Rabu, 12 Februari 2014

Perundingan[sunting | sunting sumber]

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864Tuanku Imam Bonjolmenghembuskan nafas terakhirnya.[26]

Akhir peperangan[sunting | sunting sumber]

Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudianKerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjoldan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar