Rabu, 22 Januari 2014

cinta sejati bukan berasal dari cinta pertama, tetapi dari rasa ingin melindungi pasangannya dengan ikhlas.

10 Februari 2012 pukul 18:26

Kata orang, cinta pertama adalah cinta yang tak terlupakan dan menjadi cikal bakal cinta sejati. Banyak kenangan dan masa-masa indah saat cinta pertama mulai bersemi. Sering pula, orang melanjutkan kisah kasih cinta pertamanya sampai ke pelaminan. Cinta itu terus bersemi sampai waktu mengakhirinya.

Tidak jarang juga setelah hidup serumah, malah muncul problem yang semasa memadu kasih tidak pernah muncul dan terlihat. Watak asli seseorang tertutup oleh tirai yang bernama “takut putus cinta.” Watak dan karakter asli seseorang akan terungkap setelah mereka hidup bersama. Namun, cinta pertama belum menjamin akan menjadi cinta sejati, semuanya tergantung bagaimana mereka mengelola cinta.

Saya sangat terkesan dengan cara seorang kakek yang bernama Daud (80) mengelola cinta isterinya. Meskipun mereka telah berusia senja, tetapi masih terlihat hangat dan penuh pengertian. Kemanapun mereka pergi, selalu bersama dan berdampingan seperti sepasang pengantin baru. Sikap si kakek sangat kelihatan ingin selalu melindungi isterinya. Hubungan mereka yang amat mesra membuat kita yang melihatnya jadi iri.

Pengalaman ini saya peroleh ketika sama-sama menunaikan ibadah haji tahun 2007 bersama si kakek. Pasangan kakek Daud dan isterinya termasuk dalam kelompok terbang (kloter)-11 Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Awalnya, saya kurang memperhatikan cara di kakek mengelola cinta si nenek. Sampai akhirnya seorang teman bercerita tentang kesetiaan si kakek itu kepada isterinya.

Saya menjadi penasaran. Selama ini, saya sering mendengar kisah cinta pasangan usia senja tidak semesra pasangan suami isteri yang masih berusia muda. Pasangan suami isteri yang berusia senja cenderung cuek dan kurang perhatian terhadap isterinya. Mereka cenderung mengurus diri sendiri masing-masing, bahkan tidak jarang si isteri ditinggal sendiri.

Saya mulai memperhatikan cara mereka berbicara yang begitu lembut, hampir tidak terdengar oleh orang disampingnya. Begitu isterinya tertidur, si kakek menyelimuti isterinya, demikian pula sebaliknya. Pada waktu isterinya sakit setelah wukuf di Arafah, dengan sangat telaten si kakek merawat isterinya. Selama yang saya lihat, si kakek tidak pernah marah kepada isterinya, demikian pula si isteri tidak merepet apalago meminta sesuatu yang memberatkan si kakek.

Waktu masih berada dalam tenda di Mina, mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Saya dan teman-teman tidak tahu apa yang terus mereka bicarakan, tetapi sepertinya mereka selalu mengobrol. Saya tidak habis pikir, kok mereka tidak pernah bosan dan kehabisan bahan untuk berkomunikasi. Jangan-jangan komunikasi yang intensif itu menjadi perekat hubungan mereka sampai diusia senja.

Suatu malam sewaktu masih di Mina, entah bagaimana kisahnya, tiba-tiba si kakek kelihatan panik dan keluar masuk tenda jamaah yang lain. Rupanya, si kakek telah kehilangan isterinya sejak sore. Dia bercerita, saat mereka jalan-jalan untuk melihat hamparan ribuan tenda putih di lembah Mina, si nenek terlepas dari pengawasannya. Si nenek hilang. Dia sudah keliling ke setiap gang dan melongok dalam tenda jamaah lain, ternyata isterinya tetap tidak ditemukan.

Dari wajahnya sangat terlihat rona kecemasan yang sangat dalam. Keriput wajahnya yang biasanya merah merona, kini terlihat pucat pasi. Kemudian semua jamaah berusaha mencari si nenek ke setiap sudut dan pojok tenda yang ada di Mina. Ketua rombongan sudah melapor kepada ketua kloter, dan informasi itu sudah disampaikan ketua kloter kepada petugas haji Indonesia yang menangani orang hilang. Beberapa relawan dari mahasiswa Indonesia yang ada disana ikut serta mencari si nenek.

Kemanapun kakek-nenek ini pergi, mereka selalu berdua, tak terpisahkan

Sekitar pukul satu dinihari waktu setempat, akhirnya si nenek ditemukan oleh relawan. Rupanya si nenek tersesat karena tidak tahu lagi, mana tenda tempatnya menginap. Sejak saat itu, si kakek tidak pernah melepaskan si nenek untuk berpergian sendirian. Kemana-mana, mereka selalu berdua dan si kakek begitu setia membimbing isterinya. Tidak pernah marah, tidak pernah menghardik, apalagi meninggalkan isterinya sendiri di tenda.

Kesetiaan si kakek sungguh luar biasa, sehingga membuat “iri” teman-teman yang lain, termasuk saya. Sering saya merenung, sanggupkah diusia seumur si kakek, rasa cinta dan peduli kepada isteri atau suami sama seperti yang dilakukan si kakek?
Hanya cinta sejati yang bisa membuat orang begitu peduli dan penuh kasih sayang kepada pasangannya. Cinta sejati bukan berasal dari cinta pertama, tetapi dari rasa ingin melindungi pasangannya dengan ikhlas. Sebaliknya, barangsiapa yang meminta sesuatu (pamrih) sehingga dapat “merusak” pasangannya berarti itulah cinta palsu.

Waspada!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar