jawab Hana. Hana adalah teman sekelas Clara yang berasal dari keluarga sederhana.
Clara menatap Hana. “Apa maksudmu? Tentu saja harus meriah. Kenapa tidak? Ulang tahun cuma satu kali dalam setahun. Orang tuaku kaya, mereka bisa memberikan pesta yang meriah. Aku pikir kamu adalah sahabatku.”
“Tentu saja aku sahabatmu. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Aku cuma mau bilang, kalau ulang tahun juga bisa dirayakan dengan sederhana. Yang penting hati kita bersyukur,” Hana coba menjelaskan maksudnya.
Clara diam sejenak. “Terserah apa katamu. Tapi bagiku, aku suka sekali pesta ulang tahun yang meriah,” katanya ketus.
“Non,” tiba-tiba suara Mbok Karti, pembantu rumah Clara, mengejutkannya dari lamunannya. “Tadi ada telepon, bilang kalau tukang sulap tidak bisa datang,” lapor Mbok Karti. Clara mengangguk lemah. Tetapi dia masih berharap badut akan datang. Itu sudah cukup.
Tidak lama kemudian, Mbok Karti melapor lagi, “Badut juga tidak datang.”
Clara menjadi marah. “Semua gara-gara banjir ini. Mengapa harus hari ini banjir? Ini tidak adil, tidak adil!”
Clara menangis keras. Bahunya sampai terguncang-guncang. Dia melihat ruang tamu yang sudah dibersihkan dan ditata rapi. Bangku-bangku sudah rapi disusun. Ada berbagai macam kue yang dibuat oleh Mbok Karti, juga ada limun dan es krim. Semua terlihat enak untuk dimakan. Lalu dia melihat dirinya sendiri. Dia memakai baju yang terbaik. Mamanya membelikan baju itu sebelum ia berangkat ke luar kota. Warnanya pun putih bersih, dihiasi renda-renda. Sepatunya juga baru.
“Oh, ini semua tidak ada gunanya. Tidak ada yang bisa datang. Oh, pesta ulang tahunku…,” isak Clara dengan sedih.
Keesokan harinya banjir sudah surut. Clara melangkah masuk ke kelasnya dengan membisu. Dia langsung menarik bangkunya dan meletakkan tas sekolahnya di atasnya.
“Hai, Clara!” sapa Darwin. “Bagaimana pestanya kemarin? Sayang aku tidak bisa datang. Rumahku banjir.”
“Rumahku juga. Kemarin aku sedih sekali tidak bisa datang. Pestamu pasti meriah. Mana ada artis cilik lagi,” kata Susi.
“Iya, Clara. Cerita, dong. Siapa saja yang datang? tanya Joni.
Clara menggelengkan kepalanya dengan lesu. “Tidak ada pesta…. Tidak ada yang datang.” Saat itu Hana masuk ke kelas dan sempat mendengar kata-kata Clara. Hana mengerti apa yang dialami dan dirasakan Clara.
“Aku ikut sedih mendengarnya, Clara,” hibur Hana. “Aku pun tidak bisa datang karena rumahku banjir.” Beberapa teman yang lain ikut menghibur Clara.
“Hei, aku punya ide!” tiba-tiba Hana berkata. Bagaimana kalau kita semua ke rumah Clara pulang sekolah nanti? Kita rayakan pesta ulang tahun Clara hari ini seadanya. Tidak ada artis cilik, tidak ada badut tidak apa-apa….” usul Hana dengan lebar.
“Iya…., itu ide bagus!” beberapa anak menyahut.
“Oh, terima kasih, Hana,” kata Clara sambil memeluk Hana. Ia senang dengan usul Hana.” Terima kasih, teman-teman semua.”
“Asal ada makanan, dong….,” Erwin menyeringai.
“Itu, pasti… bisa diatur…. Sekarang aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan. Tampaknya ini adalah perayaan ulang tahunku yang terbaik selama ini.” Clara sangat gembira, wajahnya cerah kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar