Rabu, 12 Februari 2014

Perang Padri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Padri
Perang Padri
Perang Padri
Tanggal18031838
LokasiSumatera BaratSumatera Utara dan Riau
HasilKemenangan Belanda.
Casus belliPertikaian Kaum Padri melawan Kaum Adat, kemudian melibatkan Belanda.
Pihak yang terlibat
Perang 18031821:
Flag of Minang.svg Kaum Adat
Perang 18211833:
Flag of Minang.svg Kaum Adat
 Belanda
Perang 18331838:
 Belanda

Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri

Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri


Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri
Flag of Minang.svg Kaum Adat
Komandan
Flag of Minang.svg Rajo Alam*
Flag of the Netherlands.svg Mayor Jendral Cochius
Flag of the Netherlands.svg Kolonel Stuers
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Raaff*
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Elout
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Krieger
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Bauer*
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Michiels
Flag of the Netherlands.svg Mayor Laemlin*
Flag of the Netherlands.svg Mayor Prager
Flag of the Netherlands.svg Mayor du Bus*
Flag of the Netherlands.svg Kapten Poland
Flag of the Netherlands.svg Kapten Lange
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Nan Renceh*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Pasaman*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Imam Bonjol
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Rao*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Tambusai
* Meninggal dunia dalam rentang waktu peperangan
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudianpenyabungan ayampenggunaan madat,minuman kerastembakausirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang danMandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakatMinangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagaridalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]

Keterlibatan Belanda[sunting | sunting sumber]

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dariPagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkanKaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alamdihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar