Rabu, 12 Februari 2014

Pelaksanaan Perda Larangan No Smoking Lemah Syahwat
Kesehatan Perokok Pasif Jadi Taruhan
Kamis, 31 Mei 2012 , 09:09:00 WIB

ILUSTRASI, LARANGAN NO SMOKING
  
RMOL.Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) larangan merokok di Jakarta sangat ‘lemah syahwat’ alias letoy. Padahal, kesehatan perokok pasif menjadi taruhannya.
kritikan ini disampaikan Di­rektur Utama Rumah Sakit Cipto Ma­ngunkusumo (RSCM) Akmal Taher. Untuk itu, menurutnya, Perda tersebut harus dikawal de­ngan serius.
Akmal menegaskan, per­soalan kesehatan di Jakarta ter­letak pa­da realisasi aturan. Karena itu, dia meng­ha­rapkan calon guber­nur dan wakil gubernur (cagub dan cawa­gub) DKI Jakarta pu­nya ko­mit­men untuk menjadikan ibu­kota sehat.
“Calonnya mesti tegas dan punyatrack record yang bersih. Itu modal utama,” tegasnya.
Hal senada dikemukakan Wa­kil Ketua Tobacco Support Cen­ter Kartono Mohamad. Dia men­jelaskan, tujuan dari beragam per­aturan terkait kawasan No Smo­king atau dila­rang merokok sebe­narnya demi melindungi mereka yang tidak merokok dari bahaya paparan asap rokok orang lain.
“Tujuannya lebih untuk kese­hatan masyarakat, bukan me­la­rang-larang orang untuk me­ro­kok. Jadi, jika ada tempat khusus merokok, harus ditempat­kan di luar gedung,” ujar Kartono.
Kepala Bi­dang Penegakan Hu­kum Badan Pengelola Lingku­ngan Hidup Dae­rah (BPLHD) DKI Jakarta Rid­wan Panjaitan menegaskan, tempat khusus pe­rokok harus berada di luar ge­dung atau ba­ngunan umum.
“Soal­nya, ruang merokok yang berada di dalam gedung terbukti tidak efektif dan tetap menye­barkan racun dari asap rokok ke­­pada orang lain,” tegasnya.
Menurutnya, asap rokok yang dikeluarkan perokok di ruangan khusus akan tetap menyebar dan membahayakan orang lain.
“Ruangan khusus merokok atau area merokok dengan atau tanpa sistem ventilasi terbukti ti­dak efektif. Asap rokok tetap menyebar. Perlindungan efektif tetap dengan melarang kegiatan merokok di dalam ruangan,” jelas Ridwan.
Dalam mengukur kadar nikotin dan partikel halus di 34 gedung di 120 titik pengukuran di Jakarta pada tahun 2009, ungkap Rid­wan, pihaknya bekerja sama de­ngan Johns Hopkins Uni­ver­sity. Ha­sil­nya, kadar nikotin dalam udara dan partikel halus dite­mu­kan di semua gedung tersebut, bahkan di area dilarang merokok.
Kadar partikel sangat halus rata-rata adalah 245 mikrogram per meter kubik atau 10 kali am­bang batas World Health Organi­zation (WHO), yakni 25 mikro­gram per meter kubik per hari.
“Paparan tersebut sangat ber­bahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
Ridwan menjelaskan, itu pula yang menyebabkan DKI Jakarta telah mempunyai Peraturan Dae­­rah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengen­dalian Pen­ce­ma­ran Udara. Perda itu juga ditegas­kan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010.
Dalam Perda itu dinyatakan, tempat khusus merokok ditem­patkan di luar gedung dengan ke­tentuan terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung. Selain itu, ruang khusus merokok tidak ber­dekatan dengan pintu masuk ge­dung agar asap rokok tidak dapat kembali masuk ruangan.
Pemprov DKI Kaji Pengaturan Iklan Rokok
Hingga kini Pemerintah Pro­vinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengklaim telah melaksanakan kebijakan terkait udara bersih di Jakarta. Salah satunya ada­lah Pengendalian Pencemaran Udara melalui Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2005 dan Peraturan Gu­bernur (Per­gub) No.75 Tahun 2005.
Kemudian, juga melalui pene­gakan Pergub No.75 Tahun 2005 yang diubah atau disempurnakan dengan Pergub No.88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) di berbagai tempat, seperti di terminal, tem­pat ibadah, angkutan umum, sa­rana pendidikan, gedung-ge­dung perkantoran dan tempat-tempat perbelanjaan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, sebagai wu­­jud komitmen untuk pe­ngen­­dalian dampak tembakau, Pem­prov DKI sedang mengkaji pe­nga­turan iklan rokok.
“Apa­lagi, penayangan iklan saat ini me­rambah ke dunia ma­­ya,” tuturnya.
Dia menyayangkan feno­mena merokok di Indonesia. Ber­dasar­kan survei Yayasan Lem­baga Kon­sumen Indonesia (YLKI), sebagian besar perokok adalah masyarakat berpenghasilan ren­dah dan menghabiskan sekitar 22 persen pendapatannya untuk membeli rokok.
Padahal, tambahnya,  peme­rintah sudah memprioritaskan anggaran untuk dialokasikan pa­da pelayanan kesehatan warga miskin. Namun, warga miskin justru menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk membeli rokok.
Karena itu, Pemprov DKI akan melanjutkan pengaturan me­ro­kok. Untuk itu, dibutuhkan stra­tegi dan rencana yang efektif un­tuk pengendalian dampak tem­ba­kau. Foke juga menilai, perlu le­bih banyak stakeholder yang di­libatkan untuk mengen­da­likan dampak tembakau ini.
Ketua Koalisi Jakarta Smoke Free Azas Tigor Nainggolan  me­mastikan, pemerintah DKI Ja­kar­ta telah ikut memper­ju­angkan ke­pentingan warga Ja­karta untuk bebas asap rokok da­lam lima ta­hun terakhir.
Menurutnya, setiap warga Ja­kar­ta memiliki hak atas udara yang bersih sehingga terjamin ke­se­hatannya. “Gubernur telah ber­ko­mitmen memberi hak atas udara yang bersih dan telah mem­buk­tikannya,” kata Tigor. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar