Budaya Politik Indonesia Dalam Konsolidasi Demokrasi
Ideologi politik yang
diterapkan Indonesia, di bawah pemerintahan Soekarno dan Soeharto
berpandangan bahwa budaya merupakan variabel nyata dari sistem politik
apapun, dan karenanya masa itu menegakkan konsep sistem politik yang
dianggap paling sesuai dan mampu menggambarkan nilainilai dasar dan
karakteristik masyarakat Indonesia. Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang
sistem politik negara Singapura juga telah mengembangkan konsep yang
menempatkan nilai budaya sebagai elemen penting dalam sebuah sistem
politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan pas bagi
negara dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.
Sebagai
konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia
Barat dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura
merupakan “an authoritarian Confucian anomaly among the wealthy
countries of the world” (Huntington, 1991: 302). Hasil pemikiran para
pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu
bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000).
Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang
menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak
terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya
Asia (Asian values) seakan menghilang.
Amartya
Sen (2001: 6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang
didominasi oleh budaya Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat, hanyalah berbasis pada perhitungan empiris
yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.
Kenyataan memang menunjukan negaranegara di Asia dalam membangun sistem
demokrasinya lebih banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti
Filipina, Korea, Thailand, Taiwan dan sekarang ini Indonesia.
Walaupun
demikian nilai budaya masih dianggap sebagai variabel penting dalam
pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96)
bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada
perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan
keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari
masyarakat awam di wilayahnya. Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa
konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang
memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk
menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada
pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik
termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan
budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong
negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.
Implikasinya
proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi
rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan
ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang
disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan
pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258) memfokuskan pada isu budaya
demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah
demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan
elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus
berarti adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu,
konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi
merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah
lain (ibid: 263).
Huntington
memperingatkan bahwa tahuntahun pertama berjalannya masa kekuasaan
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan
bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi
demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam
pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri
belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan
bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan
masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh
permasalahan-permasalahan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar