Sabtu, 17 Agustus 2013

Keistimewaan Mukjizat Al-Quran

Rubrik: Al-Quran | Oleh: Dr. Muhammad Widus Sempo, MA. - 20/03/13 | 13:30 | 09 Jumada al-Ula 1434 H
            قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا( (Q.S. Al-Furqan [25]: 33)
­            وقَالَ جَلَّ جَلاَلُهُ: )إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ( (Q.S. Al-Hijr [15]: 9)
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Tidak ada kitab pegangan umat sepanjang sejarah yang kesucian dan kemurniannya senantiasa terjaga dari noda hitam tangan-tangan jahil yang ingin mengotori kitab suci tersebut dengan begitu picik dan congkak, kecuali Al-Quran yang tetap suci terjaga di benteng hati umat. Hanya kitab ini yang cahayanya dari hari ke hari semakin kuat menyinari kegelapan hati yang tertutup oleh kebodohan, fanatik, dan keangkuhan dari cahaya kebenaran hakikat-hakikat ketuhanan yang dibiaskan lembaran-lembaran kitab alam semesta ini.
Semakin kuat mereka menutupi cahaya hakikat-hakikat Al-Quran, semakin kuat juga pancaran cahayanya keluar dari sela jari-jemari mereka. Semakin kuat mereka membendung arus kebenarannya, semakin kuat pula arusnya menghantam dinding-dinding keyakinan dan filsafat hidup mereka. Yah, sejak hari pertama Al-Quran turun hingga kini, ia senantiasa terjaga dan menjaga siapa saja dari mereka yang ingin mendekatkan dirinya di benteng keimanan penjagaannya, seperti jaminan Allah yang ditegaskan dengan begitu jelas dan kuatnya kedua ayat di atas.
Sebelum Anda terlalu jauh diajak melihat sisi-sisi keistimewaan mukjizat Al-Quran, Anda diminta melihat buah pikir mereka yang ingin melucuti Al-Quran dari kemukjizatan estetika dan sistematikanya.
Yang diyakini bersama, Al-Quran dikatakan mukjizat karena tidak mampu ditandingi oleh para ahli sastra dan ilmuwan untuk mendatangkan Qur’an tandingan yang mampu menyamai atau menyaingi derajat keindahan dan ketinggian bahasa Al-Quran, kitab penyejuk kalbu umat dari segala penyakit maknawi yang merongrong kekuatan iman dalam menahkodai kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan, kekuatan maknawi Al-Quran ini, apakah lahir dari zat Al-Quran sendiri atau mungkin saja ada faktor lain yang datang dari luar zat Al-Quran sehingga mereka tersungkur lemah mengakui kekalahan di medan tanding tersebut? Seseorang dikatakan punya kekuatan luar biasa jika terlihat otot-otot tubuhnya bekerja terpadu dan berirama menciptakan energi, dan tentu mustahil, bahkan jadi bahan tertawa, jika kekuatan luar biasa itu Anda kembalikan ke orang lain yang hanya diam melihat terpaku kekuatan tersebut. Olehnya itu, di saat Abu Izhaq An-Nadzzam Ibrahim bin Yasar, salah satu imam Mu’tazilah, pendiri jamaah An-Nidzamiyyah, lebih menitikberatkan kemukjizatan Al-Quran pada ayat-ayat gaib, dan mengabaikan estetika dan sistematika Al-Quran sebagai salah satu corak kemukjizatan yang paling nampak dan terang dengan alasan bahwa manusia mampu mencapai tingkat kemukjizatan sistematika tersebut, seandainya Allah tidak mengangkat dari mereka kemampuan tanding, di saat An-Nadzzam menyatakan demikian, dengan mudah para pecinta Al-Quran dari ahli tahkik menolak pernyataan ini. Yang demikian itu karena Abu Izhaq an-Nadzam menyalahi kesepakatan ahli ilmu-ilmu Al-Quran yang mengembalikan kemukjizatan Al-Quran ke zatnya sendiri.
Berikut ini perkataan An-Nadzzam sebelum memberikan jawaban meyakinkan yang kedua kalinya, beliau berkata:
“Keajaiban Al-Quran terletak di berita-berita ghaibnya. Adapun susunan dan sistematikanya masih dalam batas kemampuan hamba untuk meniru dan menandinginya, seandainya saja Allah SWT tidak mencegah mereka dengan menciptakan kelemahan dalam diri mereka.”([1])
Lanjutnya, beliau mempertegas pernyataannya dengan mengatakan:
“Sistematika Al-Quran dan keindahan penempatan kalimatnya bukanlah mukjizat Rasulullah Saw, dan bukan bukti atas kebenaran dakwahnya, tetapi, yang menjadi bukti kebenarannya adalah ayat-ayat gaib. Sekali lagi, sistematika Al-Quran dan keindahan rangkaian ayat-ayatnya bukanlah mukjizat, sesungguhnya hamba-hamba Allah mampu mendatangkan yang serupa dengannya, bahkan yang lebih indah darinya.”([2])
Setelah Anda mengetahui salah satu sisi kelemahan pernyataan ini, Anda diajak yang kedua kalinya mengetahui titik lain dari kelemahan dan kerapuhannya. Kesimpulan ini roboh dan runtuh karena mengerucutkan kemukjizatan Al-Quran pada ayat-ayat gaib dan menjatuhkan dari ayat-ayat lain corak-corak kemukjizatan, seperti: kemukjizatan ayat-ayat hukum, ayat-ayat ilmiah yang mengisyaratkan hakikat-hakikat ilmu pengetahuan, ayat-ayat akhlak social, dan kemukjizatan sistematikanya yang memukau. Di samping itu, ayat-ayat gaib jumlahnya tidak terlalu banyak dilihat dari jumlah ayat-ayat lain Al-Quran.([3])
Bukan hanya itu, penulis pun menangkap kelemahan lain pernyataan tersebut. Yang demikian itu karena seandainya kemukjizatan sistematika Al-Quran datang dari kelemahan yang Allah ciptakan dalam diri mereka, kenapa Allah menantang mereka dengan begitu terangnya untuk mendatangkan Qur’an serupa yang mendekati atau menyamai tingkat keindahan estetika dan sistematikanya, seperti di Q.S Al-Baqarah [2]: 23? Tentunya, aneh dan mustahil jika Allah menantang mereka dengan tantangan seperti itu, kemudian mencabut dari mereka kekuatan tantangan yang dapat memberikan tandingan. Bukankah itu pekerjaan sia-sia yang Allah Maha Suci darinya?
Kini, saya mengajak Anda melihat penegasan kemukjizatan estetika dan sistematika Al-Quran yang diingkari kebenarannya oleh An-Nadzzam.
Al-Jahidz berkata:
“Di antara mereka ada yang menggunakan kata-kata bukan pada tempatnya, sementara itu, di sana ada kata lain yang lebih tepat darinya. Apakah Anda tidak melihat Allah tidak dijumpai menyebutkan di Al-Quran kata (الجُوْع) kecuali untuk memaknai azab penyiksaan yang menimpa orang-orang kafir, atau untuk mewakili makna kefakiran yang melilit dan kelemahan mutlak. Sementara itu, manusia menempatkannya bukan pada tempatnya, mereka menggunakan kata ini dan bukan kata (السّغَب) di kondisi aman dan kuat. Bukankah ini menyalahi penempatan kata yang semestinya, seperti penempatan kata Al-Quran yang tepat. Demikian pula dengan kata (المَطَر) yang berarti hujan. Al-Quran tidak menyebutkannya kecuali ditempatkan di makna azab penyiksaan, sementara itu, orang awam bahkan masyarakat berpendidikan tidak membedakan penggunaan kata itu dengan kata (الغَيْث) yang berarti hujan yang membawa rahmat, bukan hujan azab. Kemudian, Al-Quran jika menyebut (الأبْصَار) yang berarti penglihatan, ia menyebut pendengaran dalam bentuk tunggal (السَّمْع), dan jika menyebut tujuh lapisan langit (سَبْعُ سَماَوَات), ia menyebut bumi dengan bentuk tunggal (الأرْض). Apakah Anda tidak melihat perbedaan ini, bahasa manusia yang menyalahi bahasa Al-Quran yang tidak menempatkan kata, kecuali kata itu tepat mewakili makna yang diinginkan dan tidak dapat diganti dengan kata lain?”([4])
Hematnya, Al-Quran tidak memilih kata tertentu dalam mewakili sebuah pemaknaan, kecuali hanya kata itulah yang tepat ditempatkan. Yang demikian itu karena hanya kata itu yang mampu menjaga keutuhan makna bagian-bagian sistematika Al-Quran. Keutuhan makna yang mengalir hidup di seluruh bagian sistematika Al-Quran, dari kalimat ke kalimat, dari kelompok ayat ke kelompok ayat lain, dari tema ke tema, dari surah ke surah, seperti aliran darah yang tidak henti-hentinya mengalir di sel-sel darah manusia.
Anda dapat melihat penegasan makna tersebut di pernyataan Syekh Ibn Atiyyah berikut ini:
“Sisi terkuat tantangan Al-Quran adalah sistematika, keshahihan makna, dan kefasihan kosa katanya. Yang demikian itu karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Allah mengetahui kata mana yang tepat untuk datang menyertai kata pertama dalam merangkai makna demi makna dari awal Al-Quran hingga akhir. Dan karena manusia dengan keterbatasan, kebodohan, lupa, dan kelemahan ilmunya meliputi segala sesuatu, sementara itu, sistematika Al-Quran datang dengan derajat estetika yang tinggi menjulang, sehingga jelas kesalahan perkataan mereka: (orang-orang Arab mampu mendatangkan yang serupa dengan Al-Quran, namun kekuatan mereka dicabut, sehingga mereka lemah tidak berdaya menandingi Al-Quran).
Yang benarnya, tidak ada satu pun yang mampu mendatangkan Qur’an tandingan. Yang demikian itu jika Anda meyakini kelemahan mutlak manusia tanpa terkecuali dan melihat bagaimana orang fasih menyusun khutbah atau bait syair dengan sekuat tenaga, kemudian ia senantiasa memperbaiki bagian-bagiannya setahun penuh, kemudian Anda menyodorkannya ke yang lain dan ia pun masih mengoreksi dan memperbaiki, dan begitulah seterusnya. Adapun Al-Quran, perbedaannya sangat jauh dengan kreasi-kreasi sastra manusia. Jika Anda ingin membuang satu kata dari ayat-ayatnya dan menggantinya dengan kata lain, yakinlah Anda tidak akan menemukan kata lain yang lebih tepat darinya dilihat dari sistematika pemaknaan yang ada.”([5])
Ini pun dapat Anda simak di pernyataan Dr. Mustafa Muslim berikut ini:
            “Setiap kata dalam sebuah struktur kalimat saling menyesuaikan diri, Semuanya memberikan kadar tertentu terhadap makna umum dari kalimat tersebut. Olehnya itu, jika makna yang diinginkan baru dan asing dari yang lumrah diketahui, maka katanya pun kedengaran asing dan tidak lumrah, dan apabila makna yang diinginkan lumrah, dia pun mendatangkan kata yang sesuai.”([6])
Akurasi deskripsi ini dapat dilihat dalam penafsiran Ustadz Nursi pada firman Allah SWT:
وقَالَ تَعَالَى: )يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ( (Q.S. Al-Baqarah [2]: 19)
            “Al-Qur’an datang dengan kata (يَجْعَلُوْنَ), bukan dengan (يُدْخِلُوْنَ), sebagai isyarat bahwa sesungguhnya orang-orang kafir senantiasa mencari sebab keselamatan, tidak ada satu sebab keselamatan yang mereka kira, kecuali pintunya diketuk.
            Selanjutnya, kata (أَصَابِعَهُمْ), dan bukan dengan (أَنَامِلَهُمْ), sebagai tanda bahwa mereka diliputi kebingungan yang dahsyat terhadap perkara diri mereka sendiri.
            Lain halnya dengan kata (فِىْ آذَانِهِمْ) dan bukan anggota tubuh lain, sebagai gambaran hidup yang memperlihatkan ketakutan mereka yang berlebihan setiap kali mendengar suara guntur, ketakutan jiwa yang melihat gemuruh suara tersebut seperti punya kemampuan menerbangkan ruh mereka lewat mulut, jika ia masuk di gendang telinga.
            Adapun kata (مِنَ الصَّوّاعِق), dan bukan kata lain, sebagai isyarat bahwa antara petir dan guntur bersatu padu memberikan mudarat kepada mereka. Yang demikian itu karena kata (الصَّاعِقَة) itu sendiri artinya gemuruh suara yang disertai dengan api yang menghanguskan apa saja yang diterpainya.
            Selanjutnya, kata (حَذَرَ المَوْت) mengisyaratkan dahsyatnya musibah yang melanda mereka, dan mereka tidak melakukan semua itu, kecuali takut mati dan ingin keselamatan belaka.”([7])
            Satu lagi contoh yang tentunya akan menambah keyakinan Anda terhadap kemukjizatan sistematika dan estetika Al-Quran dalam memberikan pemaknaan, contoh yang disebutkan Ustadz Nursi berikut ini di firman Allah:
وقَالَ تَعَالَى ذِكْرُهُ: )وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ( (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3)
            “Jumlah kalimat ini mengisyaratkan 5 syarat dalam pelaksanaan sedekah, ini terpancar dari setiap bagian kalimat tersebut:
            Syarat pertama terilhami dari huruf (مِن) at-Tab’idiyyah ([8]) pada kalimat (مِمَّا), artinya: hendaknya para pemberi sedekah tidak melampaui batas kemampuan mereka dalam bersedekah, sehingga nantinya mereka sendiri yang mengulurkan tangan minta sedekah.
            Syarat kedua terwujud dari kata (رَزقنْاَهُم), artinya: yang bersedekah tidak mengambil rezeki Said, dan menyedekahkannya ke Amru. Akan tetapi, yang wajib sedekah itu dikeluarkan dari hartanya sendiri, seperti makna yang diserukan kata itu sendiri: “Sedekahkanlah sebagian dari apa yang kami telah rezekikan kepada kalian!”
            Syarat ketiga tersirat pada kata (نَا) di (رَزَقْنَاهُم), artinya: hendaknya yang bersedekah jangan menghitung kebaikannya karena kata itu menegaskan: “Pada hakikatnya, kamu tidak punya pemberian apa-apa terhadap mereka di sedekah tersebut. Saya yang telah memberi kamu rezeki. Apa yang kamu sedekahkan itu sebagian dari harta-Ku kepada hamba-Ku sendiri.”
            Syarat keempat terlihat di (يُنْفِقُوْن), artinya: hendaknya yang bersedekah menyedekahkan hartanya kepada mereka yang benar-benar butuh, karena jika tidak seperti itu, sedekah yang dikeluarkan bukan pada tempatnya tidak diterima di sisi-Nya.
            Syarat kelima terukir juga di (رَزَقْنَاهُم), artinya: hendaknya sedekah dengan nama Allah SWT, karena kata itu menyiratkan: “Harta itu harta-Ku, maka wajib atas kamu menafkahkannya dengan atas nama-Ku.”         
            Selain kelima syarat sedekah yang tersirat dalam ayat tersebut, ayat ini juga mengisyaratkan makna umum dalam sedekah. Karena di antara sedekah itu ada yang berbentuk harta, ada juga yang terhitung sedekah yang tidak bersifat materi, seperti: ilmu pengetahuan, perkataan, perbuatan, dan nasihat. Makna-makna ini dikoleksi isyarat kata (مَا) (relative noun) di (مِمَّا) yang memberikan makna umum.
            Demikianlah jumlah yang singkat ini mengoleksi lima syarat sedekah dan menjelaskan tempat-tempat pendistribusiannya dengan begitu luas.([9])
            Jika Anda telah meyakini kemukjizatan sistematika Al-Quran dilihat dari ketelitian dan ketepatannya memilih dan merangkai kata menjadi kalimat yang memberikan pemaknaan yang terpadu dengan makna kalimat lain di ayat tertentu, sehingga ayat itu dengan sendirinya menyuguhkan bagian pemaknaan yang menyatu dengan makna umum kelompok ayat dan tujuan umum sebuah surah. Kini, Anda pasti sudah siap mengetahui lebih lanjut keistimewaan mukjizat sistematika surah-surah Al-Quran.
            Sebelum terlalu jauh menyentuh sisi ini, ada pertanyaan mendasar yang menunggu jawaban dari Anda. Mereka mengatakan: “Baik Anda atau kami pasti mengetahui bahwa Al-Quran mengoleksi makna yang begitu banyak dalam satu surah. Tentunya, ini cukup meragukan kemampuan Al-Quran memetik hasil banyak. Seandainya saja setiap tema satu surah, pastinya lebih baik dan memudahkan pecinta Al-Quran memetik langsung makna-makna Al-Quran?”
            Sebelum penulis mengajak Anda terlalu jauh memberikan jawaban, Anda diajak melihat ilustrasi makna berikut ini:
            Jika Anda masuk kebun yang memiliki banyak jenis tanaman, tentu dengan mudahnya Anda memenuhi kebutuhan yang diinginkan, Anda bisa memilih satu jenis buah dan meninggalkan yang lain sesuai dengan kebutuhan yang ada, beda halnya jika kebun itu hanya memperlihatkan satu jenis tanaman, tentu tidak ada pilihan bagi Anda, dan boleh jadi Anda meninggalkan kebun itu tanpa memetik sesuatu pun.
            Al-Quran tidak jauh beda dari ilustrasi di atas. Dengan koleksi makna yang beraneka ragam dalam satu surah, ia memudahkan pecinta kalam ilahi memilih jenis kebutuhan maknawi akal dan kalbu mereka, sehingga tidak ada pengunjung yang pulang dengan tangan kosong, semuanya pulang dengan bawaan masing-masing dengan penuh rasa puas. Jika Anda membelanjakan waktu Anda di perbendaharaan makna Al-Quran, Anda pasti merasa kaya makna, akal menemukan ilmu, hati mendapatkan pencerahan, kehidupan tersinari dengan percikan-percikan maknawiyat Al-Quran yang begitu tinggi dan bersahaja. Olehnya itu, meskipun Anda membaca satu surah, Anda seperti membaca seluruh surah Al-Quran. Yang demikian itu karena maqashid Al-Quran (tujuan mendasar penurunan Al-Quran yang meliputi semua manusia, seperti: ketuhanan, kenabian dan risalah, keadilan, dan hari kebangkitan) terhimpun dalam surah itu, bahkan terkoleksi di kalimat dan ayat-ayatnya.
            Kebenaran ini dipertegas oleh pernyataan Imam al-Baqilani berikut ini:
            “Jika mereka mengatakan: Andai kata Al-Quran turun seperti buku-buku lain yang bab dan pasal-pasalnya telah tertata rapi, sehingga setiap jenis ilmu dimuat satu surah, tentunya ia akan memperlihatkan sistematika yang lebih baik dan faedahnya pun pasti banyak? Jawabnya: “Al-Quran turun seperti itu, turun dengan mengumpulkan pelbagai makna dalam satu surah, bahkan dalam satu ayat, supaya faedahnya lebih banyak dan lebih meluas. Seandainya saja setiap tema satu surah, tentu faedahnya tidak terlalu banyak, dan orang kafir yang mendengarnya tidak terhujat kecuali dengan satu makna itu yang dikoleksi surah tersebut, tetapi dengan koleksi makna yang padat di setiap surah, sistematika Al-Quran lebih banyak memberikan manfaat.””([10])
Di samping itu, Al-Quran kitab petunjuk dan penyembuh yang mencakup semua lapisan masyarakat. Supaya dengan mudahnya mereka mendapatkan bimbingan hidup dan obat maknawi terhadap penyakit mereka, Al-Quran mengoleksi banyak makna dalam setiap surah, sehingga meskipun mereka tidak membaca semua surah Al-Quran, mereka seperti mendapatkan semua obat Al-Quran. Yang diyakini penulis, obat Al-Quran ini tujuan penyembuhannya sama, yang berbeda cara Al-Quran memaparkan obat-obat maknawinya sesuai dengan pemaknaan umum yang mengalir di bagian-bagian sistematika sebuah surah.
Ustadz Said Nursi berkata:
“Ketahuilah! Al-Quran titah ilahi dan obat semua lapisan manusia, dari yang paling cerdas ke yang lebih bodoh, dari yang paling bertaqwa ke yang jatuh di dasar jurang kesengsaraan, dari yang mendapatkan taufiq meniti jalan akhirat ke yang terfitnah oleh kenikmatan-kenikmatan dunia yang semu. Jika sulit bagi setiap orang membaca Al-Quran setiap saat, sementara Al-Quran itu obat dan penyembuh setiap orang di setiap waktu, olehnya itu, Yang Maha Bijaksana lagi Maha penyanyang menempatkan kebanyakan dari maqashid-maqashid Al-Quran di pelbagai surah, khususnya surah-surah panjang, sehingga setiap surah seperti mini Al-Quran yang memudahkan setiap pemerhati dan pecinta Al-Quran.” ([11])
Keistimewaan lain mukjizat Al-Quran yang tidak kalah terangnya dengan keistimewaan di atas, maknanya yang senantiasa meremaja, fresh, dan tidak pernah berhenti memberikan perasan sari pati makanan hati dan akal bagi mereka yang haus hikmah-hikmah qur’ani dan hakikat-hakikat keimanan. Al-Quran menyuguhkan sari pati maknanya sesuai dengan tingkat keilmuan dan pemahaman pemerhatinya. Apa yang didapat si A terhitung sari pati terhadapnya, begitu pula dengan B, meskipun derajat gizi rohani kedua sari pati tersebut beda tingkat, dilihat dari perbedaan tingkat pengetahuan.
Hematnya, percikan-percikan makna Al-Quran ini tidak akan pernah habis selagi pentas manusia di dunia masih berjalan. Di lain sisi, satu makna dari makna-makna yang tidak terhingga itu memberikan kekuatan maknawi yang sama kepada setiap pecintanya, meskipun pengaruh obat maknawi ini terhadap kalbu berbeda-beda, sesuai penyakit dan kesiapan mereka menerima pesan-pesan maknawi tersebut menjadi obat mujarab.
Semakin tinggi tingkat kebutuhan dan kepapaan kita di hadapan mega makna Al-Quran, semakin besar peluang akal dan hati tercerahkan dengan kesejukan embun panggilan-panggilannya, puja-pujinya memaparkan keagungan dan kemuliaan zat dan sifat-sifat Allah yang Maha Bijak dan Mengetahui, hikmah-hikmah hukum syariat-Nya, teguran-tegurannya untuk orang-orang beriman yang kadang terasa halus dan kadang juga terasa keras menyusut dari perumpamaan-perumpamaannya yang memperlihatkan tragedi menyedihkan umat-umat terdahulu yang angkuh mengikuti ajaran nabi-nabi mereka.
Olehnya itu, buanglah dari jubah pribadi qur’ani Anda keangkuhan dan kesombongan yang kadang mengecoh diri Anda sendiri dengan ego dan popularitas semu. Semakin suci diri Anda dari sifat-sifat seperti ini, semakin besar kesempatan Anda mengisi kekosongan jiwa yang menanti siraman-siraman ayat ketuhanan Al-Quran.
Yang cinta Qur’an, mereka yang selalu merasa butuh tiap saat terhadap petunjuk Al-Quran, merasakan kejanggalan hidup jika satu hari berlalu darinya tanpa sentuhan-sentuhan Al-Quran yang lahir dari bacaan, tadabbur, dan tafsir.
Hakikat keistimewaan mukjizat Al-Quran ini dapat Anda lihat penjabarannya di penafsiran ilmiah Ustadz Nursi yang menggambarkan perbedaan tingkat pengetahuan manusia dalam memahami makna dan hikmah penciptaan gunung, seperti di ayat berikut ini:
وقَالَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: )وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا( (Q.S. An-Naba’ [78]: 7)
 “Dari Mereka ada yang melihat gunung-gunung itu seperti pasak yang ditancapkan ke perut bumi, sebagaimana yang nampak di hadapan mata, sehingga dengan sendirinya mereka memikirkan nikmat dan faedah penciptaan gunung, dan mensyukuri Sang Pencipta. Itulah bagian orang-orang awam.
Ada juga dari mereka yang mengkhayalkan bumi layaknya tanah yang terhampar, atap langit ibaratnya tenda biru yang sangat besar mengelilingi bola dunia dan dihiasi dengan lampu-lampu, gunung-gunung nampak baginya memenuhi cakrawala, dan puncaknya menyentuh ujung-ujung langit sehingga mereka seperti pasak-pasak tenda besar itu. Ia pun tercengang, takjub, dan menyucikan Sang Maha Pencipta yang Mulia. Itulah bagian para penyair.
Ada juga dari mereka yang mencontohkan permukaan bumi dengan padang pasir yang luas, melihat rentetan pegunungan mirip dengan rentetan tenda besar yang dihuni oleh pelbagai makhluk hidup, sehingga lapisan-lapisan tanah ibaratnya penutup yang sengaja dilemparkan ke ujung pasak-pasak itu untuk diangkat menjulang ke atas dengan ketajaman yang ada pada unjungnya, sehingga menjadi rumah-rumah yang dihuni aneka ragam makhluk hidup. Demikianlah dia memahami sambil bersujud di hadapan Sang Pencipta yang Maha Mulia dalam keadaan tercengang dan takjub dari penciptaan gunung-gunung tersebut yang dimisalkan dengan tenda-tenda yang dibentangkan di atas permukaan bumi. Itulah bagian orang-orang badui yang berakal.
Dan ada pula dari mereka yang melihat bola dunia seperti kapal yang sedang berlayar di atas ombak samudera udara dan eter (unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas ruang angkasa), gunung-gunung seperti tiang-tiang kapal yang berfungsi menjaga keseimbangan. Begitulah ahli geografi berpikir sembari berkata di hadapan keagungan Sang Maha Kuasa yang telah menjadikan bola dunia sebagai kapal yang berlayar dengan frekuensi kecepatan yang teratur, dan menjadikan kita penumpang di dalamnya: “Maha Suci Engkau, dan Maha Agung perihal-Mu, ya Allah.”
Dan ada juga dari mereka yang memahami bumi seperti pemukiman, dan tolak punggung kehidupan pemukiman ini adalah makhluk hidup yang melangsungkan kehidupan mereka di dalamnya. Sementara itu, sumber kehidupan adalah air, udara, dan tanah. Di sini gunung sebagai penjaga dan pelestari ketiga unsur ini, karena gunung gudang air, filter udara yang mengendapkan gas-gas beracun (filtrasi), pelindung terhadap tanah dari telapan air laut dan lumpur, dan gudang terhadap segala kebutuhan manusia. Demikianlah ia memahami sembari memuji dan menyucikan Sang Maha Pencipta yang Maha Mulia dan Pemurah yang menjadikan gunung-gunung sebagai pasak dan gudang makanan terhadap kelangsungan hidup manusia di permukaan bumi. Itulah bagian para ahli ilmu sosial kemasyarakatan yang tahu dasar-dasar peradaban modern.
Dan ada juga dari mereka yang tahu bahwa mekanisme pembauran unsur-unsur tanah, dan gempa yang terjadi di dasar bumi akan berhenti dengan adanya gunung. Olehnya itu, gunung-gunung telah menjaga keseimbangan siklus putaran bola dunia pada orbitnya mengelilingi matahari. Begitulah Para filosof memahami dan mengimani sembari berkata: “Hikmah itu milik Allah.””([12])
Hematnya, keistimewaan mukjizat Al-Quran tidak mungkin dibatasi oleh pena dan tulisan, selagi Al-Quran mencakup corak-corak kemukjizatan yang tidak terhingga. Olehnya itu, di akhir tulisan ini saya mengajak pemerhati dan pecinta Al-Quran menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Perlihatkan kepapaan Anda di hadapan mega makna Al-Quran, kepapaan yang butuh pencerahan rohani dan kekuatan maknawi sentuhan-sentuhan ayatnya yang menyejukkan! Yakinilah! Keindahan estetika dan sistematika Al-Quran yang memukau tidak mungkin tertandingi oleh kekuatan apa pun! Corak kemukjizatan ini salah satu corak kemukjizatan yang paling bersinar. Sekali lagi, tunjukkan kepapaan Anda dan arahkanlah diri Anda dengan sepenuh jiwa ke alam qur’ani yang penuh pesona dengan suguhan-suguhan maknanya yang tidak bertepi.”

([1])   Abu al-Hasan al-Asy’ari Ali bin Ismâil bin Ishâq, Maqâlât al-Islâmiyyin wa Ikhtilâf al-Mushallin, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, Cairo, cet. 1, 1369 H, vol. 1, hlm. 271
([2])   Abdul Qâhir bin Thâhir bin Muhammad al-Bagdadi, al-Farqu baena al-Firaq, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Maktabah al-Masriyyah, Beirut, cet. 1416 H/1995, hlm. 143
([3])   Pernyataan ini salah satu dalil tambahan dari penolakan kami terhadap wacana An-Nadzzam yang ditegaskan oleh Dr. Muhammad As-Sayyid Radhi Jibril, salah satu anggota tim penguji di sidang promosi disertasi kami yang berjudul “Pengaruh Sistematika Al-Quran terhadap Tafsir Abi Suud (982 H) dari awal Surah Al-Maidah hingga Akhir Surah Al-An’am, أثر نظم القرآن في تفسير شيخ الإسلام أبي السعود العمادي المتوفى سنة 982 هـ من أول سورة المائدة إلى آخر سورة الأنعام) yang digelar di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, pada tanggal 17 Februari 2013, 7 Rabiul Akhir 1434 H
([4])   AlJahidz, al-Bayân wa at-Tabyin, ditahkik oleh Abdu as-Salam Muhammad Harun, Maktabah al-Khanji, Cairo, cet. 1418 H/1998 M, vol. 1, hlm. 20
([5])   Lihat: Ibn Atiyyah Abdul Haq bin Ghâlib al-Andalusi, al-Muharrat al-Wajiz fi Tafsir al-Kitâb al-Aziz, ditahkik oleh Abdu as-Salam Abduh as-Syafi’, Darul Kutub Ilmiyah, cet. 1, 1423 H/2001 M, Beirut, vol. 1, hlm. 52
([6])   Mustafa Muslim, Mabâhits fi I’jâz Al-Qurân, Dar Muslim, Riyadh, cet. 2, 1416 H, hlm. 143
([7])   Said Nursi, Isyarat al-I’jaz, hlm. 138-139
([8])   Artinya: sebagian saja dari harta yang disedekahkan.
([9])   Said Nursi, al-Kalimât, diarabkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Sözler, Cairo, cet. 6, 2011, vol. 1, hlm. 427
([10])                 Bayân I’jâz al-Qur’an, hlm. 54
([11])                 Badiuzzaman Said Nursi, al-Masnawi al-Arabi, ditahkik oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Maktabah Sozler, Cairo, cet. 3, 2003 M, hlm. 70
 ([12])         Badiuzzaman Said Nursi, al-Kalimât, diarabkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Dar Sôzler, Cairo, cet. 6, 2011 M, hlm. 449-450

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/03/20/29605/keistimewaan-mukjizat-al-quran/#ixzz2cEji3lck
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar